Jumat, 17 Agustus 2007

Rapim dan Seminar FSP BUMN

Federasi Serikat Pekerja BUMN akan menyelenggarakan Rapim dan Seminar dengan tema
BUMN INCORPORATED :
Ambiguitas Antara Tuntutan Bisnis dan Implementasinya Dalam Perspektif Yuridis dan Bisnis, pada tanggal di 28-30 Agustus 2007 di hotel Inna Garuda Yogyakarta.
Seminar akan dihadiri oleh 104 perusahaan BUMN yang menjadi anggota FSP BUMN dan para akademisi, LSM serta perusahaan swasta .

Seminar akan menampilkan pembicara utama Menteri BUMN Sofyan Djalil dan pembicara lainnya.

Komisi Pemberantasan Korupsi
Topik : Kualifikasi perbuatan melawan hukum berkaitan dengan aktifitas dalam mewujudkan BUMN INCORPORATED dikaitkan dengan penyelamatan keuangan negara.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha
Topik : Pandangan Yuridis dan politik ekonomi dari sisi monopoli dan persaingan kegiatan usaha tidak sehat berkaitan aktifitas BUMN dalam implementasi BUMN INCORPORATED (Baik melalui perubahan struktur badan usaha maupun total logistic system)

Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan
Topik : Pandangan dari sisi audit kualifikasi perbuatan merugikan keuangan negara berkaitan dengan kebijakan BUMN INCORPORATED.

Direktur BUMN (Pelaku Bisnis)
Topik : Dilematid BUMN dalam mewujudkan Implementasi BUMN INCORPORATED dalam kerangka penyelamatan BUMN lain

Tanri Abeng (Begawan Manajemen)
Topik : Mencari format ideal melalui integrasi vertikal dan horizontal di dalam mensinergikan BUMN untuk memperkuat struktur bisnis dan persaingan global.

Said Didu ( Sesmen BUMN)
Topik : Konsepsi perwujudan total logistic system di dalam mensinergikan resources bisnis di lingkungan BUMN untuk menciptakan value added dan value creation.

Komisi VI DPR RI
Topik : Evaluasi kritis Kinerja BUMN serta ekspektasi optimal berkaitan dengan implementasi BUMN INCORPORATED dan dukungan politik ekonomi di dalam penerapannya.

Direktur BUMN
Topik : Pandangan profesional dan hambatannya di dalam perwujudan sinergi BUMN dan perubahan struktur bisnis dan hukum melalui roll up dan atau fokus bisnis.

FEDERASI SERIKAT PEKERJA BUMN (FSP BUMN)
Sekretariat : Jl. DR Saharjo No. 100 E Jakarta
Telp : (021) 8312639
Fax : (021) 83126639

Ketua Panitia : Ir Setiyono
Tlp : 081399316867

Kantor Sekretariat Panitia
DPP SKJM : Plaza Tol TMII Jakarta 13550
Telp : (021) 87796291

Contact Person :
Suripto Sabardi : (021) 92881104 / 0818800488
Susilo Raharjo : (021) 0817100833

Badan Pengurus Federasi Serikat Pekerja BUMN
Ketua Umum : Ir Abdul Azis Hasan
Sekretaris Jenderal : Rias Wisnoe Wardana

Created : Heri 5258
www.federasiserikatpekerjabumn.blogspot.com

Mencari Makna Kemerdekaan

www.mediaindonesia.com

SETIAP kali memperingati kemerdekaan Indonesia, setiap kali pula kita bertanya apa artinya kemerdekaaan bagi bangsa ini? Kini kita juga bertanya, apa arti kemerdekaan selama 62 tahun bagi rakyat yang berjumlah 220 juta jiwa?

Usia 62 tahun bagi sebuah negara, memang belum terlalu tua, tetapi juga tidak bisa dibilang muda. Usia 62 tahun lebih dari cukup untuk mengisi kemerdekaan. Untuk memberi keadilan dan kemakmuran bagi rakyat!

Singapura dan Malaysia, tetangga terdekat kita, yang lebih junior sebagai negara berdaulat, telah menjadi contoh yang amat nyata. Indonesia, ‘sang saudara tua’, yang telah mengajari banyak hal, kini justru masih menjadi pecundang dalam persaingan global.

Tanpa pemimpin yang punya visi membangun dan bisa menjadi inspirasi bagi rakyatnya untuk membangun modal sosial yang kuat, kekayaaan alam yang melimpah ruah hanyalah kumpulan benda mati. Dan, Indonesia benar-benar menjadi contoh amat nyata. Lautan, hutan, tambang, tanah yang luas, hanyalah ‘kebesaran Tanah Air’ yang tidak punya relevansi kesejahteraan bagi rakyatnya. Karena pengkhianatan bangsa sendiri, yang paling menikmati kekayaan alam kita justru bangsa lain.

Karena itu, peringatan proklamasi kemerdekaan kali ini benar-benar harus menjadi ruang kontemplasi yang dalam bagi para pengelola negara. Kenapa? Karena para pejabat negara itulah yang mengemban amanat konstitusi. Sebab, cita-cita proklamasi adalah menjadi bangsa merdeka, berdaulat, adil, dan makmur.

Adalah amat mudah untuk mengukur kinerja para pengelola negara dari satu pemerintahan ke pemerintahan. Ketika keadilan dan kemakmuran masih belum menjadi milik rakyat, setiap saat pula para pengelola negara, harus meminta maaf kepada rakyat atas kegagalan itu.

Keadilan dan kemakmuran rakyat adalah amanat konstitusi. Kita perlu mengingatkan untuk kesekian kalinya, karena amanat itu kian dianggap teks hampa makna yang tidak punya konteks dengan realitas sosial. Kita harus mengingatkan, setiap amanat konstitusi yang belum direalisasikan adalah berarti hutang negara.

Manakala kehidupan para pejabat negara (atau siapa saja yang mendapat penghasilan dari negara) kian bertambah banyak pundi-pundi hartanya, sementara rakyat justru kian menggelepar dalam kemiskinan, ini sungguh sebuah kezaliman negara dalam memperlakukan rakyatnya. Sebab, faktanya, menurut Bank Dunia, 49% (lebih dari 100 juta) masyarakat negeri ini berkubang dalam lumpur kemiskinan. Mereka adalah masyarakat yang berpenghasilan di bawah US$2 atau sekitar Rp18.000.

Dari sudut pandang keadilan dan kemakmuran, Indonesia sungguh berjalan dalam jalur yang berbahaya. Sebab, kaum berada semakin mendapat previlij dari negara, sementara rakyat miskin kian terpinggirkan.

Sebenarnya, dalam hal kebajikan Indonesia mempunyai modal bagus. Sistem masyarakat yang paternalistik, sesungguhnya bisa dipakai untuk menggerakkan hal-hal baik dari para pemimpin dalam membangun masyarakat adil dan makmur. Sayang para pemimpin gagal total menjadi teladan untuk rakyatnya.

Lihat saja kasus-kasus korupsi yang dilakukan para pejabat publik. Lihat saja survei-survei dalam hal transparansi. Lihat saja tingkat kepatuhan para pejabat negara dalam mengisi daftar kekayaan yang diedarkan Komisi Pemberantasan Korupsi. Lihat saja sebagian besar gaya hidup para politisi dan wakil rakyat kita. Pejabat negara masih terlalu jauh dari contoh kebajikan dan tertib hukum.

Itu semua adalah representasi dari para pejabat negara dalam melaksanakan tugas-tugas ‘kenegaraannya’ yang sungguh miskin akan visi dan misi kerakyatan. Padahal, visi kerakyatan (memberi keadilan dan kemakmuran), adalah hutang para pengelola negara. Sebagai hutang, ia harus secepatnya dibayar.

Peringatan proklamasi kemerdekaan akan kian hampa makna, jikalau tidak ada komitmen baru yang tulus dari para pemimpin negara untuk dengan segala daya dan upaya untuk memberi keadilan dan kemamuran kepada rakyat. Kemakmuran yang hanya dinikmati segelintir orang, sungguh sebuah pengkhianatan atas proklamasi kemerdekaan yang kita peringati hari ini.

Privatisasi BNI, belajar mengakrabi pasar

Belajar dari kejadian yang menimpa privatisasi PT Bank Negara Indonesia Tbk, Kementerian BUMN terlihat mulai bersiap-siap meninjau rencana privatisasi BUMN lainnya.
Timing yang semula diperkirakan tepat ternyata dihantam krisis subprime mortgage di AS sehingga menghasilkan pricing yang tidak optimal. Dari ekspektasi semula harga saham BNI bisa ditawarkan pada level sekitar Rp2.300 per saham menjadi ditawarkan pada level Rp2.050. Harga ini merupakan level terendah dari kisaran sebesar Rp2.050 per saham sampai Rp2.700 per saham. Yang lebih menyedihkan, setelah listing awal pekan ini, harganya kian tertekan, tak mampu membendung buruknya sentimen global.

Sedari awal, masuknya saham BNI disambut dengan degup jantung yang kencang sejumlah pejabat BUMN, BNI, penjamin emisi maupun investor. Harapan investor meraih gain pada hari pertama listing kembali saham BNI pupus sudah setelah saham bank BUMN tersebut jebol pada hari pertama listing. Kenyataan ini bertentangan ini mayoritas saham yang melonjak pada hari pertama listing.

Bahkan pada jam-jam pertama terdapat tekanan jual sehingga saham BNI sempat ditekan pada level Rp1.975 per saham meskipun kemudian naik lagi menjadi Rp2.000 per saham.

Privatisasi BUMN 2007
Jumlah saham Target perolehan
BNI 27% Rp8,09 trilun*
Jasa Marga 30% Rp2,5 triliun-Rp3 triliun
Wika 30% Rp622 miliar
Adhi Karya - Rp600 miliar**
* Sudah didapatkan
** Right issue
Sumber : Kementerian BUMN

Skenario awal perolehan privatisasi BNI (Rp miliar)
Harga Rp2.050 Rp2.300 2.700
Rights Issue 4.047,85 4.541,49 5.331,32
Divestasi 3.076,37 3.451,53 4.051,80
Green Shoe 971,48 1.089,95 1.279,51
Penerimaan 8.095,71 9.082,99 10.662,64

Sumber : BNI, diolah

Pada awal pekan ini, harga saham BNI melemah sebesar 5,88% menjadi Rp2.000 per saham dibandingkan level harga sebesar Rp2.125 per saham pada 7 Agustus sebelum dihentikan sementara perdagangannya oleh PT Bursa Efek Jakarta (BEJ).

Menginjak hari kedua, harga saham BNI kembali terpuruk pada level Rp1.875 per saham. Tekanan jual meningkat mengingat investor yang menggunakan fasilitas margin perdagangan semakin panik dan membuat proses stabilisasi tidak bisa mulus dilaksanakan.

Kemarin, harga saham BNI kembali tertekan sebesar 4,53% menjadi Rp1.790 per saham. Sehingga dalam tiga hari berturut-turut harga saham BNI telah melemah sebesar total Rp335 per saham. Menangislah para investor yang memiliki horison investasi jangka pendek, terutama yang menggunakan fasilitas margin perdagangan.

Ke depan, tak ada cara lain, investor lokal harus belajar menggunakan horison investasi jangka panjang. Dengan price to book value sebesar dua kali berdasarkan laporan keuangan Maret 2007 seharusnya saham BNI under pricing untuk investasi jangka panjang dan layak dikoleksi.

Pesan positif

Yang jelas pesan positif terhadap pergerakan harga saham BNI muncul apabila manajemen bank BUMN ini bisa membuktikan pembenahan kredit bermasalahnya, peningkatan ekspansi kreditnya termasuk dalam segmen konsumer yang memberikan margin bunga bersih yang tinggi.

Loan to deposit ratio (LDR) BNI yang per Maret 2007 mencapai 48,7% harus didongkrak untuk memastikan laba bersih perseroan bisa naik. Tentunya perlu risk management yang memadai supaya tidak timbul kredit macet.

Selain itu, besaran rasio kredit bermasalah (non perfoming loan/NPL) netto sebesar 5,47% dan gross sebesar 9,50% mengharuskan manajemen BNI mengambil kebijakan untuk menekan rasio tersebut lebih rendah lagi.

Rencana kerja BNI menargetkan bank itu bisa meraih rasio kecukupan modal (capital adequancy ratio/CAR) lebih dari 20% melalui rights issue.

Setiap BNI menyalurkan kredit Rp1 triliun maka terjadi penurunan rasio kecukupan modal 0,15%, sedangkan untuk menaikkan CAR 1% diperlukan tambahan modal sebesar Rp909 miliar dan diperlukan tambahan modal Rp4,48 triliun.

Semakin besar dana yang diterima oleh BNI memungkinkan perseroan memupuk CAR-nya yang berujung kepada kemampuan dalam menyalurkan kredit. Bertambahnya kemampuan menyalurkan kredit akan berdampak pada peningkatan marjin bunga yang berujung kepada meningkatnya laba bersih sehingga harga saham BNI meningkat.

Dengan demikian, bisa tercapai harapan bahwa privatisasi membawa perbaikan kinerja perseroan. Benar, sebanyak 3,47 miliar saham telah dipasarkan melalui penawaran saham terbatas (rights issue) dan divestasi saham.

Jumlah ini masih akan bertambah lagi mengingat Jumlah saham beredar BNI akan mencapai 27% sehingga berpotensi menjadi saham blue chips yang memengaruhi pergerakan indeks harga saham gabungan BEJ. Pembenahan kinerja BNI akan berdampak positif bagi pergerakan IHSG BEJ.

Belajar dari BNI

Setelah BNI, Kementerian BUMN akan menggelar privatisasi saham PT Jasa Marga dan PT Wijaya Karya pada semester II tahun ini yang seluruhnya akan masuk dalam struktur permodalan perseroan. Selain itu, satu BUMN karya lagi yaitu PT Adhi Karya Tbk juga berencana menggelar penawaran saham terbatas (rights issue) untuk meraup dana sebesar Rp600 miliar.

Hasil privatisasi BNI akan memberikan pesan bagi privatisasi BUMN selanjutnya, termasuk juga divestasi lanjutan bank ini apabila masih ada.

Namun, memburuknya kondisi pasar keuangan global membuat sejumlah BUMN yang akan masuk ke pasar modal mulai terlihat gamang. Dirut PT Adhi Karya Tbk Syaiful Imam yang kemarin ditemui Bisnis juga terlihat gamang menggelar rights issue yang direncanakan berlangsung pada kuartal IV tahun ini.

Dia mengatakan rencana perseroan menggelar rights issue akan dilakukan sambil menunggu kondisi pasar membaik.

Bahkan Menneg BUMN Sofyan A. Djalil mengisyaratkan untuk meninjau lagi timing pelepasan saham beberapa perusahaan seraya menjanjikan komitmennya untuk terus menggelar privatisasi BUMN.

Terdapat beberapa masalah yang harus diselesaikan oleh Kementerian BUMN pascajebloknya hasil divestasi BNI.

Pertama, Kementerian BUMN beserta manajemen BNI dan penjamin pelaksana emisi PT Bahana Securities maupun PT JP Morgan Securities Indonesia harus bisa menenangkan pelaku pasar yang panik terhadap situasi yang terjadi dalam pasar uang.

Dalam konteks ini proses stabilisasi yang dijalankan oleh agen stabilisasi JP Morgan harus dijalankan secara bijak sehingga peluru sebesar Rp1 triliun tidak dimakan oleh tekanan pasar yang mungkin berkelanjutan.

Kedua, Kementerian BUMN harus menegosiasikan pemenuhan setoran ke APBN 2007. Semula dalam RAPBN 2007 disepakati setoran privatisasi sebesar Rp4,7 triliun, namun jumlah ini belum disepakati dalam Sidang Paripurna DPR sehingga belum masuk menjadi bagian dari APBN 2007.

Pilihan yang tersedia adalah Kementerian BUMN menegosiasikan penurunan jumlah setoran privatisasi dari semula Rp4,7 triliun menjadi Rp4 triliun. Atau, pilihan kedua adalah Kementerian BUMN menggelar rencana privatisasi tambahan terhadap sejumlah BUMN yang sudah listing di pasar modal. Tentunya jumlah saham yang dilepas terbatas untuk mempertahankan kepemilikan mayoritas pemerintah.

Pilihan yang paling mungkin adalah menggelar divestasi terbatas terhadap saham pemerintah di BUMN pertambangan yang mempunyai kinerja kinclong.

Strategi privatisasi

Langkah privatisasi Jasa Marga yang ditargetkan meraup dana sebesar Rp2,5 triliun sampai Rp3 triliun maupun Wika yang ditargetkan meraih dana Rp622 miliar harus dimatangkan sehingga bisa meraih dana yang optimal.

Tidak ada salahnya besaran jumlah saham yang akan dilepas diturunkan dari rencana semula untuk mengantisipasi rendahnya daya serap pasar. Hal ini sangat mungkin ditempuh mengingat semua hasil dari privatisasi akan masuk ke struktur modal perseroan.

Untuk privatisasi Wika, konsorsium PT Bahana Securities, PTCIMB-GK, dan PT Indopremier Securities menjamin harga saham Wika pada level minimal sebesar Rp311 per saham. Dengan jumlah saham yang dilepas sebanyak 35% atau setara dengan dua miliar maka target minimal perolehan sebesar Rp622 miliar.

Sedangkan Jasa Marga telah mengisyaratkan akan menetapkan nilai nominal sahamnya pada level Rp500 per saham.

Apabila kondisi pasar memburuk, Jasa Marga maupun Wika bisa mengurangi jumlah saham yang dilepas dan menjadwalkan kembali divestasi lanjutan untuk menggenapkan target divestasinya.

Langkah divestasi lanjutan menjadi opsi yang mungkin ditempuh untuk memastikan target penguatan modal bisa tercapai. Alternatif lain yang bisa ditempuh adalah menunda divestasi dengan konsekuensi rencana aksi korporasi dua BUMN ini juga ditunda. Langkah penundaan ini juga bisa ditempuh oleh Adhi Karya sambil menunggu waktu yang tepat untuk meraih hasil yang optimal.

Intinya, jangan melawan pasar sehingga hasil privatisasi bisa optimal. (munir.haikal@bisnis.co.id)

Oleh M. Munir Haikal
Bisnis Indonesia

Mencari kemerdekaan sejati

www.bisnis.com

Besok bangsa Indonesia merayakan hari kemerdekaan ke-62. Selain kemeriahan pesta, hampir selalu muncul pertanyaan bernada sinis menjelang peringatan hari ulang tahun Negara Kesatuan Republik Indonesia: benarkah kita sudah merdeka?
Secara politis, tentu saja, kita sudah merdeka. Hal ini karena syarat untuk disebut sebagai sebuah negara telah dipenuhi Indonesia, dengan adanya rakyat, wilayah, dan kedaulatan. Kedaulatan itu berupa pengakuan dunia internasional maupun warga Indonesia sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di negeri ini.

Tetapi, sekali lagi, benarkah kita sudah merdeka? Hari ulang tahun negeri ini sepatutnya tidak semata-mata ‘dirayakan’ dengan kemeriahan, melainkan juga ‘diperingati’ sebagai bagian dari introspeksi untuk melangkah ke depan dengan lebih baik.

Merdeka yang diperlukan oleh setiap anak bangsa ini jelas bukan sekadar kemerdekaan secara politis. Merdeka juga berarti bebas menikmati pendidikan, bebas menyuarakan yang benar, bebas dari rasa ketakutan untuk segala, dan mudah memperoleh mata pencaharian yang layak, karena ditopang oleh kondisi ekonomi yang mapan.

Dalam kondisi pendidikan yang mahal, jelas bahwa kemerdekaan untuk menikmati pendidikan yang memadai jauh dari kenyataan. Pendidikan yang mahal hanya akan memperlebar jarak antara kaum kaya dan miskin, ditandai dengan menipisnya golongan menengah, sehingga menyimpan potensi munculnya krisis sosial berskala besar.

Juga patut direnungkan kembali apakah di negeri ini menyuarakan sesuatu yang benar bisa dilakukan dengan bebas? Contoh terkini yang sempat mengemuka ialah para guru yang membongkar praktik buruk dalam Ujian Akhir Nasional. Tetapi merekalah yang akhirnya terbuang, sedangkan yang bertindak curang tetap tak terusik.

Merdeka juga semestinya dimaknai dengan hilangnya rasa ketakutan yang tak beralasan. Faktanya, banyak pengemudi kendaraan khawatir melihat polisi—yang semestinya bertugas melindunginya, tetapi kinerjanya dirusak oleh perbuatan oknum—di malam hari, meski dia sebenarnya tidak melakukan kejahatan apa pun.

Sekadar berjalan di jembatan penyeberangan pun, bagi sebagian orang akan disertai rasa khawatir terhadap faktor keamanan yang memang tidak ada yang sanggup memberi jaminan kepadanya.

Tak ada cerminan bahwa seseorang sudah merdeka jika dia masih menemui berbagai kesulitan manakala yang bersangkutan mengurus sesuatu yang bersinggungan dengan birokrasi mulai dari tingkat pemerintahan terendah hingga di pusat.

Dari sisi ekonomi, sekali lagi patut kita bertanya apakah seseorang yang memiliki keahlian tersia-sia hanya karena negeri ini gagal menyediakan lapangan kerja yang pantas bagi tenaga kerja ber-skill, layak disebut telah memperoleh kemerdekaan?

Apakah negara ini sudah merdeka ketika kita tidak mampu mandiri menentukan sejauh mana bagian kita dan mana pula bagian asing dalam hal pengeksploitasian sumber daya alam Indonesia yang sangat kaya.

Kita seharusnya mengambil keputusan bahwa sumber daya melimpah ruah itu sesungguhnya adalah anugerah Tuhan untuk bangsa ini. Dengan demikian, kita harus menysukurinya dengan memanfaatkannya semaksimal mungkin bagi kepentingan anak negeri ini, bukan dengan gampang mempersilakan perusahaan multinasional—yang didukung pemerintahnya—memperoleh bagian lebih besar.

Jika kemerdekaan yang sesungguhnya, sebagaimana telah diuraikan, dapat diwujudkan, tidak ada alasan bagi sejumlah daerah untuk terus berupaya memisahkan diri dari Indonesia. Mereka merasa merdeka di pangkuan Ibu Pertiwi.