Minggu, 01 Juli 2007

Hijrah Untuk Membangun Cakrawala Jasa Marga Jauh Ke Depan

HIJRAH

Mencermati apa yang di sampaikan Direksi Jasa Marga dan Ketua Umum SKJM pada Rakernas SKJM 2007 Adalah hal yang lazim jika para pemimpin bisnis dan timnya memiliki horizon rencana jangka panjang beberapa tahun ke depan. Mereka perlu menyusun rencana jangka panjang agar jelas jalan mana yang mungkin dilalui untuk menuju sasaran. Nah, horizon para pemimpin korporasi dunia bisa lebih panjang lagi. Untuk mereka, dunia yang makin terbatas sumber daya alamnya dan kian sengit persaingannya menuntut mereka berpikir jauh. Saking jauhnya, mereka tak lagi berpikir apakah kelak masih menjabat atau tidak, masih diberi umur panjang atau tidak, untuk melihat hasilnya. Rentang waktu itu biasanya 20—30 tahun ke depan. Apakah para pemimpin bisnis di Indonesia telah memperluas cakrawala berpikirnya hingga 20—30 tahun ke depan? Mungkin sebagian kecil melakukannya. Ada dua hal yang berkaitan erat dalam menuju sasaran masa depan yang diinginkan. Pertama, kita sering lupa bahwa upaya meraih sukses memerlukan waktu dan upaya. Apalagi jika antara kemampuan hari ini dan sasaran sukses yang dituju ada jurang yang lebar. Strategi menjembatani jurang ini makin memerlukan upaya yang lebih besar dan memakan waktu. Budaya instant di sini bisa menjadi salah satu kambing hitamnya. Penyakit ingin segera menuai hasil, yang menjangkiti masyarakat, ternyata juga merasuki sebagian para pemimpin (bisnis), sehingga mereka lebih suka mencapai suatu hasil dengan sumber daya seirit mungkin, baik modal, tenaga, maupun waktu. Oleh karena itu, suatu rencana yang terlalu panjang waktunya (di atas 10 tahun) jarang masuk dalam benak mereka.Kedua, kita acap kali menyukai rencana yang masih sempat kita nikmati hasilnya, bukan rencana yang hasilnya tak bakal kita nikmati. Oleh karena itu, kita cenderung memikirkan rencana tahunan dan jangka panjang yang berkisar lima tahun. Mungkin sebagian dari kita sudah mulai memikirkan rencana berjangka di atas lima tahun, dan sebagian kecil di atas sepuluh tahun. Kebanyakan kita tak bisa atau tidak terbiasa memanjangkan dan memperluas cakrawala hingga jauh ke depan. Seyogianya, memajukan organisasi besar tempat kita berkiprah dimulai dengan (hasil) akhir (begin with the end in mind). Untuk organisasi yang berskala menengah dan kecil, hasil akhir di sini adalah posisi dan kondisi organisasi yang diinginkan dalam waktu 5—10 tahun mendatang. Untuk organisasi besar, hasil akhirnya adalah posisi dan kondisi organisasi dalam kurun yang panjang. Makin besar organisasinya, makin baik jika cakrawalanya adalah dalam puluhan tahun, 20—30 tahun ke depan. Bercermin pada kebanyakan perusahaan yang sukses dari skala kecil, waktu yang mereka butuhkan untuk meraih keberhasilan saat ini bukanlah dalam hitungan tiga, lima, atau tujuh tahun. Waktu yang mereka habiskan bisa mencapai sepuluh tahun atau lebih. Keberhasilan mereka adalah murni dari upaya operasional, bukan karena matang dikarbit melalui merger dan akuisisi atau teknik manajemen lainnya yang sifatnya membesar seketika. Kita amat mudah terkesima oleh keberhasilan yang dirayakan secara gegap gempita dan menyangka bahwa itu tercapai dalam waktu beberapa tahun saja. Dari situ kita mengerti bahwa memerlukan waktu yang panjang untuk mencapai prestasi cemerlang, yang tidak sekadar baik (good), tetapi mulia (great). Apalagi jika diperluas dari kumpulan orang di sebuah organisasi besar menjadi kumpulan orang dalam sebuah wilayah besar bernama bangsa. Lihatlah Malaysia. Negeri jiran itu hari ini kondisinya tidak sama dengan 30 tahun lalu. Indonesia adalah guru yang sebenar-benarnya guru bagi Malaysia. Banyak tenaga terampil dan akademik Indonesia yang dikirim ke Malaysia untuk mendidik mereka. Saat itu banyak tenaga ahli dari Jasa Marga yang di kirim ke Malaysia untuk mendidik tenaga ahli dari Malaysia dalam rangka membanun industri jalan tol di negerinya. Kini, mereka lebih maju dari Indonesia. Sang guru berubah menjadi murid, dan muridnya beralih menjadi guru. Prestasi mereka bermula dari visi yang diciptakan lebih dari dua dekade lalu. Lebih penting dari itu, prestasi mereka adalah cerminan dari upaya keras mewujudkan visi tersebut. Ada pesan yang tersirat dari Direksi dan Ketua Umum DPP SKJM yang mengajak kita semua memandang cakrawala Jasa Marga jauh ke depan dengan perasaan optimis. Barangkali hanya sekelompok orang di Perusahaan kita ini yang benar-benar bergegas menyingsingkan lengan baju dan melangkah sigap menyongsong masa depan yang makin kompetitif. Ada dua istilah yang relevan dengan pembicaraan di sini: circle of concern (lingkaran kepedulian) dan circle of influence (lingkaran pengaruh). Lingkaran kepedulian adalah cakupan hal-hal yang menarik perhatian atau menjadi kepedulian kita. Lingkaran pengaruh adalah cakupan hal-hal yang masing-masing dapat kita lakukan. Menaruh perhatian pada cakrawala 2030 Perusahaan kita ini adalah contoh lingkaran kepedulian. Namun, yang lebih penting tentu bagaimana kita berpartisipasi menterjemahkan cakrawala Jasa Marga 2030 dalam lingkaran kepedulian. Kemudian yang juga menjadi lingkaran pengaruh adalah bagaimana mewujudkan visi dan misi jangka panjang menjadi kenyataan, membantu penerus kita di perusahaan ini untuk tetap setia dalam upaya mewujudkan visi atau impian perusahaan dengan cara-cara yang semestinya, seperti penerapan Good Corporate Governance.*****Swara SKJM HS 5258

PARADIGMA KEAMANAN KARIR KARYAWAN UNTUK MENUJU JASA MARGA MODERN

PARADIGMA KEAMANAN KARIR KARYAWAN
UNTUK
MENUJU JASA MARGA MODERN

Dalam hal pekerjaan / karir, sedikitnya ada dua paradigma yang berkembang yaitu job security dan career security. Job security merujuk pada keamanan atas pekerjaan yang dimiliki atau diberikan oleh pihak perusahaan (external), sementara keamanan karir karyawan (career security) merujuk pada keamanan atas bidang karir atau pekerjaan yang dipilih oleh diri sendiri (internal). Dalam paradigma job security maka kesalahan terbesar adalah munculnya keyakinan bahwa kita bekerja untuk orang lain. Tentu saja pandangan seperti ini sudah kadaluwarsa sebab pijakan perkembangan karir haruslah diciptakan dari diri individu. Pekerjaan memang bisa saja milik perusahaan tetapi karir adalah milik anda". Pola berpikir yang mengedepankan job security seringkali justru menjadi "pembunuh" bagi sumberdaya terbesar yang anda miliki.
Adakah yang salah dari paradigma job security itu sampai dijuluki sebagai "pembunuh" sumberdaya individu? Kalau dikatakan salah, haruskah semua orang meninggalkan kantor untuk mendirikan perusahaan sendiri, menjadi business owner, self-employment atau investor seperti yang digambarkan dalam 'paradigm shift' ala Robert Kiyosaki dalam "Cash flow Quadrant" ? Jawabannya tentu tidak mutlak harus demikian.
Posisi dan Misi
Perbedaan arti job security dan career security akan membentuk pemahaman irrational yang mandul kalau diartikan secara posisi tetapi akan 'klop' kalau diartikan secara misi. Artinya, untuk memahami career security maka anda harus melepaskan diri dari apa pun posisi anda (karyawan, professional, pemilik usaha) dan hanya berpegang pada misi bahwa diri andalah yang menjadi sumber segalanya bagi kelangsungan karir anda. Dengan kata lain, career security adalah ajaran mentalitas berupa The enterprising mental attitude - mentalitas pengusaha. Lagi - lagi kita terjebak dalam arti posisi dengan kalimat pengusaha karena istilah ini sudah dikramatkan sedemikian rupa selama bertahun-tahun sehingga membuat kebanyakan orang takut untuk menyebut dirinya pengusaha, padahal suka atau tidak suka, semua orang adalah pengusaha, pejuang gagasannya. Inilah inti dari paradigma career security.
Agar tidak terlalu banyak menghadapi jebakan idiom, maka perubahan paradigma dari job security ke career security harus diatur dengan tata letak (realisasi misi) yang tidak saling berlawanan. Hal itu mengingat bahwa setiap paradigma mengandung nilai plus-minus. Tugas kita adalah mengambil plus dari paradigma lama untuk dijadikan lebih plus dengan paradigma baru. Paradigma job security yang telah menyelimuti kultur kita mewariskan kepercayaan bahwa modal untuk membeli keamanan atas pekerjaan adalah loyalitas dan kerja keras. Pada batas yang terlalu jauh, mentalitas demikian akan 'membutakan' penglihatan terhadap adanya 'gold mine' di dalam diri yang menunggu sentuhan 'gold mind'.
Hal lain yang perlu diingat lagi adalah bahwa paradigma merupakan materi ajaran mentalitas yang dimaksudkan untuk mengubah konstruksi pola pikir dan tidak perlu mengubah bentuk tatanan fisik kalau memang secara riil belum mampu dan tidak diperlukan. Paradigma career security mengajarkan perubahan mindset (pola pikir) dari bekerja dengan cemeti perintah menuju ke bekerja atas keinginan untuk memperbaiki diri atau dorongan berprestasi di tempat kerja. Cemeti perintah akan menciptakan karakter 'asking for' dalam arti 'low bargain' yang membuat banyak orang melihat tanggung jawab untuk menyelesaikan pekerjaan sebagai beban hidup. Sementara career security akan menciptakan karakter mental sebagai 'giver'. Tangan "giving" bagaimana pun akan lebih mulia di banding tangan "asking".
Hal terakhir yang harus diingat juga adalah bahwa perubahan paradigma sebenarnya merupakan jembatan peradaban dari level rendah ke level yang lebih tinggi. Kalau orang sudah berpegang pada paradigma lebih positif maka kemungkinan besar dapat dikatakan bahwa ia punya potensi lebih besar untuk menciptakan perilaku yang lebih positif dalam merespon keadaan. Sebab keadaan yang sebenarnya terjadi, meskipun kita menganut paradigma job security, tetapi toh kita bisa mudah kehilangan pekerjaan karena keputusan orang lain, kebijakan lembaga, atau bahkan perubahan negara lain. Kalau dikaji untung-ruginya, career security lebih mendorong pada upaya menciptakan persiapan di dalam untuk menghadapi perubahan keadaan di luar sementara job security tidak mendorong demikian atau lebih cenderung pasrah. Artinya perubahan paradigma dari job security ke career security melambangkan tangga peradaban yang lebih atas / lebih untung.
Dengan sedikit pertimbangan di atas, rasanya tidak ada ruginya atau bahkan tidak mengandung resiko ancaman keamanan apapun kalau kita sudah bisa menyambut baik ajakan untuk mengganti paradigma kerja dari job security ke career security. Alasan rasional dan faktual yang dapat kita jadikan pijakan untuk mengganti paradigma itu adalah kenyataan bahwa pekerjaan tidak lagi menyisakan ruang 'comfort zone' atau paling tidak ukurannya makin sempit . Penyempitan itu bisa disebabkan oleh banyak faktor, mulai dari persaingan, peristiwa eksternal, dan perubahan kebijakan.
Persaingan yang oleh para ahli diistilahkan sudah mencapai tingkat hyper menuntut kualitas pengecualian. Kualitas rata-rata sudah semakin jauh dari perhitungan. Kalau ada perusahaan membutuhkan - misalnya saja - tenaga accounting dengan kualifikasi S1, tentu semua orang mengatakan mudah. Tetapi kalau ditambah kualifikasinya harus bisa bahasa Inggris, sudah berkurang yang berani mengatakan mudah. Apalagi kalau ditambah dengan pengusaan job skill yang memang dibutuhkan untuk melaksanakan pekerjaan riil di lapangan, misalnya saja harus menguasai program MYOB, peraturan perpajakan, Brevet A / B, maka dipastikan tidak semua orang mengatakan mudah. Lebih-lebih kalau ditambah embel-embel harus berpenampilan 'menarik'.
Keterampilan
Paradigma career security bertumpu pada kekuatan keterampilan, yaitu mengeluarkan semua sumber daya internal, keunggulan, dan bakat di tempat kerja agar bisa lebih mendatangkan manfaat dan prestasi bagi diri kita dan bagi orang lain. Keterampilan diartikan sebagai kemampuan untuk melakukan sesuatu dengan tepat dan mahir (Skill is the ability to do something expertly). Arah pengembangan keterampilan bisa mengacu pada formula yang sudah lazim dengan sedikit penyempurnaan. Di antara formula yang dapat disebutkan di sini adalah:
Keterampilan dan Sikap
Keterampilan kerja (job skill) dipahami sebagai kemampuan untuk mengerjakan suatu pekerjaan. Kalau dielaborasi keterkaitannnya dengan aneka ragam 'human capital' maka job skill lebih banyak diperankan oleh IQ (Intellectual Quotient). Mental skill mengacu pada pengertian leadership skill yaitu kemampuan menyelesaikan urusan benda hidup atau sering disebut software skill seperti misalnya menangani persoalan hubungan dengan manusia. Mental skill lebih banyak diperankan oleh EQ (Emotional Quotient).
Dengan paradigma kerja baru maka fokus pengembangan tidak lagi perlu diarahkan pada wilayah dikhotomistik tetapi merebut keduanya dengan menempuh cara belajar melewati garis pembatas definitif itu. Tidak lagi menggunakan jarum jam tetapi sudah saatnya menggunakan kompas. Tidak lagi menganut paradigma mesin tetapi manusia yang benar-benar manusia dengan segala kemampuan untuk memilih yang lebih baik dan tidak lagi berbicara mana yang lebih penting antara job skill dan mental skill.
Pikiran dan Tindakan
Rasanya sudah tidak asing kalau kita sering membuat definisi tentang kemampuan orang di mana ada orang yang cuma bisa mengerjakan tetapi tidak bisa membuat konsep. Paradigma lama itu tak terasa menjebak kita ke dalam pembatas kemampuan yang menyempitkan. Lebih-lebih kalau sudah disikapi secara perang. Si A hanya fasih dengan konsepnya, 'omong-doang' dan sebaliknya si B hanya bisa bekerja tetapi tidak bisa berpikir kritis..
Paradigma kerja baru membutuhkan pengalihan fokus untuk memperluas batas definitif kemampuan yang tidak lagi hanya bisa mengerjakan atau hanya berpikir melainkan mengasah keduanya. "Jika Morita menciptakan kerajaan Sony tanpa menggunakan jasa konsultan atau Sam Walton yang tak bergelar MBA sukses membangun Wal Mart, maka jawabnya: mereka bukan sekedar people of action tetapi sekaligus people of thought - pemikir yang kritis.

Belajar
Keahlian ini bertumpu pada keahlian untuk "belajar bagaimana belajar yang sesungguhnya", bukan sekedar 'kesediaan diajar'. Sama sekali bukan sebuah sikap untuk menafikan makna 'kesediaan diajar' yang telah membuat kita menjadi tahu akan tetapi ketika sudah berbicara kunci utama pengembangan manusia (individu / organisasi) maka kunci itu adalah menjadi 'learner'. Dengan menjadi learner, gap yang diciptakan oleh pemahaman dikhotomistik dari sekian acuan pengembangan skill dapat dijembatani. Bahkan sebetulnya fakta alamiah telah lebih dulu menjelaskan bahwa semua 'gained quality' tidak bisa dilepaskan dari unsur learning di dalamnya termasuk bagaimana cara berjalan kaki bagi bayi.
Supaya bisa menjadi learner lagi seperti bayi, maka syarat yang harus dipenuhi adalah kesediaan menjadi 'beginner' yang selalu dapat melihat materi/objek dengan lensa baru (creative) dan tanda tanya (curiosity). "You can learn new things at any time in your life if you're willing to be a beginner. If you actually learn to like being a beginner, the whole world opens up to you." Kata Barbara Sher. Ada kalanya 'block mental' terjadi bukan karena kita tidak tahu tetapi justru karena kita sudah tahu.
Semoga bermanfaat....*****Swara SKJM HS 5258

Artikel ini di kutip dari berbagai sumber.

KITA HARUS KONSOLIDASI

Berdasarkan UU No: 38/2004, Jasa Marga sebagai BUMN mengalami perubahan peran dari regulator menjadi hanya peran operator saja di bidang pengelolaan jalan tol. Dampak dari beralihnya fungsi perusahaan ini akan menciptakan tekanan luar biasa agar terus menghasilkan pendapatan yang lebih besar untuk ber-investasi dalam membangun ruas jalan tol yang baru. Ujung-ujungnya, tuntutan pertumbuhan tingkat Laba melampaui kapasitas kita untuk menghasilkannya, hal ini akan menciptakan tekanan luar biasa pada bisnis perusahaan maupun pada para karyawannya
Untuk menangani situasinya dengan lebih baik, kita harus membangun Budaya Korporasi yang unggul dengan Moto “Research Makes The Difference”. Kita harus mengadakan survei dengan metode Variance Analysis terhadap sikap karyawan dan berbagai kebijakan perusahaan dengan mendirikan semacam Lembaga Polling ( Center for Values Research ). Tujuan dari membangun Budaya Korporasi adalah membangun Reputasi dan membangun Self Confidence terhadap arus perubahan yang nyata. Kita harus memulai Budaya Korporasi, seperti contohnya di mana dalam forum rapat dan dengar pendapat tentang Reenginering The Company, para karyawan sebaiknya dipersilakan mengambil inisiatif serta memperlihatkan kualitas proaktifnya.
Kita dapat merubah tantangan menjadi peluang dalam hal Reenginering The Company dengan cara membangun budaya memfokuskan pada apa yang sungguh penting. Kita harus menciptakan Team yang terdiri dari para karyawan di seluruh organisasi dari semua tingkatan dan kita minta mereka untuk menciptakan rasa terarah ke sebuah Visi untuk menjadi Leader didalam membangun dan mengoperasikan jalan tol ditingkat nasional maupun regional, dan mewujudakan Misi Jasa Marga untuk menjadi perusahaan Global yang mempunyai Intangible Asset dan mempunyai Corporate Image yang tidak bisa disaingi oleh siapa pun dibidang pengelolaan jalan tol. Kata kuncinya “Kita harus konsolidasi dalam pembinaan sumber daya manusia untuk menyikapi perubahan ini”.
Dulu, organisasi ini memuji para karyawan yang memadamkan api, tetapi saat ini kita ingin melampaui itu, kita ingin mendorong sikap proaktif, maka kita harus memberikan Reward dan harus mempromosikan para karyawan yang mencegah timbulnya masalah maupun para karyawan yang memadamkan apinya.
Langkah yang paling penting adalah mengambil langkah proaktif untuk mengetahui apa yang diinginkan para karyawan dari perusahaan, mendengarkan dan menindaklanjuti keluhan mereka . Kita harus menangani tugas ini dengan tegas, karena kita masih bekerja dalam lingkungan yang ragu-ragu, di mana para karyawan masih bersikap reaktif, mempertanyakan apakah kita atau mereka yang mempengaruhi masa depan ?
Dalam hal ini kita harus melakukan perubahan-perubahan dengan hati-hati, selangkah demi selangkah, dan secara bertahap membangun keyakinan organisasi terhadap komitmen-komitmen serta memperlihatkan ketangguhan mental yang berdisiplin.**** Swara SKJM HS 5258

UPAYA MENINGKATKAN NILAI KOPERASI DI PERUSAHAAN KITA

UPAYA MENINGKATKAN NILAI KOPERASI DI PERUSAHAAN KITA


Ketua Umum DPP SKJM Ir Setiyono dalam berbagai kesempatan baik di Rakercab yang diadakan di DPC CTC, DPC Surabaya, DPC Medan mau pun berbagai rapat penting yang diadakan di Kantor DPP SKJM pada saat membahas bidang kesejahteraan mengatakan pentingnya peningkatan kesejahteraan karyawan di fokuskan pada pengelolaan Koperasi yang lebih baik karena kita ingin membangun dan meningkatkan kesejahteraan anggota yang seluas-luasnya dalam bidang kesejahteraan. Koperasi adalah satu-satunya alat yang paling legitimate untuk karyawan dalam hal memperjuangkan kesejahteraan diluar struktur perusahaan.
Keberadaan Koperasi pada umumnya mempunyai tujuan jangka panjang yang dilandasi dengan motif ekonomi untuk menghasilkan nilai –nilai tambah dan manfaat ekonomi bagi stakeholders yang meliputi para anggotanya, karyawan Koperasi, mitra kerja dan Perusahaan kita. Setiyono menekankan, “Untuk mewujudkan nilai-nilai tambah dan manfaat ekonomi tersebut, Koperasi diharapkan mempunyai visi, misi, strategi, program kerja yang terencana, terfokus, dan berkesinambungan”.
Tanggung jawab Badan Pengawas dan Pengurus Koperasi sekarang ini memang berat. Namun, di atas semua risiko yang ada, mereka selayaknya berkonsentrasi pada upaya menciptakan dan meningkatkan nilai Koperasi yang dipimpinnya. “Kita melihat pemikiran dan keinginan Perusahaan dan SKJM seperti itu,” ungkap Ketua umum DPP SKJM. Dengan berperan sebagai pencipta nilai, Koperasi ditargetkan sekaligus juga bisa menjadi “motor penggerak” untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya .
Setiyono sependapat jika target yang dibebankan kepada pengurus Koperasi adalah keberhasilan mereka menaikkan nilai Koperasi , bukan sekadar mencetak keuntungan. Misalnya, jika nilai Koperasi itu sekarang Rp 2 milyar, maka dalam tempo lima tahun harus bisa naik menjadi Rp 5 milyar. “Kalau sekadar untung sih terlalu gampang. tinggal pendapatan ditingkatkan dan biaya ditekan, otomatis akan untung tetapi yang kita harapkan lebih dari itu, seperti dapat mencetak sumber daya manusia yang berjiwa entrepreneurship dan profesional” papar Ketua DPP SKJM.
Menurut Setiyono, ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk meningkatkan nilai Koperasi. Di antaranya, pendapatan digenjot, efisiensi atau biaya-biaya ditekan, teknologi diperbaiki, alat-alat produksi diganti yang baru, menciptakan unit-unit usaha baru yang bisa memberikan pertumbuhan, dan restrukturisasi keuangan dengan mencari struktur modal yang optimal untuk Koperasi, meningkatkan keunggulan kompetitif Karyawan Koperasi dan Para Pengurus Koperasi serta menyiapkan kaderisasi baik dari pengurus maupun dari anggotanya. Setelah nilai didapat, baru target laba bisa diharapkan akan diraih.
Ketika redaksi bertanya bagaimana idealnya figur pengurus koperasi di perusahaan kita ? Saat ini kita membutuhkan figur pemimpin Koperasi yang jujur dan amanah serta dapat menginspirasi banyak orang untuk mencapai target-target yang realistis untuk kesejahteraan anggotanya.*****SWARA SKJM 5258

UPAYA MENGELOLA PERUBAHAN DI ERA GCG

UPAYA MENGELOLA PERUBAHAN
DI
ERA GOOD CORPORATE GOVERNANCE



Reorganisasi, restrukturisasi, dan pengurangan karyawan akan menjadi kecenderungan yang akan terus dihadapi oleh para praktisi SDM. Kondisi tersebut seringkali menimbulkan dampak yang besar terhadap tenaga kerja, seperti: hilangnya sistim kerja sepanjang hidup (long life employment), tingginya pengangguran, berkurangnya keamanan kerja, berkurangnya keterampilan kerja yang bersifat tradisional, pengurangan jumlah karyawan dan sebagainya. Contoh nyata yang mungkin belum hilang dari ingatan kita adalah penggabungan beberapa bank milik pemerintah menjadi Bank Mandiri beberapa waktu yang lalu. Penggabungan ini mengakibatkan banyak pegawai dari bank-bank pemerintah yang bersangkutan kehilangan pekerjaan.
Apalagi akhir-akhir ini merebak wacana dari Kementrian BUMN untuk merestrukturisasi beberapa BUMN, namun kita bersyukur dengan adanya kebijakan Direksi untuk tidak merasionalisasi jumlah karyawan yang ada, malah adanya kebutuhan karyawan baru untuk mengoperasikan ruas jalan tol yang akan dibangun yaitu ruas Bogor Ring road, ruas Semarang-Solo, ruas Gempol-Pasuruan dan penambahan jumlah Gerbang Tol akibat di relokasinya ruas Gempol-Porong.
Dalam karya tulis ini penulis hanya membahas antisipasi berbagai kemungkinan yang akan terjadi 5 – 10 tahun yang akan datang setelah Jasa Marga di Privatisasi. Privatisasi yang dilakukan Jasa Marga adalah sangat penting karena akan menjadikan Jasa Marga lebih efisien, transparan dan mempunyai nilai akuntabilitas yang dipersyaratkan dalam penerapan GCG.
Faktor Pendorong
Banyak hal yang mendorong munculnya kebutuhan untuk melakukan perubahan. Pakar Perilaku di Dalam Perusahaan , Robert Kreitner dan Angelo Kinicki (2001) dalam bukunya Organizational Behavior, menyatakan bahwa ada 2 kekuatan yang dapat mendorong munculnya kebutuhan untuk melakukan perubahan di dalam perusahaan, yaitu:
1. Kekuatan eksternal, yaitu kekuatan yang muncul dari luar perusahaan, seperti : karakteristik demografis (usia, pendidikan, tingkat ketrampilan, jenis kelamin, imigrasi, dsbnya), perkembangan teknologi, perubahan-perubahan di pasar, tekanan-tekanan sosial dan politik. Dalam kasus yang dihadapi Jasa Marga, kekuatan eksternal (persaingan yang ketat di pasar) setelah di berlakukannya UU No. 38/2004,

2. Kekuatan internal, yaitu kekuatan yang muncul dari dalam perusahaan, seperti : masalah-masalah prospek Sumber Daya Manusia (kebutuhan yang tidak terpenuhi, ketidak-puasan kerja, produktifitas, motivasi kerja, dsb-nya), perilaku dan keputusan manajemen. Dalam kasus yang dihadapi Jasa Marga pada saat ini adalah change managemen yang merupakan sebuah tuntutan adanya perubahan karena telah dicanangkannya Visi Jasa Marga untuk menjadi Perusahaan yang modern. Ciri dari Perusahaan yang modern adalah manajemen yang di pimpin oleh para manajer yang mempunyai team work yang solid. Tuntutan ini mengharuskan adanya perubahan struktur organisasi perusahaan dan para pejabatnya.
Tahapan
Menurut Raymond J. Stone seorang konsultan SDM dalam bukunya Human Resources Management (1998), ada sejumlah langkah-langkah yang harus dilakukan dalam mengelola perubahan, yaitu :

Menetapkan kebutuhan untuk melakukan perubahan
Langkah ini penting dilakukan untuk memastikan bahwa perubahan yang akan digulirkan benar–benar sesuai dengan kebutuhan nyata yang ingin dicapai perusahaan. Kebutuhan akan adanya perubahan dapat muncul bila ada kesenjangan antara sasaran-sasaran yang ingin dicapai oleh perusahaan dengan kondisi nyata di lapangan.
Dalam kasus yang di alami Jasa Marga saat ini, kebutuhan untuk melakukan perubahan muncul saat terjadi perubahan peran perusahaan yang tidak lagi sebagai Regulator Industri jalan tol di Indonesia seiring dengan diberlakukannya UU No. 38/2004. Peran Jasa Marga yang hanya sebagai operator industri jalan tol di Indonesia maka kedudukannya sama dengan investor lainnya maka Jasa Marga saat ini berupaya untuk tetap menjadi leader dalam industri jalan tol di Indonesia. Hal ini menuntut Jasa Marga untuk menerapkan Good Corporate Goevernance, tujuannya agar produk yang dihasilkan menjadi lebih kompetitif.

Mengenali hal-hal potensial yang dapat menghambat proses perubahan
Seorang praktisi perubahan harus mampu mengenali hal-hal yang secara potensial dapat menghambat proses perubahan yang akan digulirkan oleh perusahaan. Dari kasus yang terjadi di Jasa Marga saat ini, hal-hal potensial yang diramalkan dapat menghambat perubahan antara lain:
Ketidak-bersediaan karyawan untuk di PHK karena sulitnya mencari pekerjaan baru
Ketidak-sesuaian antara harapan karyawan tentang besarnya paket yang diinginkan dan besarnya paket yang ditawarkan oleh perusahaan
Adanya kemungkinan keterlibatan pihak di luar perusahaan
Adanya friksi antar sesama karyawan di bagian operasional.
Melaksanakan perubahan
Perubahan dapat diperkenalkan baik oleh para manajer yang ada di dalam perusahaan itu sendiri atau dengan menggunakan konsultan. Masing-masing pendekatan mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Bila manajer internal menjadi agen perubahan, kelebihannya adalah bahwa ia memahami dengan baik operasi bisnis perusahaan dan orang – orang yang ada di dalamnya. Sedangkan kelemahannya adalah yang bersangkutan biasanya mempunyai wawasan dan cara pandang yang terbatas mengenai pengelolaan perubahan, dan tak jarang terlalu dipengaruhi oleh budaya perusahaan yang ada. Sedangkan kelebihan dari konsultan adalah yang bersangkutan bersifat netral dan mempunyai wawasan yang luas terhadap pengelolaan perubahan perusahaan. Kekurangannya adalah bahwa yang bersangkutan kurang memahami operasi bisnis perusahaan dan orang-orang yang bekerja di dalamnya. Melihat kelebihan dan kekurangan ini, maka banyak perusahaan yang melakukan kombinasi dari kedua hal tersebut dalam memperkenalkan perubahan. Yang dilakukan oleh Jasa Marga diharapkan yang berkaitan dengan fase ini adalah membuat tim perubahan yang dipimpin oleh Pimpinan Puncak perusahaan, yang anggota-anggotanya terdiri dari para manajer terkait (termasuk Manajer SDM) dan Konsultan Hubungan Industrial yang sangat memahami kondisi perusahaan serta Serikat Karyawan Jasa Marga (SKJM). Tim inilah yang bertindak sebagai agen-agen perubahan, yang bertugas untuk memperkenalkan, melaksanakan, dan mengevaluasi perubahan yang dilakukan kepada seluruh karyawan terkait. Dengan pendekatan ini, proses perubahan yang dilakukan relatif berjalan lancar
Mengevaluasi perubahan
Untuk mengukur efektifitas perubahan, perusahaan harus membandingkan situasi sebelum dan sesudah dilaksanakannya perubahan. Beberapa indikator dapat digunakan untuk mengukur pengaruh dari perubahan tersebut, seperti : produktivitas karyawan, kepuasan kerja, hasil survey pendapat karyawan, hasil penjualan, pengurangan biaya produksi, dan sebagainya. Dari evaluasi kualitatif yang dilakukan oleh penulis terhadap perubahan yang dilakukan perusahaan , sejauh ini menunjukkan bahwa :
Untuk mengukur efektifitas perubahan, perusahaan harus membandingkan situasi sebelum dan sesudah dilaksanakannya perubahan. Beberapa indikator dapat digunakan untuk mengukur pengaruh dari perubahan tersebut, seperti : produktivitas karyawan, kepuasan kerja, hasil survey pendapat karyawan, hasil penjualan, pengurangan biaya produksi, dan sebagainya. Dari evaluasi kualitatif yang dilakukan oleh penulis terhadap perubahan yang dilakukan perusahaan, sejauh ini menunjukkan bahwa :
a. Kordinasi kerja menjadi lebih baik karena struktur perusahaan menjadi lebih ramping sehingga dapat mengurangi birokrasi kerja yang tidak perlu
b. Kerjasama antar karyawan menjadi lebih baik di bawah kepemimpinan yang baru yang lebih terbuka dan komunikatif.
c. Suasana kerja menjadi kondusif untuk menunjang bisnis perusahaan, karena mulai terbangun kepercayaan yang lebih baik diantara manajemen dan karyawan, karena tidak adanya lagi persepsi terhadap perlakuan yang berbeda antara Biro dan Divisi.
Kegagalan Mengelola Perubahan
Banyak kegagalan yang dialami perusahaan saat melakukan perubahan, yang mengakibatkan kerugian yang dialami oleh perusahaan. Kegagalan itu terjadi akibat kesalahan-kesalahan yang dibuat saat mengelola perubahan, seperti :
Mengabaikan aspek manusia dalam mengelola perubahan
Timothy J. Galpin menyatakan dalam bukunya The Human Side of Change (1996) bahwa selama proses penggabungan perusahaan, penurunan besarnya ukuran perusahaan, maupun restrukturisasi yang dilakukan perusahaan, kebanyakan dari mereka lebih memusatkan perhatiannya kepada aspek-aspek teknis, finansial dan operasional, daripada aspek manusia. Akibatnya upaya perubahan yang dicanangkan mengalami kegagalan. Hal ini tampak dalam bentuk terjadinya masalah perburuhan, keluarnya tokoh-tokoh kunci dan orang-orang berbakat dari perusahaan, dan tidak diperoleh manfaat atau sangat sedikit manfaat yang diperoleh dari perubahan yang dilakukan.
Perubahan tidak direncanakan dengan baik
Banyak perusahaan yang memperlakukan perubahan seperti sebuah peristiwa kebetulan atau hal rutin yang akan dapat diselesaikan dengan baik secara otomatis, tanpa sebuah perencanaan yang baik. Perubahan seharusnya merupakan sebuah aktivitas yang terencana, disengaja dan berorientasi pada tujuan. Tujuan dari sebuah perubahan menurutnya ada 2, yaitu : (1) Untuk meningkatkan kemampuan perusahaan dalam beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi di dalam lingkungannya, (2) Untuk merubah tingkah laku dari para karyawan. Akibat tidak direncanakannya perubahan dengan baik, maka tak jarang perubahan bergulir tanpa kendali atau berjalan tidak sesuai dengan rencana yang diharapkan, karena mendapat perlawanan dari para karyawan
Praktisi perubahan gagal membangun koalisi yang cukup kuat
Salah satu penyebab kegagalan yang dialami oleh perusahaan dalam melakukan perubahan adalah tidak terbentuknya koalisi yang cukup kuat diantara orang-orang yang mempunyai wewenang dan kemampuan untuk mendorong perubahan. Upaya perubahan yang dilakukan tanpa dukungan koalisi yang cukup mungkin akan mengalami kemajuan untuk sementara waktu. Namun cepat atau lambat, akan muncul perlawanan-perlawanan yang dapat merusak inisiatif perubahan yang sudah dilakukan.
Dampak utama dari kesalahan yang dilakukan dalam mengelola perubahan adalah munculnya resistensi dari para manajer atau para karyawan yang terkait terhadap perubahan yang dilakukan oleh perusahaan. Definisi dari resistensi terhadap perubahan adalah sebagai suatu reaksi emosional/tingkah laku yang muncul sebagai respon terhadap munculnya ancaman, baik nyata atau imajiner bila terjadi perubahan pada pekerjaan rutin. Resistensi terhadap perubahan ini dapat muncul dalam berbagai macam bentuk reaksi. Bentuk-bentuk resistensi terhadap perubahan kedalam 4 kelompok yang semuanya berada dalam sebuah kontinum, yaitu : resistensi aktif (mis : sabotase, memperlambat kerja), resistensi pasif (mis: bekerja sesedikit mungkin, tidak ingin mempelajari tugas baru), reaksi yang tidak dapat dibedakan (bekerja hanya berdasarkan perintah, kehilangan minat terhadap pekerjaan), dan penerimaan (mis : mau bekerja sama, antusias). Adapun hal-hal yang menyebabkan terjadinya resistensi terhadap perubahan, adalah sebagai berikut:
a. Kebiasaan
Pada dasarnya, manusia adalah mahluk yang hidup dari kebiasaan yang dibangunnya. Kebiasaan ini akan lebih mempermudah manusia untuk menjalankan kehidupannya yang sudah cukup kompleks. Saat dihadapkan pada perubahan, maka manusia akan cenderung enggan melakukan merubah kebiasaan yang selama ini telah ia lakukan. Contoh sederhana: seseorang akan cenderung memilih rute perjalanan menuju kantor yang biasa dilaluinya setiap hari meski jarak tempuhnya lebih panjang, dibandingkan melalui jalur baru yang belum ia kenal yang jarak tempuhnya lebih pendek.
b. Ketakutan terhadap munculnya dampak yang tidak diinginkan
Perubahan tak jarang menimbulkan ketidak-pastian, karena perubahan membuat seseorang bergerak dari suatu situasi yang ia ketahui menuju pada situasi yang tidak diketahuinya. Akibatnya orang yang bersangkutan akan merasa takut bahwa dampak perubahan akan merugikan dirinya.
c. Faktor-faktor ekonomi
Berkurangnya penghasilan, kenaikan gaji yang tidak sesuai harapan, meningkatnya ongkos angkutan, merupakan faktor-faktor ekonomi yang dapat menjadi penyebab munculnya resistensi terhadap perubahan. Bila perubahan memberikan dampak ekonomi yang cukup besar terhadap seseorang, maka dapat diramalkan bahwa resistensi dari orang yang bersangkutan terhadap perubahan akan semakin kuat.
d. Tidak adanya kepercayaan dalam situasi kerja
Seorang manajer yang membangun hubungan kerja dengan bawahannya atas dasar ketidakpercayaan, akan lebih mungkin menghadapi resistensi dari bawahannya bila ia menggulirkan perubahan. Sementara seorang manajer yang mempercayai bawahannya akan memperlakukan perubahan sebagai hal yang sifatnya terbuka, jujur dan partisipatif. Di sisi lain, bawahan yang dipercaya oleh atasannya akan melakukan upaya yang lebih baik dalam menghadapi perubahan dan melihat perubahan sebagai sebuah kesempatan. Hal ini terjadi karena tumbuhnya kepercayaan atau ketidak-percayaan dalam hubungan kerja bersifat timbal balik.
e. Takut mengalami kegagalan
Proses perubahan pada pekerjaan yang bersifat menekan karyawan, akan dapat memunculkan keraguan pada karyawan akan kemampuannya untuk melakukan pekerjaan dengan baik. Keraguan ini lambat laun akan mengkikis kepercayaan dirinya dan melumpuhkan pertumbuhan dan perkembangan dirinya.
f. Hilangnya status atau keamanan kerja
Pemanfaatan teknologi atau sistim administrasi yang baru di dalam dunia kerja, pada satu sisi dapat mempercepat proses kerja. Namun pada sisi lainnya akan dapat mengakibatkan berkurangnya jumlah pekerjaan. Dampak inilah yang dikhawatirkan oleh para karyawan bila terjadi perubahan. Buat sebagian besar karyawan hilangnya pekerjaan dapat diartikan sebagai hilangnya status dan juga hilangnya penghasilan. Untuk alasan inilah maka para karyawan cenderung untuk resisten terhadap perubahan
g. Tidak ada manfaat yang diperoleh dari perubahan
Seseorang akan melakukan resistensi terhadap perubahan bila yang bersangkutan memperkirakan atau melihat bahwa dirinya tidak akan mendapatkan manfaat bila melakukan perubahan.
Saran
Agar proses perubahan yang digulirkan di dalam perusahaan berjalan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, maka kesalahan-kesalahan yang terjadi dalam melakukan perubahan harus dihindari. Menurut hemat penulis ada sejumlah alternatif langkah yang dapat dilakukan oleh praktisi SDM atau perubahan, sebagai berikut :
Rencanakan perubahan dengan baik
Sebelum perubahan digulirkan, maka pihak-pihak yang terkait dengan perubahan (misalnya : manajemen puncak, para manajer dan agen perubahan) perlu merencanakannya dengan matang. Langkah-langkah yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
a. Melakukan analisa yang mendalam tentang ada tidaknya kebutuhan untuk melakukan perubahan di dalam perusahaan.
b. Merumuskan tujuan yang ingin dicapai dari perubahan dan dampak yag mungkin muncul dengan adanya perubahan.
c. Mengenali faktor-faktor yang dapat menghambat terjadinya perubahan dan cara mengatasinya.
d. Menyusun strategi yang tepat untuk menggulirkan perubahan.
e. Mempersiapkan parameter-parameter dan pendekatan-pendekatan yang akan digunakan untuk mengevaluasi perubahan.
Tunjuk praktisi perubahan yang mempunyai kemampuan dalam mengelola perubahan
Agar perubahan dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan, maka orang yang ditunjuk sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan perubahan, haruslah seseorang yang mempunyai pengalaman, ketrampilan dan pengetahuan yang baik dalam aspek-aspek yang berkaitan dengan pengelolaan perubahan. Orang yang bersangkutan sebaiknya melengkapi dirinya dengan ilmu perilaku , pengembangan perusahaan, teori-teori belajar, teori motivasi dan kepemimpinan.
Bekali manajemen puncak di perusahaan dengan pengetahuan dan ketrampilan mengenai pengelolaan perubahan
Agar rencana perubahan dapat disusun dengan baik, maka manajemen puncak di perusahaan perlu dibekali dengan pengetahuan mengenai pengelolaan perubahan. Mengundang pakar perubahan untuk mendiskusikan mengenai pengelolaan perubahan yang tepat, dapat menjadi salah satu alternatif . Alternatif lainnya adalah dengan mengadakan studi banding ke perusahaan-perusahaan yang telah berhasil mengelola perubahan.
Bangun koalisi yang solid diantara pihak-pihak yang terkait dengan perubahan
Para pimpinan, baik di tingkat direktur, divisi atau departemen dan para pelaksana perubahan lainnya harus bekerja sama dalam sebuah tim yang solid dalam melaksanakan perubahan ini. Dengan demikian akan dapat meningkatkan dukungan terhadap perubahan yang digulirkan dan mencegah terjadinya resistensi terhadap perubahan.
Atasi resistensi terhadap perubahan dengan pendekatan-pendekatan yang sesuai
Untuk memastikan bahwa proses perubahan dapat berlagsung sesuai dengan rencana, maka resistensi yang muncul harus dapat diatasi. Berikut ini adalah langkah-langkah yang mungkin dapat dilakukan untuk mengatasi terjadinya resistensi terhadap perubahan yang mungkin dapat diaplikasikan dalam perusahaan kita .
Perubahan dalam berbagai bentuknya pada dasarnya ditujukan untuk memberikan dampak yang positif bagi pertumbuhan dan perkembangan perusahaan. Para pakar meramalkan bahwa kebutuhan untuk melakukan perubahan-perubahan, baik yang didorong oleh faktor eksternal, maupun internal, akan terus-menerus muncul dalam perusahaan dalam beberapa dekade kedepan. Hal ini diperkirakan akan memberikan dampak terhadap kelangsungan hubungan kerja di dalam perusahaan. Bagi para praktisi SDM atau praktisi perubahan, kecenderungan ini akan menjadi tantangan yang menarik bila mereka dapat memberikan respon terhadap langkah perubahan yang terjadi dan mengelolanya dengan baik. Sebaliknya akan menjadi ancaman terhadap karir bila mereka tidak mampu memberikan respon yang baik terhadap tuntutan perubahan.
Untuk itulah, agar tidak menjadi pihak yang gagal, maka seorang praktisi SDM atau perubahan dituntut untuk memiliki pemahaman dan penguasaan terhadap aspek-aspek yang berkaitan dengan pengelolaan perubahan di dalam perusahaan, khususnya yang berkaitan dengan aspek sumber daya manusia. Dengan pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya dalam mengelola perubahan, maka seorang praktisi SDM atau perubahan akan dapat melaksanakan perubahan secara efektif, sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. ***** SWARA SKJM 5258
Dikutip dari berbagai sumber