Kamis, 28 Juni 2007

UPAYA MEWUJUDKAN KEPUASAN UNTUK KARYAWAN

UPAYA MEWUJUDKAN KEPUASAN KARYAWAN
Menghindari konflik antara karyawan dengan perusahaan memang bukanlah hal yang mudah. Di era reformasi dan globalisasi pada saat ini berunjuk rasa, mogok kerja, sepertinya menjadi pilihan yang populer bagi para karyawan untuk mendapatkan hak-hak mereka. Simak saja kasus PT Dirgantara Indonesia dan PT Freeport Indonesia serta Perusahaan pesawat terbang Boeing di Eropa yang merupakan Negara maju serta masih banyak kasus lainnya yang menjadi gambaran rumitnya pengelolaan sumber daya manusia di seluruh Dunia. Dalam melakukan pengelolaan sumber daya manusia,
Serikat Karyawan Jasa Marga maupun Manajemen perlu memiliki paradigma yang baru. Perubahan paradigma ini mencakup kebijakan (policy), praktek pendayagunaan dan pengembangan yang berkesinambungan, mulai dari perekrutan hingga pensiun. Upaya pengembangan perlu diarahkan hingga setiap individu dapat meningkatkan kontribusinya secara maksimal di tempat kerja, lingkungan sosial, hingga kehidupan rumah tangganya (Great Contribution Principle). Perusahaan seharusnya tidak hanya mementingkan kepuasan pelanggan (customer satlsfaction) dan kepuasan pemegang saham (shareholder satisfaction), namun perlu pula memikirkan kepuasan karyawan (employee satisfaction).
Dalam pengelolaan karyawan pada saat ini di era Good Corporate Governance sebaiknya manajemen perusahaan melakukan total improvement principle. Sedapat mungkin semua karyawan diikutsertakan dalam setiap keputusan dan program sesuai dengan tingkatannya agar setiap karyawan merasa sebagai bagian dari program (subyek), bukan hanya sebagai obyek, Manajemen pun harus menekankan pada pentingnya konsep Role and Talent Based Principle, yaitu penugasan dan pemberian beban kerja yang mengasah bakat (talenta) serta kompetensi karyawan untuk mencapai Visi perusahaan yang modern. Karena itu dalam proses perekrutan harus dipilih karyawan yang mempunyai karakter (attitude) dan Misi hidup (personal mission) yang sesuai dengan Visi dan Misii perusahaan. Menciptakan budaya super team dengan memberi perhatian pada aspek kerjasama, mulai dari pemberian tugas, kriteria penilaian sampai penghargaan perlu pula diperhatikan karena pada dasarnya manusia sebagai makhluk sosial sudah di desain sebagai team.
Pihak manajemen perusahaan harus berlaku adil. Tak hanya memberikan target pencapaian hasil perusahaan, tapi juga memperhatikan sumber daya manusianya. Aspek human mesti di munculkan dalam manajemen perusahaan. Jadi jangan hanya pekerjaan yang dibicarakan, karena untuk mendapatkan target seperti yang diharapkan, setiap orang dalam suatu perusahaan mempunyai peran. Seperti halnya dalam permainan sepakbola, semua pemain amat berperan untuk membuat team meraih kemenangan. Sebab itu setiap karyawan seyogianya mengetahui tugas masing-masing dan kontribusi mereka pada perusahaan. Jika setiap karyawan dalam organisasi perusahaan kita mengerti tentang Visi perusahaan dan tugas mereka masing-masing, artinya organisasi di perusahaan kita sudah hebat”. Sebab tidak mudah membuat iklim kerja yang membuat semua karyawan sadar perannya masing-masing di perusahaan dan mempunyai semangat kerja. Pelatihan (Training) saja tidak cukup dalam hal ini. Hubungan antara atasan dan bawahan mesti terus berlangsung. Segala hal mesti sampai dari atas ke bawah. Jika ini bisa dilakukan, sudah bagus untuk menuju perusahaan yang modern.
Pihak manajemen harus memahami tuntutan SDM zaman sekarang berbeda dengan masa lampau. Jika dulu perhatian bisa dilakukan sekali seminggu oleh atasan, sekarang mesti lebih sering dan lebih mendalam. Perubahan perhatian muncul karena tantangan kerja sekarang yang meningkat. Begitu juga dengan persaingan. Jadi atasan perlu melakukan dialog dan jangan cuma bicara masalah pekerjaan.
Pada akhirnya dengan menerapkan pola seperti yang telah di jabarkan tadi maka di harapkan konflik-konflik tajam bisa dihindari selama manajemen perusahaan tidak berfokus hanya sebatas hak dan kewajiban saja, melainkan menghargai harkat dan martabat setiap individu ****Swara SKJM HS 5258

pARADIGMA SKJMDALAM PENGEMBANGAN SDM

Paradigma SKJM
Dalam
Pengembangan Sumber Daya Manusia



Dari penggunaan yang lazim istilah paradigma sering diartikan sebagai pola / model tertentu yang kita anut. Paradigma berpikir tertentu akan mempengaruhi sikap, tindakan dan kebiasaann tertentu. Paradigma dengan kata lain sering tidak disadari menjadi “hukum” dan kita semua adalah anak dari hukum itu. Oleh sebab itu logislah kalau dikatakan, salah satu syarat untuk menuju Jasa Marga yang modern adalah menyempurnakan paradigma lama dengan paradigma baru yang lebih unggul.
Globalisasi yang terjadi belakangan ini telah memberikan dampak yang signifikan bagi kelangsungan hidup organisasi. Globalisasi telah menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan yang begitu cepat di dalam bisnis yang menuntut organisasi SKJM dan Manajemen untuk lebih mampu beradaptasi, mempunyai ketahanan, mampu melakukan perubahan arah dengan cepat, dan memusatkan perhatiannya kepada kemajuan perusahaan. Globalisasi ini juga dapat memunculkan bahaya sekaligus kesempatan bagi organisasi SKJM dan Manajemen.
Menurut pakar perubahan John P. Kotter (1995) dalam bukunya Leading Change, globalisasi yang terjadi di pasar dan kompetisi telah menciptakan ancaman, berupa semakin banyaknya kompetisi dan meningkatnya kecepatan dalam bisnis. Namun demikian juga memunculkan kesempatan berupa semakin besarnya pasar dan semakin sedikitnya hambatan-hambatan yang akan muncul. Dalam suasana bisnis seperti ini, Fungsi Sumber Daya Manusia (SDM) di dalam perusahaan harus mampu untuk menjadi mitra kerja yang dapat diandalkan, baik oleh para pimpinan puncak perusahaan, maupun manajer lini. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Stone (1998) bahwa para Manajer SDM saat ini berada dalam tekanan yang tinggi untuk menjadi mitra bisnis strategis yaitu berperan dalam membantu organisasi untuk memberikan tanggapan terhadap tantangan-tantangan yang berkaitan dengan down sizing, restrukturisasi, dan persaingan global dengan memberikan kontribusi yang bernilai tambah bagi keberhasilan bisnis.
Selama ini Fungsi SDM lebih banyak dilihat sebagai pengelola administrasi personalia atau pengawas dari peraturan perusahaan di bidang ketenaga-kerjaan. Dari berbagai literature dan Kajian yang membahas SDM, menunjukkan bahwa Fungsi SDM selama ini lebih banyak berperan dalam hal-hal yang menyangkut penyelenggaraan hubungan industrial di perusahaan, seperti pembuatan Peraturan Perusahaan/Kesepakatan Kerja Bersama, menjalin kerjasama dengan Departemen Tenaga Kerja, menyelesaikan perselisihan antara perusahaan dengan serikat karyawan atau karyawan. Yang lebih menyedihkan lagi bila peran Fungsi SDM hanya dianggap penting saat perusahaan ingin melakukan perubahan strukur organisasi perusahaan (Change management) . Selain itu, Fungsi SDM juga seringkali dipersepsikan perannya tidak lebih sebagai pelaksana Administrasi Personalia, yaitu yang mengurus masalah pembayaran gaji karyawan, mengurus cuti karyawan, penggantian biaya kesehatan, dan sebagainya.
Demi mendukung para pimpinan puncak dan manajer lini di perusahaan dalam melaksanakan langkah-langkah strategis yang tepat untuk bersaing di pasar global, maka Fungsi SDM dituntut untuk meredefinisi perannya di dalam perusahaan. Tuntutan terhadap peran baru Fungsi SDM untuk mewujudkan Jasa Marga yang modern sejalan dengan pesan disampaikan oleh Dave Ulrich (1997), seorang Profesor di bidang Pengembangan Perusahaan dari Universitas Michigan:
“ In the field of Human Resources, death rites have been proclaimed, eulogies written and funerals prepared for the demise of the HR Function. But these eulogies are premature. HR as we know it (with images of policy police, regulators, administrative guardians) has passed, and the rise of the new HR is well underway”
Dari ungkapan di atas, terlihat bahwa peran tradisional Fungsi SDM yang selama ini ada, tidak dapat lagi dipertahankan sepenuhnya seperti dulu, bila fungsi tersebut ingin tetap hadir di dalam perusahaan yang modern. Peran tradisional ini bukanlah tidak penting namun peran tradisional tersebut harus diperluas dan diperkaya. Untuk itulah maka Fungsi SDM yang ada di perusahaan harus sudah mulai melakukan perubahan perannya dari pemain peran tradisional yang pasif menjadi pemain peran yang bertindak proaktif dan memberikan nilai tambah kepada perusahaan (SDM yang modern).
Peran Baru
Menurut Ulrich (1997), Fungsi SDM harus menetapkan standard yang lebih tinggi dari yang telah mereka miliki hingga mereka harus mengerakkan para praktisinya lebih tinggi dari peran sebagai polisi atau penjaga kebijakan atau peraturan sehingga dapat menjadi mitra, pemain dan pelopor dalam memberikan keuntungan kepada perusahaan. Untuk itulah Ulrich ( 1997) menyarankan 4 peran baru yang harus dimainkan oleh Fungsi SDM Jasa Marga yang modern dan para praktisinyanya agar dapat memberikan hasil dan menciptakan keuntungan dari keberadaan mereka di dalam perusahaan, yaitu :



Mitra bisnis strategis
Sebagai mitra bisnis strategis Fungsi SDM Jasa Marga yang modern dan para praktisinyanya dituntut untuk mempunyai kemampuan dalam menterjemahkan strategi bisnis yang ditetapkan perusahaan menjadi tindakan-tindakan yang nyata di lapangan. Fungsi SDM Jasa Marga yang modern dan para praktisinya harus mampu memberikan masukkan-masukkan yang bernilai tambah kepada tim bisnis perusahaan dalam penyusunan strategi bisnis. Disamping itu seorang praktisi SDM harus mampu mengembangkan ketajaman pengetahuannya di bidang bisnis Jasa Marga masa depan, mempunyai orientasi terhadap pelanggan dan mempunyai pemahaman tentang kompetisi yang terjadi dalam bisnis yang dijalani oleh perusahaan.

Ahli di bidang administrasi
Sebagai ahli di bidang administrasi, Fungsi SDM dan para praktisinya harus mampu melakukan rekayasa ulang terhadap proses-proses kerja yang dilakukannya selama ini. Dengan demikian proses adminsitrasi di bidang SDM akan menjadi lebih efisien dan efektif dalam melayani kebutuhan manajemen atau para karyawan akan informasi SDM.

Pendukung & pendorong kemajuan karyawan
Dalam perannya sebagai pendukung dan pendorong kemajuan karyawan, Fungsi SDM dan para praktisinyanya dituntut untuk mampu mengenali kebutuhan-kebutuhan para karyawan, menyelaraskan kebutuhan-kebutuhan karyawan dengan Visi /Misi perusahaan, dan berupaya keras untuk melakukan langkah-langkah terbaik untuk mendorong agar kebutuhan-kebutuhan tersebut terpenuhi secara optimal. Fungsi SDM dan para praktisinya juga harus mampu untuk menciptakan suasana kerja yang dapat memberdayakan karyawan dan memotivasi mereka untuk memberikan kontribusi terbaiknya kepada perusahaan.

Agen perubahan
Dalam kapasitasnya sebagai agen perubahan, Fungsi SDM dan para praktisinyanya dituntut untuk mampu menjadi katalisator perubahan di dalam perusahaan. Fungsi SDM dan para praktisinyanya harus mampu berperan dalam mempercepat dan mengelola proses perubahan Jasa Marga untuk menjadi perusahaan modern yang dicanangkan oleh perusahaan secara efektif. Disamping itu, mereka dituntut pula untuk mampu mengenali hambatan-hambatan yang mungkin dihadapi oleh perusahaan bila perubahan dilakukan. Dengan demikian dapat mencegah terjadinya gejolak sosial yang kontra produktif di dalam perusahaan.



Permasalahan
Untuk mewujudkan peran-peran seperti tersebut di atas, tampaknya bukanlah hal yang mudah. Banyak masalah yang harus dihadapi oleh Fungsi SDM dan para praktisinyanya. Masalah-masalah tersebut antara lain sebagai berikut

Adanya mitos yang tidak tepat tentang Profesi SDM yang selama ini hidup di masyarakat, para pemimpin perusahaan, maupun di kalangan praktisi SDM sendiri, seperti yang diungkapkan oleh Ulrich ( 1997) berikut ini :

MITOS
REALITAS
Orang memilih profesi SDM karena menyukai berhubungan dengan manusia
Fungsi SDM tidak dirancang untuk menciptakan aktivitas sosial yang membuat karyawan merasa nyaman, tetapi dirancang untuk membuat karyawan menjadi lebih kompetitif
Setiap orang dapat menjalankan kegiatan di bidang SDM
Kegiatan-kegiatan di bidang SDM didasarkan atas teori dan penelitian. Praktisi di bidang SDM harus mampu menguasai keduanya
Fungsi SDM hanya berkaitan dengan sisi lunak dari bisnis, sehingga hasil kerjanya tidak perlu diukur

Dampak dari pelaksanaan aktivitas di bidang SDM terhadap bisnis harus dapat diukur. Praktisi di bidang SDM harus mampu menjabarkan pekerjaannya dalam bentuk kinerja yang mempunyai nilai finansial

Fungsi SDM memusatkan perhatiannya pada pengawasan biaya semata

Fungsi SDM harus memusatkan perhatiannya pada peningkatan nilai tambah kepada perusahaan, dan bukan menurunkan biaya
Para praktisi di bidang SDM adalah orang-orang yang lemah lembut

Para praktisi di bidang SDM pada suatu saat harus mampu untuk bertindak tegas, berdebat, beradu argumentasi, namun tetap suportif

Belum tersosialisasinya pemahaman tentang Fungsi SDM sebagai sebuah profesi yang bersifat multi disipliner (Psikologi, Ekonomi/Manajemen/Bisnis, Hukum, Teknologi Informasi/Manajemen Informasi) di kalangan praktisi SDM. Hal ini terkadang membuat para praktisi SDM hanya memusatkan sejumlah aspek saja dari disiplin ilmu SDM tersebut. Hal ini mungkin terjadi karena para praktisi yang bersangkutan kurang memahami disiplin ilmu lainnya dibandingkan dengan disiplin ilmu yang dikuasainya.

Peran tradisional dari Fungsi SDM di masa lalu membuat banyak praktisi SDM yang mempunyai keterbatasan dalam memahami strategi bisnis dan keuangan perusahaan secara menyeluruh.

Mahalnya investasi di bidang Sistim Informasi SDM (Human Resources Information System)

Saran
Masalah-masalah yang diungkapkan di atas tentunya perlu dicarikan jalan keluarnya. Kita memahami bahwa masalah-masalah tersebut, bukanlah hal yang mudah untuk diselesaikan. Atas dasar pemikiran itulah, kita mencoba untuk mengusulkan alternatif pilihan penyelesaian masalah berikut ini, untuk menjadi bahan renungan dan pertimbangan, khususnya bagi para praktisi SDM. Kita menyadari bahwa alternatif-alternatif yang diusulkan di bawah ini, bukanlah seperti sebuah obat mujarab yang langsung dapat menyembuhkan penyakit, namun lebih sebagai sebuah proses berkesinambungan yang sebaiknya perlu mulai dilakukan.

Para praktisi SDM sudah selayaknya menanamkan kesadaran bahwa dalam setiap kebijakan yang dibuat maupun tindakan yang dilakukan, haruslah memberikan nilai tambah kepada perusahaan. Nila tambah ini tidak saja bersifat kualitatif, tetapi juga kuantitatif yang dapat diukur keberhasilannya. Untuk itulah dalam penyusunan sasaran-sasaran sebaiknya didasarkan atas kriteria-kriteria SMART (Specific, Measurable, Achieveable, Realistic, Time Frame), yang berati bahwa setiap sasaran yang dibuat harus jelas, dapat diukur, dapat dicapai, realistis, dan mempunyai ukuran waktu yang jelas. Ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam menyusun sasaran-sasaran di bidang SDM, antara lain Performance Management, Balance Scorecard, dll*.
2. Untuk meluaskan wawasannya di bidang SDM, maka para praktisi SDM diharapkan untuk dapat secara aktif terlibat dalam membangun jaringan SDM melalui asosiasi-asosiasi SDM, baik yang bersifat lintas bisnis maupun bisnis sejenis.
3. Untuk menjadi mitra bisnis strategis maka para praktisi SDM perlu lebih banyak meluangkan waktu untuk membaca buku-buku/koran/majalah atau mendengarkan ulasan-ulasan di bidang bisnis, bertukar-pikiran dengan para praktisi bisnis di dalam perusahaan maupun di luar perusahaan dan secara proaktif memberikan saran-saran kepada manajemen puncak di perusahaan tentang langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh Fungsi SDM dalam mendukung keberhasilan bisnis perusahaan.
4. Meningkatkan pengetahuan di bidang finansial dengan cara bertukar pikiran dengan para praktisi keuangan di dalam perusahaan maupun dengan menghadiri pelatihan mengenai keuangan yang dirancang khusus bagi para manajer/praktisi di luar Bidang Keuangan.
Fungsi SDM dapat memberikan pelayanan yang cepat dan tepat di bidang administrasi kepada manajemen dan para karyawan antara lain melalui penggunaan teknologi tepat guna di bidang sistim informasi, evaluasi proses kerja, implementasi pendekatan Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management), dan sebagainya.
Fungsi SDM harus dapat memberikan contoh kepada fungsi-fungsi lain di dalam perusahaan dalam hal memulai dan menerima perubahan. Fungsi SDM dapat terus menyempurnakan proses kerjanya, melalui umpan balik yang diterima dari hasil audit internal di bidang SDM, survey pendapat karyawan maupun dengan menerapkan prinsip-prinsip yang menekankan pada upaya untuk selalu melakukan perbaikan-perbaikan mutu secara berkesinambungan dalam setiap kebijakan yang dibuat atau dalam setiap tindakan yang dilakukan.
Mengingat mahalnya perangkat lunak sistim informasi SDM (HRIS), maka mengembangkan sendiri sistim informasi SDM merupakan salah satu kiat yang dapat dilakukan. Hal ini dapat dilakukan dengan bekerja sama dengan ahli-ahli yang ada di dalam perusahaan atau tenaga ahli lepas. Sistim yang dikembangkan ini harus didasarkan atas hasil survey dan analisa yang mendalam mengenai kebutuhan dan manfaat yang diperoleh dari investasi bidang HRIS ini. Kiat yang lain adalah dengan melakukan outsourcing kebutuhan HRIS kepada pihak diluar perusahaan.

Peran dari Fungsi SDM dan para praktisinya saat ini dan di masa yang akan datang harus pararel dengan kebutuhan-kebutuhan yang ada dalam perusahaan yang senantiasa berubah dengan cepat sejalan dengan terjadinya globalisasi. Dalam atmosfir perusahaan seperti ini Fungsi SDM dan para praktisinya dituntut untuk mulai melakukan perubahan yang mendasar dalam memainkan perannya di perusahaan. Dengan perubahan ini maka Fungsi SDM dan para praktisinya dapat memberikan nilai tambah kepada bisnis perusahaan. Mereka harus mampu untuk menjadi mitra strategis yang handal bagi pimpinan puncak perusahaan, ahli di bidang administrasi, pendukung dan pendorong kemajuan karyawan, dan agen perubahan yang selalu siap untuk menjadi katalisator terhadap perubahan yang digulirkan oleh perusahaan. Peran tradisional sebagai pelaksana administrasi dan penjaga peraturan sudah selayaknya diperbaharui dan diperluas.
Untuk mewujudkan peran seperti yang diharapkan di atas, tentunya memerlukan kerja keras dan tekad yang kuat dari para praktisi SDM untuk secara terus-menerus meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya di bidang-bidang yang selama ini mungkin kurang mendapatkan perhatian, seperti bisnis dan finansial, maupun di bidang-bidang yang selama ini menjadi bagian dari Fungsi SDM (Rekrutmen dan Seleksi, Pelatihan, Administrasi Personalia, Hubungan Industrial, dsbnya) . Investasi di bidang sistim informasi SDM juga layak untuk dipertimbangkan, sebagai salah cara yang dapat dilakukan untuk membuat kinerja dari Fungsi SDM menjadi lebih efisien dan efektif. Semoga bermanfaat………***** Swara SKJM HS 5258


Artikel ini dikutip dari berbagai sumber

KEPEMIMPINAN SEJATI

KEPEMIMPINAN SEJATI
Kepemimpinan sesungguhnya tidak ditentukan oleh pangkat atau pun jabatan seseorang. Kepemimpinan adalah sesuatu yang muncul dari dalam dan merupakan buah dari keputusan seseorang untuk mau menjadi pemimpin, baik bagi dirinya sendiri, bagi keluarganya, bagi lingkungan pekerjaannya, maupun bagi lingkungan sosial dan bahkan bagi negerinya. Hal ini dikatakan dengan lugas oleh seorang jenderal dari Angkatan Udara Amerika Serikat:”I don’t think you have to be wearing stars on your shoulders or a title to be a leader. Anybody who wants to raise his hand can be a leader any time.”—General Ronal Fogleman, US Air Force— Kepemimpinan adalah sebuah keputusan dan lebih merupakan hasil dari proses perubahan karakter atau transformasi internal dalam diri seseorang. Kepemimpinan bukanlah jabatan atau gelar, melainkan sebuah kelahiran dari proses panjang perubahan dalam diri seseorang. Ketika seseorang menemukan visi dan misi hidupnya, ketika terjadi kedamaian dalam diri (inner peace) dan membentuk bangunan karakter yang kokoh, ketika setiap ucapan dan tindakannya mulai memberikan pengaruh kepada lingkungannya, dan ketika keberadaannya mendorong perubahan dalam organisasinya, pada saat itulah seseorang lahir menjadi pemimpin sejati. Jadi pemimpin bukan sekedar gelar atau jabatan yang diberikan dari luar melainkan sesuatu yang tumbuh dan berkembang dari dalam diri seseorang. Kepemimpinan lahir dari proses internal (leadership from the inside out). Ketika pada suatu hari filsuf besar Cina, Lao Tsu, ditanya oleh muridnya tentang siapakah pemimpin yang sejati, maka dia menjawab:As for the best leaders, the people do not notice their existence. The next best, the people honour And praise. The next, the people fear, And the next the people hate.When the best leader’s work is done, The people say, ‘we did it ourselves’. Justru seringkali seorang pemimpin sejati tidak diketahui keberadaannya oleh mereka yang dipimpinnya. Bahkan ketika misi atau tugas terselesaikan, maka seluruh anggota tim akan mengatakan bahwa merekalah yang melakukannya sendiri. Pemimpin sejati adalah seorang pemberi semangat (encourager), motivator, inspirator, dan maximizer. Konsep pemikiran seperti ini adalah sesuatu yang baru dan mungkin tidak bisa diterima oleh para pemimpin konvensional yang justru mengharapkan penghormatan dan pujian (honor and praise) dari mereka yang dipimpinnya. Semakin dipuji bahkan dikultuskan, semakin tinggi hati dan lupa dirilah seorang pemimpin. Justru kepemimpinan sejati adalah kepemimpinan yang didasarkan pada kerendahan hati (humble). Pelajaran mengenai kerendahan hati dan kepemimpinan sejati dapat kita peroleh dari kisah hidup Nelson Mandela. Seorang pemimpin besar Afrika Selatan, yang membawa bangsanya dari negara yang rasialis, menjadi negara yang demokratis dan merdeka. Saya menyaksikan sendiri dalam sebuah acara talk show TV yang dipandu oleh presenter terkenal Oprah Winfrey, bagaimana Nelson Mandela menceritakan bahwa selama penderitaan 27 tahun dalam penjara pemerintah Apartheid, justru melahirkan perubahan dalam dirinya. Dia mengalami perubahan karakter dan memperoleh kedamaian dalam dirinya. Sehingga dia menjadi manusia yang rendah hati dan mau memaafkan mereka yang telah membuatnya menderita selama bertahun-tahun.Seperti yang dikatakan oleh penulis buku terkenal, Kenneth Blanchard, bahwa kepemimpinan dimulai dari dalam hati dan keluar untuk melayani mereka yang dipimpinnya. Perubahan karakter adalah segala-galanya bagi seorang pemimpin sejati. Tanpa perubahan dari dalam, tanpa kedamaian diri, tanpa kerendahan hati, tanpa adanya integritas yang kokoh, daya tahan menghadapi kesulitan dan tantangan, dan visi serta misi yang jelas, seseorang tidak akan pernah menjadi pemimpin sejati
Karakter Seorang Pemimpin Sejati
Setiap kita memiliki kapasitas untuk menjadi pemimpin. Dalam tulisan ini saya memperkenalkan sebuah jenis kepemimpinan yang saya sebut dengan Q Leader. Kepemimpinan Q dalam hal ini memiliki empat makna. Pertama, Q berarti kecerdasan atau intelligence (seperti dalam IQ – Kecerdasan Intelektual, EQ – Kecerdasan Emosional, dan SQ – Kecerdasan Spiritual). Q Leader berarti seorang pemimpin yang memiliki kecerdasan IQ—EQ—SQ yang cukup tinggi. Kedua, Q Leader berarti kepemimpinan yang memiliki quality, baik dari aspek visioner maupun aspek manajerial. Ketiga, Q Leader berarti seorang pemimpin yang memiliki qi (dibaca ‘chi’ – bahasa Mandarin yang berarti energi kehidupan). Makna Q keempat adalah seperti yang dipopulerkan oleh KH Abdullah Gymnastiar sebagai qolbu atau inner self. Seorang pemimpin sejati adalah seseorang yang sungguh-sungguh mengenali dirinya (qolbu-nya) dan dapat mengelola dan mengendalikannya (self management atau qolbu management).Menjadi seorang pemimpin Q berarti menjadi seorang pemimpin yang selalu belajar dan bertumbuh senantiasa untuk mencapai tingkat atau kadar Q (intelligence – quality – qi — qolbu) yang lebih tinggi dalam upaya pencapaian misi dan tujuan organisasi maupun pencapaian makna kehidupan setiap pribadi seorang pemimpin. Untuk menutup tulisan ini, saya merangkum kepemimpinan Q dalam tiga aspek penting dan saya singkat menjadi 3C , yaitu:1. Perubahan karakter dari dalam diri (character change)2. Visi yang jelas (clear vision)3. Kemampuan atau kompetensi yang tinggi (competence) Ketiga hal tersebut dilandasi oleh suatu sikap disiplin yang tinggi untuk senantiasa bertumbuh, belajar dan berkembang baik secara internal (pengembangan kemampuan intrapersonal, kemampuan teknis, pengetahuan, dll) maupun dalam hubungannya dengan orang lain (pengembangan kemampuan interpersonal dan metoda kepemimpinan). Seperti yang dikatakan oleh John Maxwell: ”The only way that I can keep leading is to keep growing. The day I stop growing, somebody else takes the leadership button. That is the way it always it.” Satu-satunya cara agar saya tetap menjadi pemimpin adalah saya harus senantiasa bertumbuh. Ketika saya berhenti bertumbuh, orang lain akan mengambil alih kepemimpinan tersebut. ***** SWARA SKJM HS 5258

kepemimpinan profesional jasa marga dengan etika dan hukum di era good corporate governance

ARTIKEL

KEPEMIMPINAN PROFESIONAL JASA MARGA
DENGAN
ETIKA DAN HUKUM
DI
ERA GOOD CORPORATE GOVERNANCE

Etika dan Hukum

Kepemimpinan profesional adalah kepemimpinan yang mempunyai etika di dalamnya. Ketika sebuah keputusan diambil, leadership judgement tidak berhenti di dalam kompetensi kepengambilan keputusan, namun juga di dalam tingkat kebenaran etis dari sebuah keputusan.
Etika adalah pembimbing moralitas yang mengacu pada penghargaan yang tinggi terhadap kemanusiaan. Etika meletakkan nilai kehidupan dan kesinambungan hidup sebagai komitmen keberadaannya. Etika menjaga nilai keharmonisan dalam hidup, baik itu manusia maupun organisasi, karena etika membangun dan menguatkan nilai fairness (keadilan), khususnya dalam berkompetisi dan beraliansi. Bahkan, etika membangun dan menguatkan nilai kesantunan atas dasar nilai-nilai yang hidup di tengah-tengah masyarakat luas. Etika bersifat imperatif atau menjadi kewajiban bagi setiap anggota komunitas di mana etika tersebut dibuat. Tujuan keberadaan etika adalah membangun manusia yang seutuhnya dalam koridor keberadaan umat manusia.
Bagaiman dengan hukum ? Jika etika adalah nilai (value), maka hukum adalah praktik dari value tadi. Bedanya, di dalam hukum, kita berhadapan dengan pihak lain tidak dalam posisi mencari kebaikan saja, namun lebih penting kebenaran. Di sini kita menemukan kebenaran lebih bersifat subjektif daripada kebaikan. Artinya, meskipun bagi kita tidak benar, namun jika pihak lain membenarkan perbuatannya, ia adalah kebenaran bagi pihak lain.
Apakah pentingnya memahami hukum bagi pemimpin profesional Jasa Marga di era Good Corporate Governance ? Bukankah ia memiliki manajer hukum di perusahaan kita ? Bukankah ia dapat menyewa penasihat hukum ? Hal demikian benar adanya, namun jika ingin memilih menjadi pemimpin yang profesional, alangkah baiknya mempunyai salah satu kriteria dari organisasi yang profesional yaitu organisasi tersebut dipimpin oleh pemimpin profesional yang memahami praktik sampai ke detail, meski tidak usah melakukan sampai ke detail. Kepemimpinan profesional perlu memahami segi-segi legal dalam kegiatan kerja sehari-hari dalam melakukan tugas kepemimpinanya.
Apakah kaitannya antara etika dan hukum dalam kepemimpinan profesional di era Good Corporate Governance ? Etika dalam perusahaan kita bukan lagi semata-mata masalah moralitas, tetapi lebih menjadi masalah hukum. Hukum menentukan perbuatan yang dapat atau tidak dapat dilakukan oleh pelaku bisnis, sedangkan etika menuntut lebih dari itu. Hukum pada dasarnya mendasarkan diri pada etika. Prinsip etika yang diangkat menjadi norma hukum adalah asas itikad baik. Artinya asas itikad baik adalah biasanya digunakan untuk menggambarkan pikiran yang jernih, bebas dari keinginan menekan pihak lain, dan mengacu pada saling percaya pada tugas atau kewajiban masing-masing pihak. Asas ini tidak ada perumusannya dalam hukum positif, melainkan timbul dari ilmu hukum dan yurisprudensi. Asas ini merupakan asas yang paling mendasar dari segala perbuatan hukum. Hukum melindungi pihak yang beritikad baik dan tidak melindungi pihak yang tidak beritikad baik. Kepemimpinan Profesional yang beretika dapat dipastikan akan menolak persetujuan hukum yang tidak beritikad baik, termasuk jika klausul itu berasal dari pihaknya.
Tugas kepemimpinan profesional Jasa Marga di era globalisasi juga berkenaan langsung dengan hukum. UU No 19/2003 tentang BUMN, UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, dan UU No. 1/1995 tentang Perseroan Terbatas dan UU No.8/1995 tentang Pasar Modal.
Namun untuk memberikan sesuatu yang fairness dalam penglolaan Jasa Marga di era Good Corporate Governance, perlu adanya revisi dari UU yang terkait dengan kekayaan negara karena pengertian tentang aset dan kekayaan negara dalam satu UU berbeda dengan UU lainnya. Pada saat ini terjadi penilaian yang kurang adil terhadap aset-aset negara yang dikelola oleh Jasa Marga. Kalau memang mau adil, apabila aset Jasa Marga dianggap sebagai aset negara maka hutang Jasa Marga juga harus menjadi hutang negara.
Dengan tanggung jawab ini, otomatis seorang pemimpin Jasa Marga yang profesional harus benar-benar memahami hukum secara mendalam. Semakin besar suatu perusahaan, semakin besar masalah hukum, dan semakin harus pula pemimpin Jasa Marga yang profesional di era Good Corporate Governance untuk belajar tentang hukum.

Visi, Nilai dan Berani Mengambil Keputusan

Kepemimpinan Jasa Marga yang unggul harus memiliki tiga serangkaian kepemimpinan, yaitu Visi, Nilai, dan Berani mengambil keputusan. Sebagai pemimpin, tuntutan pertama yang harus dimilikinya adalah ia harus punya visi ke mana Jasa Marga akan dibawa - dan selanjutnya bagaimana strategi serta implementasinya.
Apakah visi itu ? Visi mencerminkan kedalaman dan keluasan pemahaman yang memungkinkan untuk mendeteksi dan membentangkan pola-pola dan kecenderungan-kecenderungan di masa depan yang membimbing pemimpin untuk membawa Jasa Marga memasuki masa depan. Tanpa visi, maka manusia akan lenyap. Jika Jasa Marga dimasa depan mempunyai pemimpin yang tidak mempunyai visi maka Jasa Marga tinggal menunggu waktu untuk lenyap.
Apakah nilai itu ? Nilai dari seorang pemimpin akan menentukan apakah ia dapat menjadi pemimpin yang efektif atau tidak. Sesungguhnya ada dua jenis nilai pemimpin, yaitu pemimpin yang berorientasi pada diri sendiri dan pemimpin yang berorientasi pada Jasa Marga. Pemimpin yang naik menjadi pemimpin karena hubungan kekerabatan, kolusi, suap, atau melalui proses yang “tidak wajar” cenderung menjadi pemimpin yang menguntungkan diri sendiri daripada perusahaan karena jabatan itu “dibeli” dan tidak “diamanahkan” kepadanya. Pemimpin yang naik melalui proses yang wajar - seleksi, kompetisi, valuasi, fit and proper - cenderung menjadi pemimpin yang lebih berorientasi pada perusahaan.
Keberanian mengambil keputusan adalah inti dari kepemimpinan. Tugas pemimpin adalah meminimalisir kerugian dari kesalahan dalam mengambil keputusan dan memaksimalisir keuntungan dalam mengambil keputusan. Setiap keputusan pasti mengandung kesalahan di dalam dirinya. Hanya Tuhan Yang Maha Kuasa yang tidak pernah salah dalam membuat keputusan. Manusia - selama ia Manusia - pastilah mempunyai sejumlah kelemahan. Pemimpin adalah Manusia, dan harus sadar bahwa apa yang diputuskan ada unsur benar dan salahnya. Sebenarnya, tantangan kepemimpinan bagi manajemen Jasa Marga di masa depan adalah mentransformasikan diri dari kepemimpinan yang birokratis menjadi kepemimpinan yang korporatis.
Kepemimpinan yang birokratis adalah kepemimpinan yang menjadikan aturan atau prosedur sebagai tujuan yang harus dicapai. Kepemimpinan korporatis adalah kepemimpinan yang berpola kewirausahaan, semangat untuk mencari peluang dan menggunakan aturan serta prosedur sebagai wahana, bukan tujuan. Proses transformasi kepemimpinan ini tidak semata-mata didasarkan pada adanya proses fit and proper, melainkan pada proses pembelajaran untuk mengubah dari seorang pemimpin yang ada menjadi pemimpin profesional, yaitu pemimpin yang mengetahui di mana ia memimpin dan memimpin organisasi itu sesuai dengan karakter organisasionalnya. Jadi, bagi pemimpin Jasa Marga masa depan, ia harus memahami bahwa organisasi yang dipimpinnya adalah sebuah korporasi dan bukan birokrasi. Oleh karena itu, jiwa kewirausahaan menjadi nilai yang “wajib” di dalam profesi kepemimpinannya. Kepemimpinan korporasi is a must, karena pada akhirnya leader matters. Pemimpinlah yang make things happen. Tantangan bagi SKJM dan Manajemen adalah menemukan pemimpin-pemimpin korporasi yang mampu membawa Jasa Marga ke wahana korporasi kelas dunia. # Swara SKJM HS 5258
ARTIKEL INI DIKUTIP DARI BERBAGAI SUMBER