Sabtu, 14 Juli 2007

Mengenal berbagai budaya perusahaan

Ketika terjadi perubahan manajemen di BUMN, acap kali sebagian karyawan mengkaitkan, bahkan menginterpretasikan sebagai move politik. Seolah semua perubahan di lingkungan ini selalu berkaitan dengan agenda politik kelompok karyawan tertentu saja.
Pekatnya aroma politik yang menyelusup dalam tubuh organisasi berakibat menurunnya efektifitas organisasi. Sebagian dari kita menyebutnya sebagai budaya politik tingkat tinggi (highly political culture). Budaya ini tampak dari porsi waktu yang dicurahkan sebagian dari karyawan yang tidak puas akan terjadinya perubahan dalam permainan politik di lingkungan organisasi. Beberapa tanda yang mencuat diantaranya adalah bagaimana orang-orang di dalam organisasi berpikir berdasarkan agenda mereka sendiri-sendiri. Ujung-ujungnya, intrik dan kemelut melanda organisasi. Akibatnya, fokus perhatian lebih mengarah ke dalam lingkungan internal organisasi, dan cenderung mengabaikan kinerja perusahaan itu sendiri.
Budaya politik tingkat tinggi jelas tidak dapat menopang eksistensi perusahaan dalam jangka panjang. Budaya tersebut akan menggerogoti perusahaan dari dalam dan sebagai akibatnya akan ditinggalkan pelanggannya. Selain Budaya politik tingkat tinggi , masih ada beberapa budaya yang tidak layak dipertahankan. Di antaranya adalah inside out culture, cost cutting culture, blame culture, bureaucratic and process culture, dictator culture, dan they culture. Dari namanya kita tentu sudah dapat meraba budaya macam apa yang tersirat dari sebutan-sebutannya. Inside out culture lebih mementingkan kebutuhan perusahaan daripada pelanggan. Cost cutting culture hanya berorientasi untuk menekan biaya. Dalam Blame culture Anda akan melihat banyaknya orang yang berburu kambing hitam, tanggung jawab adalah barang langka. Ini tentu masih bersaudara dengan They culture, yang sibuk menyalahkan mereka sehingga merasa aman dan segala sesuatu berjalan lancar-lancar saja.
Budaya-budaya yang masih satu perguruan dengan highly political culture ini tentu saja lebih sering tidak muncul secara formal. Bahkan, keberadaannya seringkali diingkari.
Diingkari atau tidak, budaya organisasi selalu ada, walaupun mungkin tidak dinyatakan secara formal. Budaya organisasi bukanlah apa yang tersurat tetapi lebih merupakan apa yang tersirat. Dengan demikian, budaya organisasi bukanlah kalimat-kalimat indah yang menempel di dinding kantor yang biasanya sangat normatif, tetapi kebiasaan-kebiasaan, tingkah laku, dan keyakinan yang ada dalam suatu organisasi. Budaya bersumber pada nilai inti, apa yang diyakini baik bagi organisasi, dan diyakini sebagai penopang kesuksesan organisasi.
Nilai-nilai ini kemudian diturunkan menjadi norma, yang menjadi patokan perilaku baik atau buruk, pantas tidak pantas, benar atau salah. Jika seseorang melanggar norma ini akan mendapatkan sanksi dari kelompoknya. Jika nilai dan norma ini telah terinternalisasi dengan baik maka anggota organisasi akan merasa bersalah dan malu jika melanggar norma yang ada. Inilah yang layak disebut sebagai budaya yang kuat.
Budaya sangat mendukung pencapaian tujuan organisasi jika budaya yang tumbuh dalam organisasi tersebut selaras dengan tujuan dan strategi. Tetapi sebaliknya bila tidak selaras dengan tujuan dan strategi organisasinya, justru akan menjadi penghambat serius. Dalam uraian di atas, sudah tergambar budaya yang tidak selaras. Lantas, bagaimana budaya organisasi yang selaras dengan tujuan dan strategi organisasi? Dalam hal ini kita menganggap sebagai outside in culture dan empowered culture.
Organisasi yang outside in culture meletakkan kebutuhan pelanggan dan bagaimana memenuhinya sebagai acuan utama. Tanda-tandanya: pelanggan akan merasakan pengalaman yang konsisten dan terdapat mekanisme umpan balik pelanggan serta tindak lanjutnya. Kepekaan terhadap pelanggan menjadi persemaian bagi tumbuhnya bibit customer care. Dalam empowered culture kebijakan-kebijakan yang ada ditentukan oleh anggota organisasi untuk menopang keputusan-keputusan secara mandiri agar memberikan pengalaman yang mengesankan bagi pelanggan. Sebagian ciri-cirinya adalah keterbukaan manajemen terhadap kritik yang positif, perlakuan yang dewasa kepada anggota organisasi yang cenderung informal dan anggota organisasi mendapatkan tanggung jawab end to end .
Dari uraian di atas tentunya kita dapat memilih budaya yang cocok untuk perusahaan kita dan meninggalkan budaya yang tidak baik. Semoga bermanfaat ****Swara SKJM HS 5258