Rabu, 18 Juli 2007

Peran Strategis Komisi Pemberantasan Korupsi

Penulis : Adnan Topan Husodo

Lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) didasarkan pada perkembangan pemikiran di dunia hukum bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa. Label demikian dianggap tepat untuk disematkan dalam konteks Indonesia, mengingat daya rusak praktek korupsi telah mencapai level tinggi. Maka, tak mengherankan jika hingga hari ini Indonesia masih terjebak dalam suatu kondisi sosial-ekonomi dan politik yang memprihatinkan.

Indikasinya bisa dilihat dari deretan angka kemiskinan yang tinggi, besarnya tingkat pengangguran, rendahnya indeks sumber daya manusia Indonesia, serta rendahnya kualitas demokrasi. Secara langsung ataupun tidak, keadaan di atas disebabkan oleh korupsi yang sudah telanjur mewabah. Korupsi telah membuat lumpuh sebagian besar daya dan kekuatan yang dimiliki bangsa ini untuk bangkit dari keterpurukan.

Selama ini, program pemberantasan korupsi melalui pendekatan konvensional telah divonis gagal dalam mengurangi tingginya korupsi yang terjadi. Kegagalan demi kegagalan dalam memberantas korupsi menumbuhkan sebuah keyakinan bahwa, dalam sebuah sistem tempat korupsi telah menjadi endemik, mekanisme penegakan hukum yang biasa hanya akan menutupi pejabat negara yang korup.

Institusi penegak hukum konvensional yang bertindak menegakkan hukum semakin tidak berdaya dalam mendeteksi dan menuntut kasus-kasus korupsi yang kian kompleks. Bahkan institusi-institusi tersebut telah menjadi bagian dari mata rantai korupsi yang merajalela. Karena itu, kehadiran KPK seharusnya merupakan sebuah jawaban bagi deadlock-nya upaya melawan korupsi.

Akan tetapi, berdasarkan hasil evaluasi ICW terhadap kinerja institusi KPK selama kurun waktu 2003-2007 dalam memberantas korupsi, terdapat berbagai kelemahan yang ditemukan. Salah satu yang mendasar adalah tidak mencukupinya basis analisis untuk melihat akar dan problematika korupsi itu sendiri. Sehingga desain kebijakan dan program pemberantasan korupsi yang dikembangkan oleh KPK dirasa kurang efektif, efisien, relevan, dan berkelanjutan.

Dalam analisis berbagai pakar, Indonesia saat ini berada pada tipologi korupsi ketika state capture type of corruption telah mendominasi ruang-ruang kebijakan publik, sementara korupsi birokrasi juga berada pada tingkat yang mengkhawatirkan. Dua keadaan ini menyebabkan kita disandera oleh sistem yang teramat korup (UNDP, 2002). Atau, dengan kata lain, tidak dapat berbuat apa pun untuk membenahi persoalan korupsi yang sudah sedemikian pelik.

Sementara itu, di sisi yang lain, KPK masih berkutat pada penanganan korupsi yang bertipologi petty administrative corruption. Karena itu, proses hukum atas kasus-kasus korupsi yang ditangani KPK tidak memiliki dampak yang berarti, karena hilangnya nilai strategis dari sebuah kasus korupsi yang ditangani. Nilai strategis itu dilihat dalam dua pendekatan, yakni sumber korupsi yang selama ini menjerat bangsa Indonesia dalam keterpurukan ekonomi, sosial, dan politik, serta dampak langsung pemberantasan korupsi dalam bentuk pembenahan sistem yang rentan terhadap korupsi setelah penegakan hukum dilakukan.

State capture bisa dilihat pada aktor utama pelaku korupsinya, yakni pejabat politik, pejabat negara, dan kalangan swasta/pengusaha yang berkolusi menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaan negara/publik. Aktor inilah yang menciptakan sebuah kondisi negara yang terus-menerus tersandera oleh ketidakberdayaan sosial-ekonomi dan politik.

Di samping karena kerugian negara dan masyarakat yang dapat mencapai triliunan rupiah, state capture telah menciptakan monopoli dalam penguasaan dan alokasi sumber daya ekonomi publik. Melalui praktek komunikasi dan lobi secara informal, tertutup dengan contact person di level tinggi, state captors bekerja mempengaruhi kebijakan publik yang dapat menguntungkan aktor-aktornya. Pendek kata, dalam korupsi bertipologi state capture, kebijakan publik merupakan arena transaksi dan sumber akumulasi kekayaan.

Namun, sayangnya, hingga saat ini, pun setelah KPK lahir, aktor-aktor state capture masih tetap tidak tersentuh. KPK masih sebatas menangani kasus-kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah, pejabat eselon, dan pemimpin proyek--yang sebagian besar korupsinya terjadi di sektor pengadaan barang dan jasa. Barangkali sektor ini memang rawan terhadap korupsi. Tapi berbagai sektor lain, tempat sumber ekonomi publik yang demikian besar dikelola, seharusnya menjadi pilihan-pilihan yang strategis untuk dihantam.

Memang KPK tidak didesain untuk menegakkan hukum korupsi di semua lini. Karena itu, seharusnya pilihan dalam membidik sebuah kasus korupsi harus didasarkan pada pertimbangan strategisnya. Terutama pada titik di mana kejaksaan dan kepolisian memiliki hambatan politik untuk menanganinya. Jika KPK menangani perkara korupsi yang sederajat dengan kualitas perkara milik kejaksaan dan kepolisian, hal ini justru hanya akan menimbulkan naiknya ongkos dalam memberantas korupsi.


Supaya KPK dapat terfokus pada kasus-kasus korupsi yang memiliki spektrum politik besar, sekaligus memiliki dampak terhadap perbaikan ekonomi dan pelayanan publik, mekanisme supervisi dan koordinasi harus dioptimalkan. Mengingat banyak kasus korupsi birokratis yang ditangani kejaksaan dan kepolisian mengalami kemacetan, KPK harus mengawasi secara serius proses penegakan hukumnya. Dengan kewenangan itu, diharapkan penanganan kasus-kasus korupsi birokrasi, yang selama ini menjadi tanggung jawab kejaksaan dan kepolisian, menjadi lebih efisien dan tidak koruptif.

Selama ini tidak dapat dimungkiri bahwa terdapat penambahan jumlah kasus yang ditangani kejaksaan dan kepolisian setelah mekanisme supervisi dan koordinasi dilakukan KPK, tapi hal itu tidak mengurangi praktek korupsi dalam penanganan kasus korupsi. Karena itu, untuk mendorong proses penegakan hukum pada tingkat kejaksaan dan kepolisian, KPK seharusnya memulai upaya pemberantasan korupsi dengan melakukan pembersihan pada tubuh aparat penegak hukum. Upaya membersihkan kejaksaan dan kepolisian akan sangat membantu KPK dalam menangani perkara-perkara korupsi yang sedemikian banyak.

Namun, sayangnya, hingga menjelang berakhirnya masa tugas pemimpin KPK periode 2003-2007, belum ada satu pun aparat penegak hukum yang diproses, kecuali Suparman selaku penyidik KPK sendiri. Padahal mustahil mendorong program pemberantasan korupsi di tubuh kejaksaan dan kepolisian seandainya upaya-upaya pembersihan tidak segera dilakukan. Demikian juga halnya lingkup pengadilan, yang seharusnya menjadi prioritas mengingat semua proses hukum akan bermuara di tangan para hakim.

Karena itu, ke depan sudah seharusnya pemimpin KPK terpilih harus benar-benar memiliki perspektif yang kuat sehingga dapat melihat secara lebih tajam persoalan mendasar dari merajalelanya korupsi. Sudah seharusnya desain program dan kebijakan pemberantasan korupsi harus becermin pada tipologi korupsi yang mendominasi. Bukan sekadar menjalankan tugas dan kewajiban memberantas korupsi sebagaimana mandat undang-undang tapi tanpa bekal yang cukup memadai.

Adnan Topan Husodo, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch

Di Posting dari : www.tempointeraktif.com
TOL CIKUNIR-HANKAM BEROPERASI PADA BULAN DEPAN

Pembangunan ruas tol lingkar kota Jakarta atau Jakarta Outer Ring Road (JORR) ruas E1 seksi IV, Cikunir-Hankam direncanakan selesai pada bulan depan. Menteri Pekerjaan Umum (PU) Djoko Kirmanto meminta kepada PT Jasa Marga selaku pengelola ruas tersebut, agar Cikunir-Hankam sudah bisa dipakai secara fisik sebelum 17 Agustus mendatang.
”Kalau berdasar janjinya Pak Saut (pimpinan proyek pembangunan JORR ruas E1 seksi IV) pembangunan selesai akhir Juli, sehingga secara fisik bisa digunakan pada Agustus,” ungkap Djoko Kirmanto usai meninjau langsung ke lapangan pembangunan ruas tol tersebut di Jakarta, Senin siang (16/7).
Dalam peninjauan lapangan tersebut, Menteri PU turut didampingi antara lain Kepala Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Hisnu Pawenang, Direktur Utama PT Jasa Marga Frans Sunito, Pimpinan Proyek pembangunan JORR ruas E1 seksi IV Saut Situmorang, dan Kepala Pusat Komunikasi Publik Departemen PU Amwazi Idrus.
Lebih lanjut Djoko Kirmanto menjelaskan, penetapan tarif akan segera dilakukan tidak lama setelah pembukaan resmi ruas tol tersebut. Saat ini BPJT tengah menghitung penetapan tarifnya.
Hisnu Pawenang mengungkapkan, kemungkinan tarif Cikunir-Hankam akan sama dengan tarif ruas JORR lainnya yang sebesar Rp 420 per Km. Namun, Dirut PT Jasa Marga meminta agar untuk ruas tersebut memakai pola operasi terbuka atau sekali bayar. Djoko Kirmanto meminta kepada Kepala BPJT agar segera membentuk tim evaluasi jalan tol untuk ruas E1 seksi IV sebelum dibuka secara komersil.
”BPJT harus sudah siap-siap sekarang timnya dibentuk, tidak perlu nunggu barangnya jadi terlebih dahulu,” pinta Menteri PU.
Berdasarkan tinjauan di lapangan, pembangunan ruas sepanjang 4 Km tersebut telah hampir selesai seluruhnya, bahkan telah dapat digunakan masyarakat sekitar sebagai jalan alternatif. Pembangunan yang tengah dilakukan hanya berupa pembetonan badan jalan pada beberapa jembatan yang telah dibangun.
Pembangunan tol yang menghubungkan ruas Cikampek-Jatiasih , Bambu Apus, Hankam, Jagorawi hingga ke Pondok Indah, Pondok Pinang, Binataro, Bumi Serpong tersebut terhambat 2,5 tahun akibat permasalahan pembebasan lahan. Frans Sunito memperkirakan kerugian yang diderita PT Jasa Marga akibat molornya pengoperasian ruas tersebut mencapai Rp 4 miliar setiap bulannya.
”Setiap bulannya akibat belum tembusnya JORR, Jasa Marga kehilangan potensi penghasilan mencapai Rp 4 miliar. Namun, angka tersebut bukan hasil dari bagian itu saja (ruas E1 seksi IV-red), semestinya jiika Cikunir-Hankam telah dibuka dari dulu, volume kendaraan yang melintas dari Cikunir hingga Ulujami akan lebih banyak dari sekarang,” ucap Frans Sunito.
Dengan dibukanya ruas tersebut, diharapkan beban lalu lintas kendaraan di interchange Cawang dapat direduksi. Lalu lintas dari tol Jagorawi menuju Cikampek maupun arah sebaliknya, yang selalu terhambat kemacetan di daerah Universitas Kristen Indonesia (UKI) tidak akan terjadi lagi.(rnd)
Di Posting dari : www.pu.go.id