Sabtu, 28 Juli 2007

Birokrasi, Reformasi, atau Recode?

Rhenald Kasali
Ketua Program Magister Manajemen UI; Dosen Fakultas Ekonomi UI


Suara mantan Menteri Penerangan zaman Orde Baru yang biasa "mohon petunjuk dan pengarahan" atasannya sudah lama tidak terdengar. Namun, spirit ini masih sulit dihilangkan dari perilaku birokrat kita. Kurang percaya? Lihatlah memo-memo internal birokrasi kita, di sana akan ditemukan kalimat itu.

Kalimat itu mungkin sekadar basa-basi penutup agar lebih santun. Namun, tak sedikit atasan yang terperangkap, yaitu benar-benar memberi arahan. Akibatnya, struktur birokrasi yang disusun secara bertingkat yang dimaksudkan untuk membatasi wewenang hierarki telah menjadi kekuatan sentral yang membelenggu.

Ibarat rangkaian gerbong kereta api, kalau hanya mengandalkan kekuatan pada satu mesin di depan, kereta akan terantuk-antuk seperti orangtua yang kurang tenaga menarik gerbong ekonomi yang gelisah.
Ketika reformasi birokrasi dianggap sulit dan berbelit-belit, recode pikiran birokrasi dapat menjadi alternatif untuk menembus kebutuhan pemerintah yang terkesan tidak responsif dan tidak efektif. Kalimat mohon petunjuk adalah insight untuk memulainya.

Perangkap sopan santun

Dalam bahasa psikiatri, kebiasaan meminta petunjuk dapat dikategorikan sebagai penyakit mental yang sama bahayanya dengan berbagai kebiasaan buruk lainnya (The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, American Psychiatric Association).

Orang-orang ini masuk the dependent personality type dengan ciri-ciri submisif, patuh, mudah menghapus kedirian, berkata-kata manis, dan selalu butuh persetujuan orang lain. Tentu bukan karena punya gejala penyakit kejiwaan maka birokrasi kita tampak ragu, lamban, dan tidak bergerak jika tidak ada approval. Faktanya, profil demografi para pejabat birokrasi cukup bagus. Sekolahnya hebat- hebat dan mampu berpikir logis. Namun, mengapa orang-orang hebat selalu menunggu petunjuk?

Ada dua kemungkinan. Pertama, meminta petunjuk hanya merupakan bentuk ekspresi sopan santun kepada atasan yang ditujukan untuk tidak menonjolkan diri atau terkesan sok tahu.
Kedua, superioritas atasan. Bawahan "terpaksa" meminta petunjuk karena atasannya menghendaki demikian. Keduanya saling membentuk.

Sopan santun itu sama bentuknya dengan kebiasaan membawakan tas atasan, yang jika tidak dilakukan, seorang bawahan merasa tertekan karena takut dinilai tidak sopan oleh rekan-rekannya. Namun, atasan yang dimintai petunjuk sering melupakan tradisi sopan santun itu dan membiarkan dirinya terperangkap dengan memberi petunjuk sungguhan. Akhirnya berbalas-balasanlah antara minta petunjuk dan memberi petunjuk.

Padahal konsep recode menandaskan, apa yang kita pikirkan adalah baik jika kita sendiri yang mengerjakannya. Kita pikirkan sesuatu, kita mengenal medan yang kita hadapi, dan kita tahu kapasitas kita.

Setiap orang yang sehat, berpendidikan, dan telah melewati proses tertentu pasti punya ide dan tahu apa yang bisa dikerjakan. Bayangkan apa jadinya jika semua yang dikerjakan birokrat bukan hal yang mereka mengerti, mampu dilakukan, apalagi mereka sukai. Itulah yang terjadi di sini. Tidak jelas, tidak pasti, tidak realistis.

Reformasi atau "recode"

Kita semua gemas melihat wajah-wajah birokrat yang lemot dan tampak bodoh di depan kamera televisi menjelaskan bagaimana mereka merespons berbagai bencana yang belakangan ini melanda negeri. Selain takut-takut dan ragu, mereka tampak kurang sigap. Mereka kalah sigap dengan pengusaha yang membutuhkan kecepatan dan kepastian. Jajak pendapat Kompas (5/3) menunjukkan, 58 persen responden menganggap aparat birokrat "murah" sehingga gampang disuap.

Ada rasa putus asa terhadap masa depan negeri ini saat menyaksikan kualitas birokrat seperti itu. Kita beranggapan semua birokrat bodoh dan reformasi birokrasi yang efektif adalah memangkas satu generasi. Maka, setiap kali berbicara tentang reformasi birokrasi, kita menemukan kebuntuan. Semua mengeluh, tidak tahu harus mulai dari mana. Di kanan lemot, di kiri bolot. Namun, kita tak perlu pesimistis. Sekali benang kusut terurai, langkah berikut akan lebih gampang.

Membongkar gerbong-gerbong tua bukan urusan mudah karena kereta harus tetap berjalan kendati harus turun mesin. Namun seperti orang mabuk yang mencari kuncinya yang hilang di bawah lampu, reformasi birokrasi yang kita idam-idamkan masih sebatas membongkar peraturan, bukan mengubah perilaku. Ada pandangan yang memercayai semua perilaku dibentuk oleh peraturan, no matter the leadership. Cara berpikir mekanistik ini hanya cocok jika Indonesia sudah tenang, stabil, dan teratur. Kalau porak-poranda seperti ini, leadership matters.

Recode bukan membangun peraturan, tetapi membentuk nilai-nilai dengan membebaskan tiap individu dari berbagai belenggu kebiasaan, atasan, budaya memberi pengarahan, organisasi, dan cara berpikir. Jadi, sifatnya lebih manajerial dan praktis daripada kompromi politik yang kurang realistis. Tugas akhirnya adalah mengubah cara berpikir dengan mengembalikan esensi terbentuknya birokrasi, yaitu untuk melayani kepentingan rakyat.

Kita tak mengabaikan banyak peraturan membelenggu birokrasi. Semua perlu diintegrasikan untuk mewujudkan birokrat baru. Namun, pembaruan memerlukan harapan dan harapan harus dapat diberikan melalui hasil-hasil nyata yang cepat memberi hasil, sementara yang hasilnya butuh waktu (reformasi) harus terus dikerjakan.

Maka, beban itu ada di pundak para pemimpin dengan mengajak tiap birokrat kembali berpikir, bukan dengan memberi petunjuk. Petunjuk hanya dilakukan oleh seorang yang frustrasi bahwa bawahannya bodoh. Kebiasaan ini merupakan bentuk lain penyakit mental yang ada di kepala pemimpin. Misalnya, banyak ditemui pemimpin yang mengidap kepribadian obsessive-compulsive, yang cenderung mengontrol, kaku, disiplin, tetapi memaksakan. Perilaku ini mengabaikan realita, birokrasi kita sudah harus berubah menjadi birokrasi pasar, yang konsumennya menuntut kecepatan dan pelayanan. Birokrasi pasar berbeda dengan birokrasi perang dingin yang cenderung tertutup, sentralistis, dan mengabaikan peran pelanggan yang menuntut kepastian, kecepatan, dan keunggulan.
Pemimpin buatlah birokrasi kita kembali hidup dengan membiarkan mereka memakai kembali pikiran-pikirannya.

Rhenald Kasali Ketua Program Magister Manajemen UI; Dosen Fakultas Ekonomi UI

Tanggung Jawab Sosial Paksaan atau Komitmen

Media Indonesia

KEBAJIKAN sosial bukan lagi sebuah keikhlasan, melainkan sebuah paksaan. Ia bukan lagi sesuatu yang lahir karena komitmen moral, melainkan karena diperintahkan undang-undang.
Itulah yang terjadi dengan Undang-Undang Perseroan Terbatas yang baru, yang disetujui DPR untuk disahkan, Jumat (20/7).

Pasal 74 Undang-Undang Perseroan Terbatas itu mewajibkan perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Tanggung jawab sosial dan lingkungan itu dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan. Dan, yang tidak melaksanakannya dikenai sanksi.

Indonesia pun akan termasuk negara paling hebat di dunia karena semua perusahaan yang bergerak dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam melakukan apa yang disebut sebagai corporate social responsibility (CSR). Tetapi jangan heran jika serentak dengan itu, Indonesia akan menjadi negara yang paling hebat aturan hukumnya mengenai tanggung jawab sosial perusahaan, tetapi dalam kenyataan semua itu cuma bagus di atas kertas.

Selama hukum masih dapat dibeli, selama itu pula kewajiban CSR tersebut pun dapat dibeli. Indonesia bukan negara yang kekurangan undang-undang di bidang lingkungan hidup, tetapi semua kita tahu, perusakan lingkungan dilakukan dengan terbuka dan terus terang.

Karena biaya CSR dibebankan ke dalam biaya perusahaan, pada gilirannya biaya itu akan dimasukkan ke harga jual yang membuat harga produk lebih mahal. Ujung-ujungnya merugikan konsumen.

CSR mestinya merupakan komitmen moral. Perusahaan melaksanakan CSR dengan ketulusan, karena panggilan, dan bukan karena dipaksa undang-undang.

Yang harusnya dilakukan negara adalah merangsang perusahaan untuk bergairah melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Bukan menjadikan CSR sebagai biaya, melainkan sebagai cara untuk berbagi dan membagi keberhasilan. Untuk itu, negara lantas memberi rangsangan sehingga semakin mendorong perusahaan melaksanakan CSR dengan suka hati. Bukan dipaksa undang-undang.

Dari perspektif itu, CSR mestinya dengan suka hati diambil dari laba perusahaan. Dan perusahaan yang melaksanakan tanggung jawab sosial itu sebagai komitmen moral mendapat insentif berupa pengurangan pajak sehingga mendorong perusahaan lebih bergiat melakukan CSR.

CSR sesungguhnya merupakan salah satu bagian penting paradigma baru dalam memandang pertumbuhan perusahaan. Kompetisi bukan hanya ditentukan harga, kualitas, ketersediaan, dan pesanan massal, melainkan juga kesinambungan dan kelestarian (sustainability). Dalam sudut pandang itu, CSR bukan hanya urusan perusahaan yang berkecimpung dalam mengelola sumber daya alam. Di negeri ini, justru bukan perusahaan yang bergerak di bidang sumber daya alam yang menonjol kegiatan CSR-nya. Celakanya, Undang-Undang Perseroan Terbatas yang baru seakan berasumsi bahwa perusahaan di luar sumber daya alam tidak perlu dan tidak penting melakukan CSR.

Mengatur CSR sebagai sebuah kewajiban dengan memasukkannya ke sistem hukum, jelas memperpanjang daftar yang tidak menyenangkan untuk berinvestasi di Indonesia. Tidak menyenangkan karena kebajikan sosial bukan lagi keikhlasan, melainkan paksaan. Perkara yang semestinya menjadi komitmen moral dipindahkan menjadi kewajiban hukum, yang dalam kenyataan justru dapat dibeli dengan mudah dan murah.

Perceived Leadership

Penulis : A.B. Susanto
Bisnis Indonesia

Style perilaku manajerial merupakan salah satu faktor terpenting dalam kesuksesan implementasi perubahan budaya organisasi. Pemimpin yang sukses sendirian merubah budaya organisasi adalah mitos lama, karena sesungguhnya untuk itu diperlukan dukungan banyak pihak. Dengan demikian wajar jika gaya partisipatif banyak direkomendasikan karena setiap orang akan mempunyai komitmen yang tinggi dalam implementasi perubahan ini. Agar gaya partisipatif ini dapat tumbuh dan berkembang, ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi. Salah satu prasyarat utamanya adalah kepemimpinan yang dapat diterima dan dirasakan dengan baik oleh para bawahan sehingga memungkinkan mereka bisa beradaptasi terhadap perubahan.

Perlu diingat bahwa esensi kepemimpinan adalah suatu hubungan social yang intinya bagaimana seseorang mempengaruhi perilaku atau tindakan orang lain. Mempengaruhi (influencing) dapat dikategorikan ke dalam enam kategori yaitu assertiveness, bargaining, koalisi, friendliness, otoritas yang lebih tinggi, dan reasoning.

Terdapat beragam strategi yang dapat dipilih untuk ‘mempengaruhi’. Pilihan strategis ini dipengaruhi oleh beragam faktor, terutama karakteristik khalayak sasaran, kualitas hubungan yang menjembataninya, serta tujuan yang hendak dicapai. Khalayak sasaran sangat beragam, misalnya atasan, rekan sejawat, maupun bawahan.

Jika sasaran yang ingin dipengaruhi adalah atasan, maka karakteristik kepemimpinan atasan harus benar-benar dimengerti. Bahwa atasan dalam derajat tertentu bisa menunjukkan lebih dari satu gaya kepemimpinan, bukanlah hal yang aneh. Misumi membingkai peran pemimpin dengan sumbu Performance (P) dan sumbu Maintenance (M). Dimensi P diarahkan untuk pencapaian tujuan dan penyelesaian masalah, dengan visi dan misinya. Di lain pihak, dimensi M berorientasi pada pemeliharaan keutuhan dan identitas tim. Dengan bingkai ini kepemimpinan atasan bisa dipetakan ke dalam kuadran PM dimana kedua dimensi memiliki nilai yang tinggi, kombinasi Pm dan pM, ataupun pm yang masing-masing dimensi memiliki nilai rendah.

Kepemimpinan mempunyai kaitan langsung dengan persepsi dari efficacy organisasi. Dengan kata lain, bagaimana pemimpin bertindak akan mempengaruhi persepsi keseluruhan tentang bagaimana organisasi yang menaunginya akan berkembang. Hal ini perlu diingat para pemimpin, karena mereka sendiri barangkali tidak sadar bahwa perilaku mereka mempengaruhi bawahannya. Bagi bawahan, kepemimpinan dirasakan dalam bentuk kharisma, inspirasi, motivasi, dorongan intelektual, maupun kesadaran personal. Hubungan antara bawahan dan pemimpin mengikat mereka ke dalam hubungan saling menguntungkan untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi. Berdasarkan pengalaman atas hubungan itu, bawahan mengidentifikasi pemimpinnya dan menentukan peran yang akan diambilnya.

Efektivitas kepemimpinan yang dirasakan bawahan berhubungan dengan kualitas hubungannya dengan pemimpinnya. Padahal kualitas hubungan ini akan mentransformasikan nilai-nilai, sikap, dan motif menjadi bangunan yang kongruen. Kongruensi ini bisa berupa bawahan yang menyetujui nilai-nilai dan tujuan yang ditawarkan pemimpinnya, dan bisa diartikan berangkat dari nilai-nilai dan tujuan berbeda tetapi menuju muara yang sama.
Masing-masing kongruensi ini menimbulkan kepuasan pada pemimpin. Kepuasan pada pemimpin itu sendiri sangat mempengaruhi komitmen yang tercermin dalam tingkat kinerja dan kepuasan kerja, yang akan berujung pada rasa memiliki dan kemauan untuk bekerja melebihi apa yang diharapkan. Tingkat dimana pemimpin mampu menggerakkan bawahan untuk memandang kepentingan kelompok di atas kepentingan pribadinya. Tingkatan ini dicapai jika dapat melewati dua tahapan sebelumnya: tahapan inisiasi dan transaksi respek dan kepercayaan. Kegagalan tahap inisiasi akan menempatkan masing-masing sebagai bukan kelompoknya.
Sebaliknya, jika perceived leadership masih menjadi masalah, maka perlu dilakukan analisis kebutuhan yang melibatkan para pemimpin kunci dan dibangun pendekatan atas kepemimpinan dan pengembangan kinerja terpadu. Hal di atas mencakup penyusunan kriteria yang terkait dengan visi dan nilai-nilai organisasi. Desain dan implementasi serangkaian workshop bagi para pemimpin kunci dalam perusahaan akan membantu mengkomunikasikan visi organisasi, sekaligus membantu para pemimpin untuk mengidentifikasi gap yang ada. Selain itu perlu disusun model multi fungsi berbasis kompetensi dan profil kemampuan teknis beserta modul pengembangannya.

Untuk meningkatkan efektivitas kepemimpinan metode yang paling sering dipakai adalah dengan mengidentifikasi dan memfokuskan perbaikan pada area di mana titik terlemah ditemui. Namun, hasil penelitian dari Zenger dan Folkman menunjukkan hal yang berbeda. Cara ini memang akan menghasilkan perbaikan untuk area tersebut tetapi tidak bisa menciptakan pemimpin yang besar. Justru Zenger dan Folkman menyatakan dengan berfokus untuk mengembangkan kekuatannya, bukan perbaikan titik terlemah, akan lebih efektif. Logikanya, dengan mengidentifikasi dan memfokuskan pada kompetensi pemimpin yang sudah cukup bagus, perbaikan sedikit saja akan membawa dampak yang lebih dramatis dalam peningkatan efektivitas kepemimpinannya. Sehingga hasilnya bukan lagi pemimpin yang bagus belaka, tapi pemimpin yang besar.
Dengan dibangunnya sistem di atas sekaligus akan didapat perangkat yang bisa dipakai untuk menyeleksi, mengembangkan penilaian dan me-manage kinerja, dan dalam kesempatan yang sama ekspektasi karyawan juga menjadi lebih terukur.

Quantum Leadership

Penulis : A.B. Susanto
Majalah Eksekutif

Teh Botol Sosro harus bersaing dengan Coca Cola yang berskala global. Ayam goreng Ny. Suharti, Mbok Berek, Ayam Bakar Wong Solo, harus bersaing dengan McDonald dan Kentucky Fried Chicken. Tukang parkir pinggir jalan harus ‘bersaing’ dengan Secure Parking. Tukang cuci mobil dan tukang sayur pun juga harus bersaing dengan merek global. Intinya persaingan global telah ada di halaman kita, yang tidak terbayangkan sebelumnya.

Situasi global yang kompetitif ini, mengharuskan perusahaan mempunyai kemampuan bertahan dan menang. Namun, strategi yang bagus belaka tidaklah memadai. Seorang pemimpin yang handal dibutuhkan oleh perusahaan. Karena seorang pemimpin yang handal bukan saja harus piawai dalam menyusun strategi, tetapi juga dapat menjalankan strategi dengan efektif. Dalam tulisan kali ini penulis mengangkat masalah kepemimpinan, yang merupakan sisi terpenting dalam strategi bisnis. Karena pemimpinlah yang akan melahirkan strategi dan sekaligus berupaya keras agar dapat mewujudkan strategi itu.

Kepemimpinan adalah kemampuan untuk merealisasikan potensi yang ada pada “pengikutnya” dan mengarahkan keterampilan, pengetahuan, dan kemampuan dari kelompoknya untuk menghasilkan “sesuatu”. Padahal pada saat ini anggota organisasi semakin kritis, sehingga diperlukan pendekatan kepemimpinan baru, yang tidak dapat mengandalkan pola-pola kepemimpinan yang lama. Organisasi bisnis membutuhkan suatu pola kepemimpinan yang mampu menggerakkan anggotanya untuk bersama-sama berjuang mencapai cita-cita yang telah disepakati bersama. Pola kepemimpinan inilah yang dituangkan dalam konsep Quantum Leadership.

Makna quantum dalam konteks kepemimpinan lebih menekankan kepada “sedikit tetapi memberi dampak yang sangat besar”. Artinya seorang pemimpin - dengan pendekatan Quantum Leadership - akan memberi dampak dan energi yang sangat besar kepada organisasi dan seluruh anggotanya. Konsep Quantum Leadership adalah konsep kepemimpinan yang berorientasi pada masa depan dengan komitmen untuk dapat “melihat dan bermimpi”, “mengubah”, serta “menggerakkan” anak buah ke arah tujuan yang direncanakan.

Pemimpin harus dapat ‘melihat’ masa depan dan ‘bermimpi’ apa yang harus dicapai di masa depan. Ia mempunyai angan-angan tentang bagaimana dan ke mana organisasinya dan para pengikutnya akan ‘dibawa’ di masa mendatang. Dia harus membuka jendela masa depan dan menuangkannya dalam sebuah visi. Namun angan-angan saja tentu tidak cukup. Seorang pemimpin mesti merealisasikan angan-angan dan mimpi-mimpinya agar menjadi kenyataan di masa depan. Artinya dia harus ‘merubah’ dari situasi sekarang menjadi situasi seperti yang diangankan pada masa depan.

Langkah berikutnya adalah menjadi pedagang harapan (merchant of hope) kepada para pengikutnya. Pemimpin akan mengkomunikasikan angan-angan dan mimpinya, yang dapat membangkitkan harapan, menyulut semangat, dan beranjak dari situasi masa kini. Selayaknya ada dua elemen dasar yang harus terkandung dalam sebuah visi, seperti yang diungkap oleh Tichy dan Devana, yaitu sebuah kerangka kerja konseptual untuk memahami tujuan dan bagaimana mencapainya, serta sisi emosionalnya untuk memacu motivasi. Mimpi yang bernama visi itu, kata Nanus, haruslah realistik, dipercaya, dan mempunyai daya tarik masa depan. Seorang pemimpin harus memiliki kemampuan untuk menciptakan dan mengartikulasikan sebuah visi yang realistis, kredibel, memacu semangat dan akhirnya menggerakkan pengikutnya untuk mencapai tujuan.

Dalam konsep leadership terdapat lima kekuatan besar yang menjadi pendukung penerapan konsep ini yaitu visi, strategi, komitmen, aksi, dan sensitivitas. Visi berarti cita-cita ke depan, lamunan atas masa depan organisasi. Sebab seperti sebuah pepatah menyatakan bahwa “kita tidak akan pernah mampu membangun sebuah kastil pun di mana pun juga apabila kita tidak mampu membangunnya dalam pikiran kita”. Visi ini kemudian dijabarkan menjadi misi dan diderivasi lebih lanjut menjadi strategi. Strategi yang menjadi panduan bagi tiap anggota organisasi dalam melakukan segala kegiatannya. Komitmen lebih kepada berpegang teguh terhadap apa yang telah ditetapkan bersama. Yaitu visi, misi, tujuan jangka panjang, sampai ke tahapan strategi. Faktor selanjutnya adalah aksi. Aksi di sini adalah derivasi lanjutan dari strategi. Jadi, lebih mengarah kepada taktik dari organisasi yang bersangkutan. Faktor terakhir adalah sensitivitas. Yang dimaksud dengan sensitivitas di sini adalah sensitivitas terhadap perubahan yang terjadi disadari atau tidak. Perubahan baik dari dalam ataupun dari luar organisasi. Hasil akhirnya adalah kecepatan organisasi untuk mengerjakan operasionalnya sehingga cita-cita bersama dapat dicapai dengan cepat dan tepat.

Kelima hal ini membantu terlaksananya tiga filosofi dasar quantum leadership. Pertama, filosofi yang berkaitan dengan tugas seorang pemimpin untuk ‘melihat, bermimpi, dan melaksanakan’, yang disebut sebagai architect approach. Seorang pemimpin diumpamakan sebagai seorang arsitek pembangun masa depan organisasi. Dia diharapkan mampu membuat bangunan imajinernya tentang bangunan masa depan organisasi, tetapi tetap juga harus berpijak pada realitas, yang dapat kita sebut sebagai pendekatan Creative Imagination Based on Reality (CIBOR). Seorang arsitek apabila diberikan sebidang tanah yang berbukit-bukit untuk dibangun, tidak akan berpikir seperti berikut: “Wah, ini sih sulit…mengapa tidak membeli sebidang tanah yang datar sehingga akan memudahkan saya untuk membangunnya ?”. Jika hal ini yang terjadi, maka arsitek bukanlah arsitek yang hebat. Mengapa? Karena tidak semua tanah itu datar. Justru ia harus menghadapi realitas yang ada (tanah berbukit-bukit), dan menciptakan bangunan yang paling layak untuk kondisi yang ada. Seorang pemimpin harus memahami realitas internal maupun eksternal organisasi, menerima keadaan ini, dan membuat angan-angan “bangunan masa depan” berdasarkan realitas ini. Jadi, imajinasi yang hebat saja tidak memadai, karena tetap harus berpijak ke bumi. Seorang Quantum Leader tidak boleh beripikir melantur ke mana-mana, tetapi harus mempunyai pemikiran yang sangat mungkin untuk direalisasikan.

Kedua, filosofi yang berkaitan dengan peran seorang Quantum Leader untuk “mengubah”, yaitu Nurture with Respect, Love, and Care. Artinya untuk “mengubah” anggota organisasi diperlukan pendekatan personal yang prima dari seorang pemimpin. Pemimpin yang baik akan membimbing pengikutnya sehingga mereka mampu – paling tidak – menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri. Pemimpin yang baik akan membimbing anak buahnya dengan rasa hormat, cinta, dan penuh perhatian.

Ketiga, filosofi Quantum Leadership berkaitan dengan ‘menggerakkan’ yaitu menerapkan The Golf Game Concept yang terdiri dari direction (mengarahkan), distance (mengukur jarak), dan precision (ketepatan). Maksudnya untuk menggerakkan anak buah mesti memiliki tata pikir seperti dalam permainan golf. Sebelum memukul bola golf pertama kali yang harus dilakukan adalah menentukan arahnya. Jika arahnya salah semua usaha yang akan dilakukan akan sia-sia. Kemudian barulah memperkirakan jaraknya. Dan setelah itu berpikir mengenai ketepatannya. Demikian pula dalam kepemimpinan. Seorang Quantum Leader pertama kali harus berpikir mengenai arah yang ditempuh untuk mencapai visi, kemudian memperkirakan berapa “jauh” impian itu harus dicapai dan barulah melakukan tindakan-tindakan yang tepat. Dalam permainan golf, seseorang yang paling ahli sekalipun tidak akan mampu menyelesaikan suatu pertandingan berkali-kali hanya dengan satu kali pukulan (hole in one). Hal ini sangat sulit untuk dilakukan. Demikian pula dalam kepemimpinan untuk mencapai visi yang telah ditetapkan perlu dibuat tahapan-tahapan yang diperlukan (milestones).