Kamis, 16 Agustus 2007

Saham BNI Terus Merosot, Menneg BUMN Panggil Underwriter BNI

16/08/2007 02:24:35 WIB

JAKARTA, Investor Daily
Kementerian BUMN akan memanggil penjamin emisi (underwriter) penawaran umum kedua (secondary public offering/SPO) saham PT Bank BNI Tbk (BBNI). Hal itu terkait kemerosotan harga saham BBNI dalam tiga hari terakhir.

Deputi Menneg BUMN Bidang Restrukturisasi dan Privatisasi Mahmudin Yasin mengatakan, pertemuan khusus itu untuk mencari upaya stabilisasi harga saham BBNI yang terus anjlok. "Ya untuk stabilisasi, kita akan koordinasi dengan penjamin emisi sesegera mungkin, ujar dia di Jakarta, Rabu (15/8).

Pada penutupan perdagangan di Bursa Efek Jakarta, Rabu (15/8), harga saham PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) terus merosot hingga posisi Rp 1.790 per saham, turun Rp 260 (12,68%) dari posisi harga penawaran saham kedua (SPO) Rp 2.050 per saham.

Sebagai penjamin emisi SPO BNI, JP Morgan berjanji akan berlaku bijak dalam menstabilkan harga saham BBNI. JP Morgan akan mencari support level yang bisa didukung secara maksimal. “Turunnya harga saham BNI memang masalah timing, lantaran bertepatan dengan krisis subprime mortgage di Amerika Serikat,” tandas Gita Wirjawan, presiden direktur JP Morgan Indonesia, kemarin.

Kalangan investor mempertanyakan jumlah saham beredar yang jauh melebihi jumlah saham yang tercantum pada prospektus. Pada SPO, BNI melepaskan sebanyak 3,949 miliar saham. Berdasarkan prospektus, BNI menerbitkan 1,99 miliar lembar saham baru dan pemerintah menjual 1,50 miliar lembar saham lama di BNI. Total saham yang ditawarkan sejumlah 3,47 miliar saham.

Menurut Gita Wirjawan, selisih jumlah saham itu merupakan opsi greenshoe atau opsi penjatahan lebih yang dikeluarkan BNI. Hal itu dilakukan karena permintaan atas saham BBNI berlebih (oversubscribe). Artinya, jumlah saham yang diumumkan sudah termasuk saham oversubscribe.

Hal senada diungkapkan Investment Banking PT Bahana Securities Andi Sidharta. Menurut dia, semua yang diinformasikan melalui prospektus cukup transparan, terutama berkaitan dengan jumlah saham yang ditawarkan dan dihimpun melalui SPO. “Jumlah dana yang dihimpun melalui SPO mencapai sebesar Rp 8,1 triliun,” kata Andi.

Total dana yang dihimpun dalam SPO tersebut berasal dari penerbitan 1,99 miliar saham baru (rights issue), penjualan saham pemerintah sebanyak 1,50 miliar saham, dan saham green shoe sebanyak 473,89 juta saham.

Andi membantah tudingan bahwa ada penambahan saham Bank BNI dalam jumlah tertentu di tengah kondisi pasar sedang bearish. Yang terjadi saat ini adalah upaya dari JP Morgan untuk stabilitasi harga dengan memakai dana green shoe sekitar Rp 971,48 miliar.

Tugas Penjamin Emisi

Seorang pelaku pasar menilai, underwriter wajib bertanggung jawab kepada publik. Sebab, publik tidak mendapatkan arahan jelas terkait semua proses dan transparansi penyerapan saham di pasar perdana. Sikap Bahana dan JP Morgan yang menjual saham ke publik saat terjadi tekanan jual justru berimplikas negatif. Aksi itu seolah mengonfirmasi bahwa tidak semua saham BBNI terserap di pasar perdana.

Menurut sumber itu, penjamin emisi seharusnya membeli saham BBNI ketika terjadi tekanan jual, bukan malah mengguyur pasar. Apalagi ada porsi green shoe. “Artinya, underwriter inkonsisten atas perjanjian bilateralnya dengan pemerintah sebagai issuer. Bapepam-LK perlu memriksa underwriter,” tegas sumber.

Sebagai regulator, Ketua Bapepam-LK Fuad Rahmany menegaskan, masalah itu merupakan perjanjian bilateral antara underwriter dan kliennya. Bapepam-LK baru akan memeriksa underwriter bila ada laporan dari klien atau emiten.

Fuad menegaskan, ketentuan pasar modal tidak mewajibkan emiten menggunakan penjamin emisi saat IPO. “Itu adalah pilihan dari emiten untuk menggunakan underwriter dan bersifat bilateral,” kata Fuad.

Fuad Rahmany menyesalkan sikap investor yang terlalu berharap lebih dari Bapepam-LK. Sebab, lembaga itu tidak punya kekuasaan apa pun untuk mengatur perkembangan harga pasar. “Tugas Bapepam menjaga agar tidak ada manipulasi pasar dan atau pasar semu, serta rekayasa lainnya yang menyebabkan pasar menjadi tidak wajar dan tidak transparan,” jelas dia.

Komitmen JP Morgan

Gita Wirjawan memastikan, JP Morgan tetap mendukung BNI kendati jangka waktu stabilisasi harga 30 hari terlewati. Alasannya, BNI merupakan milik nasional yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Namun, dia belum bisa menjelaskan bentuk dukungan JP Morgan terhadap BBNI. Dia tidak menepis kemungkinan JP Morgan menjadi market maker BNI.

Gita mengimbau para investor tidak panik dan berlomba-lomba menjual saham BNI. Semakin panik, justru tidak bisa menolong diri sendiri. "Padahal secara fundamental barangnya bagus," kata Gita.

Di tempat terpisah, Menneg BUMN Sofyan Djalil menyatakan, penurunan saham BNI sejak diperdagangkan Senin (13/8) terjadi karena kondisi pasar global yang memang sedang sangat sulit. "Penjamin emisi telah melakukan upaya stabilisasi, tapi dalam kondisi pasar saat ini yang harus dilakukan investor adalah bersabar," ujar dia.

Sofyan menuturkan, investasi di pasar modal adalah untuk tujuan jangka panjang. "Kalau memang banyak investor berpikir membeli saham di pasar perdana, lalu menjual di pasar sekunder bisa mendapat capital gain, dalam kondisi pasar seperti sekarang sulit tercapai," tukas dia.

Menneg BUMN dan Ketua Bapepam-LK sependapat, pasar global saat ini memang dalam keadaan memburuk. Keduanya berharap, para pemegang saham untuk tetap menahan diri. BBNI memiliki fundamental bagus, sehingga akan lebih baik ditahan (tidak dijual).

“Pelaku harus cermat terhadap setiap perkembangan dan informasi pasar, serta tidak boleh spekulasi. Hemat saya, perkembangan harga saham BNI pararel dengan perkembangan indeks secara keseluruhan,” kata Fuad Rafmany.

JP Morgan berharap saham BBNI rebound dalam waktu cepat karena didukung fundamental yang bagus. Menurut dia, harga diskon saham BBNI masih normal. Kini, mulai ada institusi besar yang membeli saham BNI karena mulai melihat posisi nilainya. “Ini menunjukkan tanda saham BNI mulai healthy (sehat),” ujar Gita Wirjawan.

Menurut Gita Wirjawan, semua dana hasil SPO telah teralokasi dan dana greenshoe sudah digunakan sebagian untuk stabilisasi harga saham BNI. Namun Gita tidak menyebutkan besarnya dana yang sudah digunakan untuk stabilisasi.

Penunjukan JP Morgan sebagai stabilitator harga saham BNI, menurut Andi Sidharta, merupakan hasil kesepakatan dari Bahana, JP Morgan, dan pemegang saham yaitu pemerintah. Bahana Securities hanya bertindak sebagai pihak yang melakukan penjualan SPO, dibantu 24 perusahaan sindikasi antara lain PT BNI Securities (terafiliasi), PT Danareksa Sekuritas, dan PT Mandiri Sekuritas.

Andi mengatakan, JP Morgan cukup maksimal untuk menstabilkan harga saham BBNI di pasar sekunder. JP Morgan telah melakukannya sejak SPO Bank BNI tersebut dicatatkan di Bursa Efek Jakarta pada 13 Agustus 2007. Namun, JP Morgan memiliki keterbatasan dalam menghadapi gejolak pasar saham yang tidak stabil saat ini.

Aksi JP Morgan itu tidak mampu menaikkan harga saham BBNI yang saat ini mempunyai kecenderungan terus menurun. Lagi pula ‘peluru’ yang dimilikinya memang sangat terbatas. “JP Morgan hanya berusaha menahan supaya harga saham Bank BNI tidak terpuruk lebih dalam lagi,” jelas Andi.

Saham BBNI pertama kali dicatatkan di lantai bursa pada November 1996. Saat itu, pemerintah menjual 25% kepemilikannya kepada publik. Namun akibat dampak krisis ekonomi, BNI menjadi salah satu bank yang direkapitalisasi sehingga kepemilikan pemerintah menjadi lebih dari 99%. Dengan selesainya program SPO kali ini, kepemilikan Pemerintah di BNI menjadi 72,35% dan kepemilikan publik meningkat menjadi 26,65%. (c114/ari/rad/jjr)

Privatisasi Superholding

www.majalahtrust.com

MENYUSUL berita tentang rencana penjualan saham 15 BUMN di tahun 2008, pekan lalu, Meneg BUMN Sofyan Djalil memutuskan untuk melanjutkan privatisasi dalam skala yang lebih besar. Katanya, ia punya gagasan untuk mendirikan superholding, induk BUMN yang memayungi ratusan unit bisnis. Gagasan ini muncul setelah ia melakukan studi banding ke KFW Jerman, Temasek Singapura, dan Khasanah Malaysia.

Gagasan itu memang baru wacana di atas kertas. Namun, bukan tak mungkin superholding yang digagas oleh Sofyan adalah jalan terbaik untuk menyelamatkan BUMN. Sebab, harus diakui, banyak sisi positifnya jika BUMN-BUMN dikelompokkan ke dalam holding. Pertama, memungkinkan terjadinya peningkatan nilai pasar BUMN. Kedua, dapat meningkatkan kompetitif karena menjadi lebih fokus dan skala usaha yang lebih ekonomis. Posisi tawar-menawar BUMN pun menjadi lebih tinggi.

Dengan posisi seperti itu, diharapkan uang yang diperoleh dari privatisasi menjadi lebih besar dibandingkan dijual satu per satu. Dalam lima tahun ke depan, hasil privatisasi melalui pengelompokan holding BUMN ini diperkirakan mencapai Rp 700 triliun lebih. Pada saat itu, kepemilikan pemerintah di induk perusahaan tinggal 26%, sedangkan di anak perusahaan sekitar 51%. Jika saat itu nilai perusahaan diperkirakan mencapai Rp 1.600 triliun, maka kepemilikan pemerintah di BUMN masih Rp 816 triliun.
Di saat keuangan negara sedang cekak, memang paling enak menjual BUMN yang terus merugi. Duit masuk, beban berkurang. Jika BUMN-BUMN itu tidak segera diprivatisasi, kerugian yang berlarut-larut akan menguras kekayaan negara. Betul, tidak semua BUMN merugi, apalagi sampai kronis. Dan masalah utama BUMN bukan masalah merugi. Kerugian hanyalah puncak gunung es. Masalah utamanya adalah inefisiensi yang pada BUMN umumnya demikian rendah sehingga tampak dalam kerugian.

Tapi, bila masalahnya efisiensi, mengapa BUMN harus diprivatisasi? Mengapa jalan keluarnya bukan peningkatan manajemen? Untuk menjawabnya, tentu kita perlu meneliti penyebab inefisiensi ini. Banyak yang mengatakan hal itu dikarenakan tingginya penyelewengan di BUMN, mismanajemen, dan favoritisme. Memang, dalam BUMN-BUMN tertentu, efisiensi tetap rendah walaupun ketiga hal tersebut tidak terjadi.

Penyebab lain adalah kaburnya misi perusahaan. BUMN yang berfungsi sebagai revenue center bagi pemerintah, sering juga dibebani tugas-tugas sosial. Para manajer BUMN di sini sering dihadapkan pada masalah yang cukup sulit. Di satu sisi, mereka harus mengusahakan efisiensi produksi untuk menghadapi dinamisme pasar. Di sisi lain, mereka harus menginternalisasikan masalah-masalah besar dari luar. Pengangguran, misalnya.

Privatisasi merupakan jalan yang paling banyak dianjurkan para ahli untuk meningkatkan efisiensi BUMN. Tapi, bagi Indonesia, pemecahan masalah ini tidak mudah dilaksanakan. Kita belum mempunyai pasar modal yang mampu menyerap saham BUMN dalam jumlah besar. Penjualan BUMN pada kekuatan-kekuatan ekonomi terbatas atau perusahaan multinasional juga dapat menimbulkan masalah lain. Karena itu, ide privatisasi BUMN dalam bentuk superholding dianggap jalan yang pas.

Tentu saja, hal itu tak dapat diberlakukan pada semua BUMN. Jadi, langkah pertama adalah memisahkan antara BUMN yang revenue center dan yang bukan. Yang disebut terakhir adalah BUMN yang punya fungsi sosial dan politik. Kedua, perlu pemisahan antara birokrat pengelola dan manajer. Para birokrat hanya menentukan tujuan perusahaan yang jelas dan mudah diukur, yang berfungsi sebagai tolok pengukuran prestasi manajer.
Bagaimana jika BUMN yang revenue center tetap merugi, walaupun langkah-langkah di atas sudah dilaksanakan? Karena BUMN-BUMN itu sudah diprivatisasi, maka hal itu sama dengan masalah perusahaan swasta. Di sini baru diperlukan pemecahan manajemen dan kesempatan pasar. Maksudnya, seperti di perusahaan-perusahaan swasta, bila sudah tetap dianggap tidak layak, maka jawabannya adalah tutup.

Target Privatisasi dan Penciutan BUMN

Oleh Mandala Harefa

Pemerintah akan memasukkan seluruh penerimaan privatisasi/divestasi enam perusahaan ke dalam APBN 2007 menjadi penerimaan negara. Padahal, di enam perusahaan "plat merah" itu pemerintah hanya memiliki saham minoritas. Kendati sektor yang menjadi bidang usaha enam perusahaan itu saat ini tergolong kompetitif. (Harian Suara Karya, Senin, 26 Februari 2007).

Enam perusahaan itu adalah PT Jakarta Internasional Hotel Development (JIHD) sebesar 1,33 persen, PT Atmindo 36,6 persen, PT Intirub 9,99 persen, PT Prasadha Pamunah Limbah Industri (PPLI) 5 persen, PT Kertas Blabak 0,84 persen, dan PT Kertas Basuki Rahmat 0,38 persen. Sesungguhnya perusahaan-perusahaan itu sangat lumrah untuk dilego.

Namun, jika melihat lima perusahaan lainnya melalui strategic sale atau divestasi dan privatisasi terhadap sembilan BUMN yang kepemilikan sahamnya oleh pemerintah mayoritas, yaitu Jasa Marga, BNI, Wijaya Karya, PNM, Garuda Indonesia, Merpati Nusantara, PT Industri Soda Indonesia, PT Industri Gelas, dan PT Cambrics Primisima, tentunya pemerintah perlu melakukan kajian.

Tentang pelepasan 100 persen saham pemerintah di PT Industri Soda dan seluruh saham di PT Industri Gelas sebesar 63,82 persen dan 52,7 persen saham pemerintah di PT Cambrics Primisima ditujukan seluruhnya untuk memenuhi target APBN 2007, adalah sangat tepat. Mengingat sektor tersebut bukanlah produk yang strategis.
Dengan adanya target privatisasi BUMN, ditambah Rp 1 triliun dalam APBN-P, maka target penerimaan tahun ini menjadi Rp 4,3 triliun. Ini tentunya cukup memusingkan. Hal ini juga merupakan buah dari kegagalan pemerintah pada 2006, target investasi yang ditetapkan sebesar Rp 3,3 triliun, namun hanya tercapai Rp 2,1 triliun.
Pemerintah juga akan melepas kepemilikan saham di Jasa Marga yang saat ini 100 persen, sebesar maksimal 49 persen dan dananya akan digunakan untuk memperkuat struktur modal dan pembiayaan investasi. Demikian juga saham pemerintah di BNI, saat ini 99,12 persen dan setelah privatisasi kepemilikan pemerintah minimal 51 persen. Hasilnya akan digunakan untuk meningkatkan struktur permodalan dan memperbaiki landing capacity serta memenuhi target APBN.

Kesimpulannya, pemerintah melakukan privatisasi dan penciutan melalui penjualan BUMN dengan tujuan untuk menutup defisit APBN, selain menutup kerugian perusahaan. Padahal seharusnya dalam konteks di atas, saat inilah momentum yang tepat membenahi badan-badan usaha milik negara (BUMN). Sepatutnya hal itu dikaitkan dengan upaya pemberdayaan sektor publik bagi kesejahteraan masyarakat, dengan membuka lapangan kerja.

Upaya yang dilakukan pemerintah seharusnya tidak sekadar memenuhi target jangka pendek, tetapi benar-benar berani untuk melakukan langkah-langkah yang cepat, berani dan terencana. Namun, bisa dimaklumi bila pemerintah terkesan mau ambil gampangnya saja, seperti menjual BUMN yang tak menguntungkan dan sibuk mengutak-atik keberadaan BUMN yang gemuk saja. Hal ini karena sejumlah prasyarat yang diperlukan (necessary conditions) untuk mewujudkan perbaikan di sektor publik dalam waktu yang cepat agaknya teramat sulit untuk dihadirkan, dalam kondisi perpolitikan dan problematika kenegaraan dewasa ini.

Selain untuk mencapai syarat, hal yang tak kalah penting adalah memperhatikan economies of scale yang pada akhirnya bisa menurunkan biaya rata-rata jangka panjang (long-run average cost). Sehingga menghasilkan peningkatan daya saing, terutama untuk BUMN Garuda dan Merpati. Seharusnya dengan BUMN transportasi udara yang asetnya bergerak akan memberikan ruang gerak yang cukup leluasa bagi perusahaan untuk menekan biaya tetap (fixed cost).

Tugas Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah menyelesaikan pengkajian mendalam (due diligence) seluruh kelompok perusahaan negara (BUMN). Kebijakan pemerintah secara bertahap akan mengurangi jumlah BUMN (rightsizing) haruslah terukur, bukan karena tujuan-tujuan jangka pendek.
Apalagi pada tahun ini, jumlah BUMN akan diciutkan menjadi 102 perusahaan dari sebelumnya 139 perusahaan. Selanjutnya, pada 2008, jumlah BUMN akan dikurangi lagi menjadi 87 perusahaan. Penciutan jumlah BUMN akan terus dilakukan hingga akhir 2015. Pada 2015, jumlah BUMN hanya tinggal 25 perusahaan.
Dengan penciutan itu, pemerintah tidak saja harus memetakan BUMN yang ada, namun melihat eksternalitas suatu BUMN. Nilai strategisnya berdasarkan putusan ekonomi yang menguntungkan bagi masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan pengkajian yang mendalam masing-masing BUMN dalam penataannya ke dalam bentuk perusahaan induk (holding), diprivatisasi dan didivestasi, dibiarkan tetap berdiri sendiri (stand alone, serta dilikuidasi atau digabung (merger).

Selain kajian internal Kementerian BUMN, harus ada kerja sama dengan menteri teknis dan Menteri Keuangan. Namun yang menjadi pertanyaan, perlu-tidaknya intervensi dengan DPR. Sebab, jika terjadi perubahan kepemilikan harus dikonsultasikan dengan anggota DPR, tentunya akan mengubah arah privatisasi. Parlemen hendaknya cukup mendukung secara legal melalui sebuah UU Privatisasi BUMN.
Program penciutan BUMN membutuhkan proses yang akuntabel sesuai dengan Undang-Undang Pasar Modal. Tujuannya agar tidak terjadi distorsi terhadap saham dari masing-masing BUMN. Nah, bila pembahasan itu terlalu banyak campur tangan dari para politikus, dikhawatirkan akan terjadi pembiasan tujuan suatu kebijakan.***

Penulis adalah periset di DPR-RI

IPO Jasa Marga Tetap September 2007

15/08/2007 15:13:14 WIB

JAKARTA, investorindonesia.com
Penawaran saham perdana (Initial Public Offering/IPO) PT Jasa Marga (Persero) ditetapkan sesuai jadwal yakni pada September tahun ini meski kondisi pasar dinilai belum kondusif.

"Jasa Marga tetap on schedule sesuai rencana awal," kata Sekretaris Kementerian Negara BUMN, Muhammad Said Didu di Jakarta, Rabu.

Ia mengatakan, selain Jasa Marga, semua BUMN yang direncanakan untuk privatisasi tetap dilaksanakan sesuai jadwal semula termasuk PT Wijaya Karya (Wika) pada kuartal keempat 2007. "Semuanya on schedule, semuanya jalan seperti rencana semula," kata Said.

Menurut dia, meskipun Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Jakarta (BEJ) kembali turun, semua rencana privatisasi tetap akan dijalankan dan belum ada perubahan apapun.

Untuk underwriter IPO Jasa Marga ditetapkan joint lead antara dua konsorsium, yaitu PT Bahana Secirities dengan PT Danareksa Sekuritas yang keduanya beranggotakan Credit Suiss, City Group, Duetche Bank, Mandiri Sekuritas, dan UBS. (ant/gor)

Penghuni Kolong Jalan Layang Disediakan Rusunawa

15/08/2007 23:51:08 WIB

JAKARTA, Investor Daily
Pemerintah akan menyediakan rumah susun sederhana sewa (rusuna) bagi penghuni kolong jalan layang sebagai upaya untuk memindahkan mereka dari tempat yang memang semestinya tidak difungsikan sebagai hunian.

"Ada dua lokasi yang kami siapkan yakni tiga twin blocks di Parung Panjang dan enam twin blocks di Marunda. Setiap twin blocks bisa menampung 96 kepala keluarga (KK) sehingga total sekitar 864 KK," kata Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto di Jakarta, Selasa (14/8).

Menteri PU menjelaskan hal tersebut kepada pengurus baru Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional (LPJKN) sebelum melaksanakan kunjungan ke lokasi bekas terbakarnya di bawah Jalan Layang Interchange, Pluit, Jakarta Utara.

Angka 864 KK tersebut, menurut Menteri PU, belum mencukupi untuk memindahkan seluruh penghuni kolong jalan layang tol, namun Departemen PU masih memiliki anggaran yang cukup untuk membangun rusunawa sepanjang lahan disediakan Pemprov DKI Jakarta.

Saat ini, jelas Djoko, Puslitbang Jalan Departemen PU telah memasang papan peringatan di kolong jalan layang sebagai daerah berbahaya untuk ditinggali. "Semoga papan peringatannya masih ada dan tidak dirobohkan warga," ujar dia.

Sementara itu, menurut Ketua Umum LPJKN Malkan Amin yang ditemui di lokasi bekas kebakaran, seharusnya di lokasi tersebut tidak lagi ada hunian tetapi di lapangan masih ditemukan masyarakat yang bertahan.

Dia menjelaskan ambruknya jalan layang tol tidak berlangsung perlahan-lahan dan biasanya mendadak patah sehingga korban di bawah biasanya tidak akan sempat menyelamatkan diri.

Malkan meminta Pemerintah agar dapat bersikap tegas terhadap masyarakat yang tinggal di kolong jalan layang tol. "Kan sudah ada aturannya jadi tinggal penegakan hukumnya," ujar dia.

Malkan mengatakan, memang ada porsinya sendiri mengenai kewenangan pusat dan daerah. Tetapi untuk jalan tol sudah jelas siapa yang harus bertanggung jawab agar tidak ada hunian di kolong tol.

Menurut Malkan, rehabilitasi terhadap jalan tol yang terbakar tersebut menjadi beban PTB CMNP dan Pemprov DKI Jakarta. Biaya untuk itu diperkirakan mencapai Rp 50 miliar untuk pembongkarannya.

"Tetapi masalahnya tidak sampai di situ. Akibat pembongkaran akan membuat lalu-lintas mengalami kemacetan termasuk angkutan barang yang mengakibatkan kerugian ekonomi," ujar dia.

Dia memperkirakan, dampak tidak langsung dari peristiwa kebakaran tersebut bisa mencapai kerugian ratusan miliar apalagi perbaikan tersebut dapat memakan waktu berbulan-bulan.

Malkan meminta agar tim yang memeriksa kelayakan jalan dapat menerbitkan rekomendasi yang dapat dipertanggungjawabkan sehingga jalan tersebut tetap aman untuk dilalui. (nas)

Jasa Marga isyaratkan harga nominal Rp500 per saham

Rabu, 15/08/2007

JAKARTA: PT Jasa Marga mengisyaratkan akan menetapkan nilai nominal sahamnya pada level Rp500 per saham dalam rangka pelepasan saham perusahaan itu ke publik? untuk meraup dana sekitar Rp3 triliun.

Seorang eksekutif yang terlibat dalam transaksi ini mengatakan penetapan nilai nominal sebesar Rp500 per saham disesuaikan dengan permintaan Kementerian BUMN.

"Kalau soal target pelepasan saham Jasa Marga tetap berkisar antara Rp2,5 triliun sampai Rp3 triliun. Jumlah saham Jasa Marga yang dilepas maksimal mencerminkan 30% dari total kepemilikan di perusahaan itu," ujarnya,? kemarin.

Namun, dia belum memastikan kisaran harga yang akan ditawarkan kepada investor mengingat prosesnya sedang berlangsung.

"Yang jelas roadshow direncanakan berlangsung mulai pertengahan September ke beberapa pusat keuangan dunia seperti Singapura, Hong Kong, London, Edinburgh dan Boston. Kami perkirakan pada Oktober harga sudah bisa ditetapkan dan proses privatisasi sudah bisa dituntaskan."

Menneg BUMN Sofyan A. Djalil mengatakan? privatisasi Jasa Marga terus berjalan pada tahun ini meskipun kondisi pasar sedang mengalami tekanan.

"Target penjualan Jasa Marga tetap tidak ada yang berubah."

Dia memastikan komitmennya untuk menggelar penjualan saham Jasa Marga ke pasar modal pada tahun ini.

Jasa Marga pada tahun depan mengalokasikan belanja modal sebesar Rp1 triliun untuk memulai sejumlah proyek jalan tol.

Struktur modal

Dirut Jasa Marga Frans Satyaki Sunito pada pekan lalu mengatakan semakin kuatnya struktur modal perseroan memungkinkan bagi BUMN jalan tol tersebut untuk mencari pendanaan eksternal.

"Rasio utang terhadap modal yang melemah bisa dimanfaatkan perseroan untuk mencari pendanaan dari luar."

Jasa Marga telah menunjuk Scaden Arps, Slate, Meagher & Floam LLP sebagai konsultan hukum internasional penawaran saham perdana (initial public offering/IPO) perseroan.

Dengan penunjukan itu, berarti proses dokumentasi seperti pembuatan offering circular, media untuk menawarkan saham Jasa Marga kepada investor asing, dapat segera dilaksanakan. Scaden bersaing dengan White & Case LLP dan Paul Hastings.

Privatisasi Jasa Marga telah mendapatkan persetujuan dari Komisi XI DPR melalui surat No. KD.01/3406/DPR RI/2007.

Laba bersih perseroan tahun ini diperkirakan mencapai Rp249,24 miliar dan Rp582,05 miliar pada tahun depan. Pada 2009, laba bersih BUMN itu Rp887,43 miliar, pada 2010 Rp739,70 miliar.

EBITDA perseroan tahun ini diperkirakan tumbuh 20%-25% dibandingkan tahun lalu Rp820 miliar, sedangkan pendapatan usaha 2007 diprediksi naik mencapai Rp2,6 triliun dari tahun lalu Rp2,3 triliun.

Pendapatan usaha perseroan diproyeksikan tumbuh rata-rata sebesar 21% dan laba usaha diperkirakan tumbuh 32%.

Sedangkan total aset perseroan diperkirakan tumbuh dari Rp11,4 triliun menjadi Rp25,9 triliun pada 2011 dengan tumbuh rata-rata sebesar 20% per tahun. (munir.haikal@bisnis.co.id)

Oleh M. Munir Haikal
Bisnis Indonesia