Rabu, 11 Juli 2007

MENGENAL PRINSIP-PRINSIP GOOD CORPORATE GOVERNANCE

Setiap perusahaan memiliki visi dan misi dari keberadaannya. Visi dan misi tersebut merupakan pernyataan tertulis tentang tujuan-tujuan kegiatan usaha yang akan dilakukannya. Tentunya kegiatan terencana dan terprogram ini dapat tercapai dengan keberadaan sistem tatakelola perusahaan yang baik. Disamping itu perlu terbentuk kerjasama tim yang baik dengan berbagai pihak, terutama dari seluruh karyawan dan top manajemen.
Sistem tatakelola organisasi perusahaan yang baik ini menuntut dibangunnya dan dijalankannya prinsip-prinsip tata kelola perusahaan (GCG) dalam proses manajerial perusahaan. Dengan mengenal prinsip-prinsip yang berlaku secara universal ini diharapkan perusahaan dapat hidup secara berkelanjutan dan memberikan manfaat bagi para stakeholdernya.

Apakah itu Prinsip-Prinsip GCG
Sejak diperkenalkan oleh OECD, prinsip-prinsip corporate governance berikut ini telah dijadikan acuan oleh negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Prinsip-prinsip tersebut disusun seuniversal mungkin sehingga dapat berlaku bagi semua negara atau perusahaan dan diselaraskan dengan sistem hukum, aturan atau tata nilai yang berlaku di negara masing-masing. Prinsip-prinsip tatakelola perusahaan yang baik ini antara lain

a). Akuntabilitas (accountability)
Prinsip ini memuat kewenangan-kewenangan yang harus dimiliki oleh dewan komisaris dan direksi beserta kewajiban-kewajibannya kepada pemegang saham dan stakeholders lainnya. Dewan direksi bertanggung jawab atas keberhasilan pengelolaan perusahaan dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh pemegang saham. Komisaris bertanggung jawab atas keberhasilan pengawasan dan wajib memberikan nasehat kepada direksi atas pengelolaan perusahaan sehingga tujuan perusahaan dapat tercapai. Pemegang saham bertanggung jawab atas keberhasilan pembinaan dalam rangka pengelolaan perusahaan.

b) Pertanggungan-jawab ( responsibility)
Prinsip ini menuntut perusahaan maupun pimpinan dan manajer perusahaan melakukan kegiatannya secara bertanggung jawab. Sebagai pengelola perusahaan hendaknya dihindari segala biaya transaksi yang berpotensi merugikan pihak ketiga maupun pihak lain di luar ketentuan yang telah disepakati, seperti tersirat pada undang-undang, regulasi, kontrak maupun pedoman operasional bisnis perusahaan.

(c) Keterbukaan (transparancy)
Dalam prinsip ini, informasi harus diungkapkan secara tepat waktu dan akurat. Informasi yang diungkapkan antara lain keadaan keuangan, kinerja keuangan, kepemilikan dan pengelolaan perusahaan. Audit yang dilakukan atas informasi dilakukan secara independen. Keterbukaan dilakukan agar pemegang saham dan orang lain mengetahui keadaan perusahaan sehingga nilai pemegang saham dapat ditingkatkan.

(c) Kewajaran (fairness)
Seluruh pemangku kepentingan harus memiliki kesempatan untuk mendapatkan perlakuan yang adil dari perusahaan. Pemberlakuan prinsip ini di perusahaan akan melarang praktek-praktek tercela yang dilakukan oleh orang dalam yang merugikan pihak lain. Setiap anggota direksi harus melakukan keterbukaan jika menemukan transaksi-transaksi yang mengandung benturan kepentingan.

(d) Kemandirian (independency)
Prinsip ini menuntut para pengelola perusahaan agar dapat bertindak secara mandiri sesuai peran dan fungsi yang dimilikinya tanpa ada tekanan-tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan sistem operasional perusahaan yang berlaku. Tersirat dengan prinsip ini bahwa pengelola perusahaan harus tetap memberikan pengakuan terhadap hak-hak stakeholders yang ditentukan dalam undang-undang maupun peraturan perusahaan.

B. Bagaimana Melaksanakan Tatakelola Perusahaan Sesuai GCG
Dalam prakteknya prinsip-prinsip tatakelola perusahaan yang baik ini perlu dibangun dan dikembangkan secara bertahap. Perusahaan harus membangun sistem dan pedoman tata kelola perusahaan yang akan dikembangkannya. Demikian juga dengan para karyawan, mereka perlu memahami dan diberikan bekal pengetahuan tentang prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik yang akan dijalankan perusahaan.
Untuk memudahkan memberikan gambaran bagaimana prinsip-prinsip GCG tersebut akan dibangun, dipahami dan dilaksanakan, berikut ini diberikan beberapa acuan praktis yang perlu dikembangkan lebih lanjut di masing-masing perusahaan.
Acuan ini diuraikan mengikuti urutan butir-butir prinsip GCG yang telah dibahas di atas.

Accountability:
1. Pimpinan, manajer dan karyawan perusahaan telah mengetahui visi, misi, tujuan dan target-target operasional di perusahaan
2. Pimpinan. Manajer, karyawan perusahaan telah mengetahui dan memahami peran, tugas dan tanggung jawabnya masing-masing
3. Uraian tugas di setiap unit usaha atau unit organisasi telah ditetapkan dengan benar dan sesuai dengan visi, misi dan tujuan perusahaan
4. Proses dalam pengambilan keputusaan telah mengacu dan mentaati sistem dan prosedur yang telah dibangun.
5. Proses cek dan balance telah dilakukan secara menyeluruh di setiap unit organisasi.
6. Sistem penilaian kinerja operasional, organisasi dan kinerja perseorangan telah sepakat ditetapkan, diterapkan dan dievaluasi dengan baik
7. Pertanggungan jawab kinerja pimpinan Dewan Komisaris dan Dewan Direksi (BOC, BOD) perusahaan secara rutin seyogyanya dapat dibangun dan dilaporkan.
8. Hasil pekerjaan telah didokumentasikan, dipelihara dan dijaga dengan baik

Responsibility:
1. Pimpinan, manajer dan karyawan perusahaan telah mengetahui dan memahami seluruh peraturan perusahaan yang berlaku.
2. Pimpinan. Manajer dan karyawan perusahaan telah menerapkan sistem tata nilai dan budaya perusahaan yang dianut perusahaan.
3. Proses dalam pengambilan keputusan di perusahaan senantiasa mengacu dan mentaati sistem dan prosedur yang telah dibangun.
4. Manajer dan karyawan perusahaan telah bekerja sesuai dengan standar operasional, prosedur maupun ketentuan yang berlaku di perusahaan.
5. Unit kerja organisasi perusahaan telah berupaya menghindari pengelolaan perusahaan yang berpotensi merugikan perusahaan dan stakeholder.
6. Proses pendelegasian kewenangan telah dijalankan dengan cukup dan baik demi terselenggaranya pekerjaan.
7. Manajer dan unit organisasi telah melakukan pertanggungan jawab hasil kerja secara teratur.

Transparancy dan Disclosure:
1. Bahwa berbagai pemegang kepentingan (manajemen, karyawan, pelanggan) dapat melihat dan memahami proses dalam pengambilan keputusan manajerial di perusahaan.
2. Pemegang saham berhak memperoleh informasi keuangan perusahaan yang relevan secara berkala dan teratur.
3. Proses pengumpulan dan pelaporan informasi operasional perusahaan telah dilakukan oleh unit organisasi dan karyawan secara terbuka dan obyektif, dengan tetapa menjaga kerahasiaan nasabah/pelanggan
4. Pimpinan, manajer dan karyawan perusahaan telah melakukan keterbukaan dalam proses pengambilan keputusan, sistem pengawasan dan standardisasi yang dilakukan.
5. Informasi tentang prosedur dan kebijakan di unit kerja maupun unit organisasi telah dipublikasikan secara tertulis dan dapat diakses oleh semua pihak di dalam dan oleh unit-unit terkait di luar perusahaan.
6. Eksternal auditor, komite audit, internal auditor memiliki akses atas informasi dengan syarat kerahasiaan tetap dijaga.
7. Menyampaikan laporan keuangan audited dan kinerja usaha ke publik secara rutin, maupun laporan corporate governance pada instansi yang berwenang.

Fairness:
1. Pengelola dan karyawan perusahaan akan memperhatikan kepentingan seluruh stakeholder secara wajar menurut ketentuan yang berlaku umum.
2. Perlakuan adil kepada seluruh pihak pemegang kepentingan (nasabah, pelanggan, pemilik) dalam memberikan pelayanan dan informasi.
3. Manajer, pimpinan unit organisasi dan karyawan dapat membedakan kepentingan perusahaan dengan kepentingan organisasi.
4. Perlakuan, pengembangan teamwork, hubungan kerja dan pembinaan pada para karyawan akan dilakukan dengan memperhatikan hak dan kewajibannya secara adil dan wajar.

Independency:
1. Keputusan pimpinan perusahaan hendaknya lepas dari kepentingan berbagai pihak yang merugikan perusahaan.
2. Proses pengambilan keputusan di perusahaan telah dilakukan secara obyektif untuk kepentingan perusahaan
[Proses pengembangan, pengadaan pelatihan maupun evaluasi penilaian dalam pelaksanaan GCG di perusahaan seyogyanya dilakukan oleh pihak konsultan, sehingga akan memperoleh hasil yang efektif dan obyektif. ***** Swara SKJM HS 5258
UPAYA SKJM MEMBANGUN BUDAYA ORGANISASI
UNTUK
MENDUKUNG PRIVATISASI JASA MARGA


PENDAHULUAN
Mencermati Pidato Ketua Umum DPP SKJM Ir Setiyono pada ULTAH SKJM Ke-8 di Hotel Bidakara Jakarta yang menegaskan bahwa dalam waktu dekat ini Perusahaan akan melakukan penjualan sebagian sahamnya kepada PUBLIK yang pada akhirnya mejadikan Jasa Marga menjadi Perusahaan yang terbuka dimana dituntut kinerja karyawan yang lebih professional dan mengharuskan Organisasi SKJM membangun Good Corporate Culture (GCC) secara konsisten disamping penerapan Good Corporate Governance (GCG) di Perusahaan.
Lebih jauh Ketua DPP SKJM menekankan bahwa Acara Ulang Tahun ini mempunyai makna sebagai sarana bagi kita semua untuk melakukan telaah secara kritis terhadap perjalanan organisasi dan menjadikannya momentum bagi kita semua untuk menata organisasi ini menjadi lebih baik, serta meningkatkan pemahaman kita bersama terhadap makna dari hubungan kerja yang sinergi.
Dari sisi Organisasi, kita perlu meningkatkan lagi kinerja Serikat agar kita dapat lebih mengupayakan kinerja organisasi yang saling mendukung secara utuh dan tidak saling melemahkan. Hal ini dapat kita capai dengan meningkatkan pemahaman kita semua terhadap fungsi dan peran dari tiap-tiap bagian dari Organisasi sehingga terwujud tatanan kerja yang lebih teratur dan terarah dalam semangat peningkatan kinerja yang seiring dan sejalan.
Untuk menindak lanjuti Pidato Ketua DPP SKJM yang bermakna sangat penting dalam momentum bersejarah bagi Jasa Marga menuju Privatisasi maka SWARA SKJM pada edisi kali ini menampilkan artikel yang berjudul “Upaya SKJM membangun Good Corporate Culture untuk mendukung Privatisasi JASA MARGA”.
Tujuan dari artikel ini untuk memberikan urun rembug dan cakrawala pemikiran kita bersama dalam mengantisipasi Jasa Marga menjadi Perusahaan Publik.
Kita perlu meningkatkan pemahaman terhadap fungsi dan peran Jasa Marga sebagai perusahaan terbuka agar kita dapat menyiapkan langkah-langkah antisipasi terhadap perubahan-perubahan yang akan terjadi. Semoga Artikel ini bermanfaat bagi kita semua

PENGERTIAN GOOD CORPORATE CULTURE (GCC)

Good Corporate Culture (GCC) atau yang lebih populer dikenal sebagai Budaya korporasi/budaya perusahaan yaitu berkenaan dengan pengembangan Jasa Marga yang “berbudaya”, dan kemudian “berbudaya kuat”.
Untuk menjadi perusahaan kelas dunia, tidak cukup hanya dengan berbekal manajemen profesional, melainkan budaya yang unggul. Banyak contoh perusahaan kelas dunia yang menunjukkan keunggulannya karena di samping kepiawaian manajemennya juga menjaga budaya perusahaannya secara konsisten. Dalam budaya korporat yang kuat, hampir semua manajer menganut seperangkat nilai-nilai dan metode menjalankan bisnis yang relatif konsisten.
Atas dasar keadaan tersebut, para karyawan dapat mengadopsi nilai-nilai ini dengan sangat cepat. Apabila kesadaran budaya telah sangat mendalam, dapat terjadi seorang eksekutif akan dikoreksi oleh bawahannya, selain juga oleh atasannya, jika dia melanggar norma-norma organisasi.
Perusahaan-perusahaan dengan budaya yang kuat biasanya dinilai dan dirasakan oleh pihak lain yang telah memiliki gaya tertentu, misalnya “cara melakukan segala sesuatu” pada Procter & Gamble atau Johnson & Johnson. Mereka sering menjadikan nilai-nilai yang dianut bersama itu semacam kredo atau pernyataan misi dan secara serius mendorong para manajer mereka untuk mengikuti pernyataan tersebut. Selanjutnya, gaya dan nilai-nilai suatu budaya yang kuat cenderung tidak banyak berubah walaupun ada pergantian CEO kaerena akar-akarnya sudah mendalam.
Good Corporate Culture (GCC) merupakan sesuatu yang berbanding lurus dengan Good Organization Culture SKJM maka jika kita membangun Good Corporate Culture (GCC) di Jasa Marga berarti kita juga harus membangun Good Organization Culture SKJM.
Keberhasilan membangun Good Organization Culture SKJM (Budaya Organisasi SKJM) merupakan kunci keberhasilan Jasa Marga untuk survive di era Privatisasi dan penerapan Good Corporate Governance (GCG) serta Clean Governance pada semua lini di Perusahaan kita

I. MEMBANGUN BUDAYA ORGANISASI SKJM
(Good Organization Culture SKJM)

Setiap organisasi, sebagai lazimnya institusi, mempunyai nilai budaya yang baik di dalamnya. Apabila nilai-nilai budaya ini dibiarkan tenggelam, dan dikalahkan oleh nilai-nilai yang negatif maka proses transformasi sebesar apa pun akan mengalami kendala yang sangat besar.
SKJM memerlukan budaya organisasi (Organization Culture) untuk menjadikannya kuat dalam menghadapi perubahan dan mendukung setiap upaya transformasional.
Pada saat ini SKJM belum mempunyai budaya organisasi melainkan hanya peraturan Perjanjian Kerja Bersama antara SKJM dan Manajemen Perusahaan yang terdiri dari penggabungan Visi – Misi – Strategi organisasi perusahaan yang berpola Top-Down, dan kemudian dijadikan sebagai aturan main bersama yang bersifat formal.
Pengertian dari membangun budaya organisasi SKJM adalah upaya menggabungkan nilai-nilai kehidupan bersama antara seluruh anggota SKJM kemudian disemaikan ke dalam setiap sel organisasi perusahaan yang harus muncul dalam bentuk perilaku formal dan informal setiap anggotanya.
Budaya Organisasi SKJM hendaknya secara konsisten mendorong seluruh anggota SKJM mengimplementasikan nilai-nilai :
1. Profesionalisme
2. Spirit
3. Proaktif
4. Team Work

1. Profesionalisme
Profesionalisme adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan oleh orang yang memenuhi syarat sebagai berikut :
Science Competence : mengharuskan orang untuk menguasai ilmu yang akan menjadi titik berpijak kegiatannya.
Technical Competence : menuntut orang untuk mampu melaksanakan ilmu yang dikuasai. Experience Competence : menuntut orang untuk memecahkan problema yang dihadapi karena pengalamannya yang luas.
Dedicatif dan Consistent : Kemampuan orang dalam melaksanakan pekerjaannya sampai dengan berhasil secara tekun, konsisten dan ikhlas. Independence : suatu sikap untuk bertindak secara obyektif disertai Integritas yang tinggi.

2. Spirit
Spirit atau semangat adalah perilaku yang melekat pada setiap tindakan yang akan diambil setiap anggota SKJM. Tanpa adanya semangat setiap upaya untuk membangun budaya organisasi tak akan berhasil.

3. Proaktif
Bersikap proaktif adalah lebih dari sekedar mengambil inisiatif. Bersikap proaktif artinya bertanggung jawab atas perilaku kita sendiri (di masa lalu, di masa sekarang, maupun di masa yang akan datang), dan membuat pilihan-pilihan berdasarkan prinsip-prinsip serta nilai-nilai ketimbang pada suasana hati atau keadaan.
Anggota SKJM yang proaktif adalah pelaku-pelaku perubahan dan memilih untuk tidak menjadi korban, untuk tidak bersikap reaktif, untuk tidak menyalahkan orang lain. Anggota SKJM melakukan ini dengan mengembangkan serta menggunakan keempat karunia manusia yang unik – kesadaran diri, hati nurani, daya imajinasi, dan kehendak bebas - dan menggunakan pendekatan dari dalam ke luar untuk menciptakan perubahan. Anggota SKJM bertekad menjadi daya pendorong kreatif dalam hidup mereka sendiri, yang adalah keputusan yang paling mendasar yang bisa diambil setiap orang.
SKJM mengembangkan budaya proaktif kepada anggotanya secara konsisten dengan menggunakan kaidah-kaidah yang berakronim SMILE, yang terdiridari :
SATISFY,
MORALE,
INTEGRITY,
LEADERSHIP,
ENTREPRENEURSHIP
.
Hal ini adalah penjabaran dari Visi ketua DPP SKJM Ir.Setiyono, “Senyum (smile) pengurus adalah senyum (smile) anggota.
Akumulasi dari budaya organisasi di SKJM diharapkan dapat menghasilkan sebuah lingkungan publik yang berbudaya. Pada saat ini Jasa Marga memiliki kurang lebih 5,823 anggota (Annual Report 2004), artinya ada potensi bagi SKJM untuk membangun budaya pada 5,823 warga Indonesia. Jumlah yang cukup signifikan untuk menciptakan critical mass dalam membangun Indonesia yang berbudaya dan mengelola total asset perusahaan untuk tumbuh dan berkembang sebesar Rp. 7,969,740,000,000,00 (Annual Report 2004) bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan bangsa Indonesia.

5. Team Work
Team Work atau kerjasama adalah suatu bentuk komitmen bersama antar anggota SKJM dalam membangun budaya organisasinya. Bentuk kerjasama yang handal adalah dengan tercerminnya perilaku transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban dan kewajaran dalam setiap kebijakan yang diputuskan oleh organisasi SKJM.

II. KEKUATAN BUDAYA ORGANISASI SKJM

Organisasi SKJM harus memiliki budaya sendiri yang sifatnya spesifik karena pada umumnya setiap organisasi mempunyai kepribadian yang khas. Budaya dapat sangat stabil sepanjang waktu, tetapi budaya juga tidak pernah statis.
Perubahan peran Jasa Marga menjadi operator murni jalan tol yang diamanatkan UU No: 38/2004, mendorong SKJM untuk mengevaluasi kembali beberapa nilai-nilai atau perangkat praktis. Tantangan-tantangan baru dapat mengakibatkan SKJM menciptakan cara-cara baru untuk melakukan segala sesuatu agar dapat bertahan dan unggul dalam persaingan yang makin kompetitif.
Budaya organisasi adalah perekat bagi setiap anggota organisasi. Tanpa keberadaan budaya organisasi, maka SKJM akan mengalami proses pertumbuhan dan pemekaran tetapi tanpa diimbangi oleh integrasi dan reintegrasi. Oleh karena itu, tantangan dari setiap anggota SKJM adalah pertama memahami arti penting keberadaan budaya organisasi; kedua, membangun budaya organisasi dengan metode yang dapat diterima secara keilmuan, kemanusiaan dan konteks keorganisasian; dan ketiga, senantiasa memelihara dan memperkuat budaya SKJM.
Logika tentang cara kekuatan budaya berhubungan dengan kinerja meliputi tiga gagasan (Kotler dan Hessket, 1992), yaitu : Pertama, dalam sebuah organisasi dengan budaya yang kuat, anggotanya cenderung berbaris mengikuti penabuh genderang yang sama. Kedua, budaya yang kuat sering dikatakan membantu kinerja bisnis karena menciptakan suatu tingkatan yang luar biasa dalam diri para anggotanya. Ketiga, budaya yang kuat membantu kinerja karena memberikan struktur dan kontrol yang dibutuhkan tanpa harus bersandar pada birokrasi formal yang kaku dan yang dapat menekan tumbuhnya motivasi dan inovasi.
Tumbuhnya budaya yang kuat dalam SKJM ditandai dengan :Pertama, perilaku para anggotanya dibatasi oleh kesepakatan bersama dan bukan karena perintah atau karena ketentuan-ketentuan formal. Kedua, dampak budaya yang kuat terhadap perilaku para anggotanya berdampak besar ditandai dengan menurunnya keinginan anggotanya yang pindah berkarya di organisasi lain. Ketiga, budaya yang kuat berarti akan makin banyak anggota organisasi yang menerima keterikatannya pada norma-norma dan sistem nilai-nilai organisasional yang berlaku, dan makin meningkatnya komitmen anggotanya terhadap keberhasilan penerapan norma-norma dan sistem nilai tersebut.

III. FUNGSI BUDAYA ORGANISASI SKJM

Budaya organisasi SKJM yang efektif tercermin pada kepercayaan, keterbukaan komunikasi, kepemimpinan yang mendapat masukan (considerate) dan didukung oleh bawahan (supportive), pemecahan masalah oleh kelompok, kemandirian kerja, dan pertukaran informasi.
Budaya SKJM yang kuat mempunyai empat fungsi dasar, yaitu : Pertama, perasaan identitas dan menambah komitmen organisasi. Kedua, alat pengorganisasian anggota Ketiga, menguatkan nilai-nilai dalam organisasi. Keempat, mekanisme kontrol atas perilaku
Budaya yang kuat meletakkan kepercayaan-kepercayaan tingkah laku, dan cara melakukan sesuatu, tanpa perlu dipertanyakan lagi. Oleh karena berakar dalam tradisi, budaya mencerminkan apa yang dilakukan, dan bukan apa yang akan berlaku.
Dengan demikian, fungsi dari budaya organisasi SKJM adalah sebagai perekat sosial dalam mempersatukan anggota-anggota dalam mencapai tujuan organisasi berupa ketentuan-ketentuan atau nilai-nilai yang harus dikatakan dan dilakukan oleh para anggota. Hal tersebut dapat berfungsi pula sebagai kontrol atas perilaku para anggotanya.
Hal yang paling penting dalam pelaksanaan Good Corporate Governance adalah spirit dan konsistensi untuk melakukannya, bukan hanya memenuhi kata-kata yang ada dalam peraturan. Sebaiknya pula SKJM membangun Good Corporate Culture (GCC) dan Good Organization Culture SKJM (Budaya Organisasi SKJM) secara konsisten disamping penerapan Good Corporate Governance (GCG) di Perusahaan..
Bisnis pengelolaan jalan tol bisa membuat orang cepat lelah, maka budaya organisasi SKJM yang kuat dapat membantu para anggotanya membangun harga diri mereka dan rasa memiliki dalam komunitas yang lebih besar. Itu baik untuk anggota SKJM dan baik untuk Perusahaan, dan percayalah, ini juga baik untuk kita semua.
****SWARA SKJM 5258
ETIKA BISNIS DAN PERUBAHAN BUDAYA PERUSAHAAN

Sadar akan dilema moral yang dihadapi para karyawan selama melaksanakan tugasnya, pemimpin perusahaan yang tanggap merumuskan etika perusahaan (business ethics) untuk menjadi acuan bagi seluruh karyawan. Di dalamnya diuraikan sejelas mungkin hal mana yang baik dan mana yang buruk, hal mana yang benar dan salah, hal mana yang halal dan haram, mana yang dibenarkan dan mana yang dianggap tabu. Arti kata “etika” (berasal dari bahasa Yunani ethos, digunakan sejak 1851) itu sendiri adalah “ciri yang membedakan, semangat, moralitas, atau keyakinan-keyakinan yang dimiliki oleh seseorang, sebuah komunitas, atau sebuah institusi”. Jadi, etika bisnis berisi keyakinan, nilai, dan perilaku yang diyakini akan mewujudkan kondisi usaha yang diinginkan dan sesuai moralitas yang dianut oleh para pemimpin di perusahaan tersebut.
Etika bisnis berlaku untuk seluruh karyawan, tak terkecuali, terlebih penguasa usaha yang menetapkannya. Istilah yang dipakai beraneka ragam, seperti Etos Kerja, Budaya Kerja, Falsafah Manajemen, Kode Etik, dan lain-lain. Selera dan ruang lingkupnya bisa berbeda, tetapi intinya sama, yaitu pesan-pesan yang menggambarkan kesempurnaan dalam berpikir, berbicara, berpenampilan, dan bertindak. Perumusan dan penetapan etika bisnis merupakan salah satu dari sekian banyak upaya pemersatu (internal integration) yang diusahakan oleh pemimpin perusahaan untuk meningkatkan daya tahan bisnisnya. Itu dilakukan dengan mengindahkan prinsip-prinsip pengelolaan usaha yang baik (good corporate governance) sekaligus memenuhi kewajibannya sebagai karyawan yang bertanggung jawab (corporate social responsibility).
Dalam penerapannya, etika bisnis tak luput dari kemungkinan terjadinya pelanggaran. Kita membedakan pelanggaran terhadap etika bisnis ini menjadi dua tipe: yang tidak disengaja dan yang disengaja. Untuk tipe pelanggaran yang tidak disengaja, ada suatu kisah yang dititipkan oleh seorang bernama Abraham Lincoln, presiden AS yang kedua. Dia bercerita tentang seorang petani yang sedang mendidik anaknya membajak sawah. Sambil menunjuk seekor sapi yang duduk santai di pinggir sawah yang mau dibajak, di petani berkata, “Kamu lihat sapi itu, Nak? Doronglah garu ini menuju ke sapinya.” Petani itu lalu meninggalkan anaknya dan mengerjakan sesuatu di tempat lain. Setelah beberapa lama, si petani kembali. Namun, dia tidak melihat suatu garis yang lurus, yang ia lihat adalah garis yang bengkak-bengkok. “Kamu berfokus pada sapi, kan?” tanyanya. “Iya, Pak, itu yang saya lakukan. Tapi, sapinya bergerak!” jawab sang anak. Anak itu patuh kepada perintah ayahnya, tetapi ternyata hasilnya tidak sesuai dengan yang diinginkan. Dua hal yang menjadi penyebab pelanggaran tak disengaja itu. Pertama, lack of clarity (kurang jelas hasil akhir yang diinginkan oleh pemimpin), dan kedua, lack of supervision (penyeliaan yang diterapkan oleh pemimpin kurang memadai). Untuk menelaah pelanggaran yang terjadi dengan kesengajaan, ada nasihat menarik dari seorang ahli bedah otak di Jakarta. Dia mengatakan, “anak kita kalau mencuri tidak semuanya itu salah. Kita sebagai orang tua harus melihat positifnya dari anak yang mencuri itu. Ada tiga hal baik yang diperagakannya tanpa kita sadari. Pertama, anak yang mencuri itu minimal punya kemauan. Kedua, ia bisa melihat peluang, Dan ketiga, ia berani bertindak atas keyakinannya!” Tentu saja dokter itu tidak bermaksud mendorong anak kita menjadi pencuri. Maksudnya adalah beri arahan kepada anak itu tanpa harus kehilangan ketiga hal tersebut.
Dari uraian di atas, tiga hal yang sama yang menyebabkan pelanggaran yang disengaja. Pertama, conflicting goals (ada kepentingan yang tidak menyatu atau ada kebutuhan, tetapi tidak ada hak atas cara pemenuhannya). Kedua, irresistible temptation (adanya kesempatan memenuhi kebutuhan meskipun bukan haknya untuk melakukan itu). Dan terakhir, lack of consequence (hukuman yang diberikan tidak memadai untuk mengurungkan niat pelaku melakukan pelanggaran). Disengaja atau tidak, terlepas dari besar-kecilnya pelanggaran, setiap pelanggaran terhadap etika bisnis yang dibiarkan tanpa hukuman yang sepantasnya, dengan alasan apa pun juga, akan berdampak negatif terhadap seluruh upaya pemersatu lainnya yang sedang diusahakan oleh para pemimpin perusahaan. Setiap pelanggaran yang tidak terdeteksi berbahaya. Dan, setiap pelanggaran yang terdeteksi, tetapi tidak mendapat ganjaran yang sepantasnya, lebih berbahaya lagi. Mengingat bahwa pada akhirnya kelangsungan usaha itu sendiri yang menjadi taruhan, maka seluruh karyawan wajib mewaspadai, menegur, serta membantu terjadi sesedikit mungkin pelanggaran terhadap etika bisnis; dan pemimpin mereka wajib menerapkan hukuman secara tegas dan adil. Namun, nyatanya, pelanggaran terhadap etika bisnis tak mudah dihentikan. Manakah di antara lima penyebab terjadinya pelanggaran di atas yang sulit untuk ditiadakan? Lack of clarity jelas dapat diobati dengan berbagai program komunikasi dan pendidikan. Lack of supervision dapat dijaga dengan menetapkan span of control (jumlah bawahan di bawah seorang penyelia) yang memadai. Conflicting goals diminimalisir dengan sedapat mungkin seorang atasan mengenal dan membangun komunikasi dua arah dengan bawahannya. Irresistible temptation dikurangi dengan menerapkan sistem dan prosedur pengawasan yang memadai. Lack of consequence dinetralisir dengan menetapkan dan menegakkan hukuman yang berat tetapi adil. Semua niat dan upaya perusahaan tersebut di atas baik. Namun, yang menjadi penentu akhir atas efektivitas semuanya adalah mutu kepemimpinan dan budaya perusahaan yang berlaku serta kadar keberanian moral (moral courage) yang merupakan pembawaan masing-masing karyawan di dalam perusahaan kita. *****Swara SKJM HS 5258
Pentingnya Dialog

Menghindari konflik antara karyawan dengan perusahaan memang bukanlah hal yang mudah. Di era reformasi dan globalisasi, berunjuk rasa, mogok kerja, sepertinya menjadi pilihan yang populer bagi para karyawan untuk mendapatkan hak-hak mereka. Simak saja kasus PT Dirgantara Indonesia dan Freeport serta Boeing di Jerman yang merupakan Negara maju serta masih banyak kasus lainnya yang menjadi gambaran rumitnya pengelolaan sumber daya manusia di seluruh Dunia. Dalam melakukan pengelolaan sumber daya manusia, Serikat Karyawan Jasa Marga maupun Manajemen perlu memiliki paradigma yang baru. Perubahan paradigma ini mencakup kebijakan (policy), praktek pendayagunaan dan pengembangan yang berkesinambungan, mulai dari perekrutan hingga pensiun.
Upaya pengembangan perlu diarahkan hingga setiap individu dapat meningkatkan kontribusinya secara maksimal di tempat kerja, lingkungan sosial, hingga kehidupan rumah tangganya (Great Contribution Principle). Perusahaan seharusnya tidak hanya mementingkan kepuasan pelanggan (customer satlsfaction) dan kepuasan pemegang saham (shareholder satisfaction), namun perlu pula memikirkan kepuasan karyawan (employee satisfaction)," demikian menurut Ir Setiyono, Ketua Umum DPP SKJM.
Dalam kesempatan yang sama, Ir Handono mengatakan bahwa dalam pengelolaan karyawan pada saat ini manajemen perusahaan melakukan total improvement principle. Sedapat mungkin semua karyawan diikutsertakan dalam setiap keputusan dan program sesuai dengan tingkatannya agar setiap karyawan merasa sebagai bagian dari program (subyek), bukan hanya sebagai obyek, " jelas mantan Ketua DPC SKJM Kantor Pusat yang sekarang menjadi Kepala Biro SDM.
Selanjutnya Ir Handono menekankan pula pentingnya konsep Role and Talent Based Principle, yaitu penugasan dan pemberian beban kerja yang mengasah bakat (talenta) serta kompetensi karyawan untuk mencapai visi perusahaan yang modern. Karena itu dalam proses perekrutan harus dipilih karyawan yang mempunyai karakter (attitude) dan misi hidup (personal mission) yang sesuai dengan misi dan visi perusahaan. Menciptakan budaya superteam dengan memberi perhatian pada aspek kerjasama, mulai dari pemberian tugas, kriteria penilaian sampai penghargaan, perlu pula diperhatikan karena pada dasarnya manusia sebagai makhluk sosial sudah didesain sebagai team.
Pihak manajemen perusahaan harus berlaku adil. Tak hanya memberikan target pencapaian hasil perusahaan , tapi juga memperhatikan sumber daya manusianya. ”Aspek human mesti di munculkan dalam manajemen perusahaan. Jadi jangan hanya pekerjaan yang dibicarakan,” kata Ir Setiyono, Karena untuk mendapatkan target seperti yang diharapkan, setiap orang dalam suatu perusahaan mempunyai peran. Seperti halnya dalam permainan sepakbola, kata Ir Setiyono, semua pemain amat berperan untuk membuat team meraih kemenangan. Sebab itu setiap karyawan seyogianya mengetahui tugas masing-masing, dan kontribusi mereka pada perusahaan. ”Jika ada organisasi yang anggotanya semua tahu tentang visi perusahaan dan tugas mereka masing-masing, artinya organisasi itu hebat”. Sebab, ujar Ir Setiyono, tak mudah membuat iklim kerja yang membuat semua karyawan sadar perannya masing-masing di perusahaan dan mempunyai semangat kerja. ”Pelatihan (Training) saja tidak cukup dalam hal ini. Hubungan antara atasan dan bawahan mesti terus berlangsung. Segala hal mesti sampai dari atas ke bawah. Jika ini bisa dilakukan, sudah bagus,” paparnya.
Pihak manajemen, kata Ir Setiyono, mesti sadar tuntutan SDM zaman sekarang berbeda dengan masa lampau. Jika dulu perhatian bisa dilakukan sekali seminggu oleh atasan, sekarang mesti lebih sering dan lebih mendalam. Perubahan perhatian itu, tambahnya, muncul karena tantangan kerja sekarang yang meningkat. Begitu juga dengan persaingan. ”Jadi atasan perlu melakukan dialog dan jangan cuma bicara masalah pekerjaan.”.
Menurut Ir Setiyono, konflik-konflik tajam bisa dihindari selama manajemen perusahaan tidak berfokus hanya sebatas hak dan kewajiban saja, melainkan menghargai harkat dan martabat setiap individu ****Swara SKJM 5258