Senin, 20 Agustus 2007

Pers Bebas

www.majalahtrust.com

Sejumlah wartawan, aktivis lembaga swadaya masyarakat memperingati hari pembredelan tiga media, Tempo, Detik, dan Editor. Pembredelan itu terjadi pada 21 Juni, sembilan tahun yang lalu. Masihkah pers terancam pembredelan, ketika Departemen Penerangan telah dibubarkan, dan lembaga persatuan wartawan tak lagi hanya PWI yang kepanjangan tangan departemen itu.

Terang, dari pemerintah, secara langsung, penutupan media massa tak dimungkinkan lagi. Tapi, teoretis, bila pemerintah memang hendak menutup atau melumpuhkan sebuah media massa, bisa saja dengan jalan berputar, secara tidak langsung. Misalnya, dengan mendekati pemilik modal yang berkepentingan medianya tetap hidup pemberitaan bisa dibatasi. Bahkan, pemberhentian terhadap satu atau lebih wartawan yang dianggap punya agenda sendiri bisa saja dilakukan.

Padahal, makna kebebasan pers bukanlah demi kepentingan pers itu sendiri. Kebebasan itu juga menjadi milik yang di luar pembaca, sumber berita, dan lain sebagainya. Karena itu sumber berita boleh dan berhak mengirimkan tanggapan bila ia merasa dirugikan oleh sebuah pemberitaan pers. Dan pihak pers wajib mempublikasikan tanggapan tersebut.

Dalam hal ini ada keberatan klasik dari pihak yang merasa dirugikan. Katanya, berita telanjur tersebar, mungkin sepanjang satu atau malah dua kolom, sedangkan tanggapan dari yang dirugikan itu, biasanya ditampung dalam rubrik surat pembaca, diedit oleh redaksi, dan muncul hanya dua-tiga alinea. Koreksi itu tak sebanding dengan berita, apalagi dampaknya.

Tapi begitulah kelaziman terbentuk dalam dunia pers secara universal. Itu pula sebabnya lahir kode etik wartawan, untuk menjaga agar jurnalis tak menjadi alat selain bagi fakta dan kebenaran. Karena itu pula peluang mengoreksi pers pun terbuka, sebagaimana di bidang-bidang yang lain. Yakni, pengadilan.

Persoalannya, bila polisi, jaksa dan hakim bisa disuap, pengadilan pun menjadi lembaga hanya untuk keadilan orang yang punya duit. Sementara itu, jalan lain seperti tak terlihat, mau tak mau, dua pihak yang berperkara jatuhnya ke pengadilan jua. Padahal, menyewa pengacara bukanlah ongkos yang kecil. Apalagi, bila pers kalah di pengadilan dan dihukum membayar ganti rugi miliaran rupiah. Inilah jalan pembredelan terhadap pers dengan cara membangkrutkannya lewat cara yang seolah adil membayar miliaran rupiah bagi umumnya media massa berarti kebangkrutan.

Dalam kaitan ini, usul Goenawan Mohamad, redaktur senior Tempo, mungkin bermanfaat diwujudkan: dibentuk lembaga bantuan hukum pers. Lewat lembaga ini, besar-kecil fee untuk pengacara bisa diatur menurut kemampuan pers.
Itu semua berkaitan dengan mempertahankan kebebasan pers. Upaya itu berharga ditempuh karena dengan kebebasan pers demokrasi bisa dipertahankan, kekeliruan dikoreksi. Kebebasan pers membuat sebuah negara, sebuah pemerintahan, selalu mungkin memperbaiki diri terus-menerus. Ini diperlukan karena kesalahan, juga kemelencengan, pada hakikatnya menempel pada manusia.

Kita perlu belajar dari masa ketika kebebasan pers dikekang. Berbagai persoalan menjadi tidak jelas, yang seharusnya bisa dicarikan solusinya menjadi terpendam, dan kemudian meledak begitu ada peluang KKN yang merajalela, penegakan hukum yang tak kunjung tiba, politik uang, rasialisme dan seterusnya, hal-hal yang bisa dicegah dan diperbaiki sebelum makan korban besar. Pers yang bebas dan berkualitas akan menjadi semacam penjaga moral bangsa, siapa pun merasa tak hendak berbuat curang, karena pasti akan masuk surat kabar. Sebaliknya, tanpa kebebasan pers, akan mendorong siapa pun berbuat seenaknya. Pemerintahan diktator, atau yang otoriter tak bakal membiarkan pers bebas.

Dan karena kebebasan pers bukan hanya milik media, ini bisa menjadi barometer sebuah bangsa. Masih adanya pers yang berakal sehat artinya ada juga pembaca yang sehat, dan sumber berita yang mau dan berani mengungkapkan kebenaran akan menjadi harapan bahwa suatu masyarakat masih bisa diperbaiki. Andai seluruh pers di sebuah negara melupakan fungsinya mengungkapkan fakta dan kebenaran, tampaknya bangsa itu harus lahir kembali dari nol. Untunglah, bangsa Indonesia, menurut Amien Rais, masih bisa diperbaiki, meski ada kasus Sukhoi, BLBI, dan korupsi dari atas sampai ke bawah. Salah satu syaratnya, terus menumbuhkan pohon demokrasi dengan cara tetap menyiraminya, dan salah satu siraman itu dengan kebebasan pers.