Senin, 27 Agustus 2007

Pers Release FSP BUMN

PRESS RELEASE Jakarta. 29 Agustus 2007

SIKAP FEDERASI SERIKAT PEKERJA BUMN

TENTANG :
INFORMASI PENUNDAAN RAPIM DI YOGYAKARTA

LIBERALISASI PENGELOLAAN USAHA OLEH BUMN

PRIVATISASI

PERGANTIAN DIREKSI DAN KOMISARIS

PROGRAM PENYELAMATAN PERUSAHAAN DI LINGKUNGAN BUMN



INFORMASI PENUNDAAN RAPIM DI YOGYAKARTA
Sehubungan dengan penundaan kegiatan Rapim FSP BUMN 28 s/d 30 Agustus 2007 di Yogyakarta, dikarenakan pembicara utama (key note speak) dan para pembicara yang diharapkan waktunya berbenturan dengan acara lain.
Maka pada kesempatan ini di informasikan perubahan kegiatan yang akan dilaksanakan, dengan penjelasan berikut ini :
1. FSP BUMN akan menyelenggarakan Rapim yang rencananya akan diselenggarakan pada akhir Oktober 2007 yang akan datang, tempat pelaksanaannya akan ditentukan kemudian.
2. Selain akan menyelenggarakan Rapim, FSP BUMN juga akan menyelenggarakan Seminar pada waktu dan tempat yang sama.

Seminar akan menampilkan pembicara utama Menteri Negara BUMN
Bapak Sofyan Djalil

Pembicara lainnya dari :

Komisi Pemberantasan Korupsi
Topik : Kualifikasi perbuatan melawan hukum berkaitan dengan aktifitas dalam mewujudkan BUMN INCORPORATED dikaitkan dengan penyelamatan keuangan negara.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha
Topik : Pandangan Yuridis dan politik ekonomi dari sisi monopoli dan persaingan kegiatan usaha tidak sehat berkaitan aktifitas BUMN dalam implementasi BUMN INCORPORATED (Baik melalui perubahan struktur badan usaha maupun total logistic system)

Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan
Topik : Pandangan dari sisi audit kualifikasi perbuatan merugikan keuangannegara berkaitan dengan kebijakan BUMN INCORPORATED.

Direktur BUMN (Pelaku Bisnis)
Topik : Dilematis BUMN dalam mewujudkan Implementasi BUMN INCORPORATED dalam kerangka penyelamatan BUMN lain

Tanri Abeng (Begawan Manajemen)
Topik : Mencari format ideal melalui integrasi vertikal dan horizontal di dalam mensinergikan BUMN untuk memperkuat struktur bisnis dan persaingan global.

Said Didu ( Sesmen BUMN)
Topik : Konsepsi perwujudan total logistic system di dalam mensinergikan resources bisnis di lingkungan BUMN untuk menciptakan value added dan value creation.

Komisi VI DPR RI
Topik : Evaluasi kritis Kinerja BUMN serta ekspektasi optimal berkaitan dengan implementasi BUMN INCORPORATED dan dukungan politik ekonomi di dalam penerapannya.

Direktur BUMN
Topik : Pandangan profesional dan hambatannya di dalam perwujudan sinergi BUMN dan perubahan struktur bisnis dan hukum melalui roll up dan atau fokus bisnis.

Para peserta Rapim ini adalah pengurus FSP BUMN dan para peserta seminar dari pemegang saham, Direksi dan Eksekutif BUMN dan Swasta, Birokrat dan Instansi, Pengurus SP BUMN, LSM, Akademisi, Swasta, Personal dan umum. Terkait dengan sukses penyelenggaraan maupun hasil kedua event tersebut, pengurus FSP BUMN sangat mengharapkan peran serta aktif seluruh anggota FSP BUMN dan teman-teman pers.

LIBERALISASI PENGELOLAAN USAHA OLEH BUMN

Undang-undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa pelaku ekonomi nasional terdiri atas tiga bentuk usaha, yaitu Swasta, BUMN dan Koperasi.
BUMN sebagai entitas bisnis yang masih dipandang signifikan untuk memberikan kontribusi di dalam sumber pendapatan APBN selain memberikan multiplier effect bagi bergeraknya pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Apalagi jika mengingat bahwa dengan adanya infrastructure summit yang digagas oleh Pemerintah Indonesia untuk mencapai ekspektasi pertumbuhan ekonomi sebesar 6 – 7% maka dibutuhkan biaya sebesar + 1500 Trilyun untuk pembangunan infrastruktur yang diharapkan dapat memberikan efek domino bagi pertumbuhan ekonomi.

Kemampuan pembiayaan investasi infrastruktur dari dana internal baik dari capital expenditure maupun dari money market dan capital market yang terbatas memberikan strategi untuk memberikan peluang bagi masuknya investasi luar negeri untuk terlibat di dalam proyek-proyek pembangunan infrastruktur. Salah satu cara untuk memberikan stimulan agar investasi luar negeri mempunyai gairah untuk menanamkan investasinya di Indonesia yaitu dengan merubah paradigma penyelenggaraan infrastruktur yang saat ini secara eksklusive diselenggarakan oleh BUMN berdasarkan amanah Pasal 33 UUD 1945 dirubah paradigmanya melalui UU No.19/2003 tentang BUMN dan perubahan regulasi lainnya yang sangat ekstrem. Mulailah kita memasuki liberalisme dan kesetaraan baik di dalam regulasi maupun kesempatan antara BUMN dan swasta (equality before the law dan equality the opportunity).

Atas nama bangsa pula akhirnya BUMN juga memberikan keikhlasan dan ketulusannya untuk memberikan privelage yang dimilikinya untuk maksud yang mulia. Padahal privelage yang dimilikinya itu merupakan kompensasi dari paradox mission yang diemban oleh BUMN yaitu antara company/corporate mission (pendekatan profit oriented) dan social mission (tidak semata-mata mengejar keuntungan.). Untuk itu pelaksanaan liberalisasi pengelolaan usaha oleh BUMN apapun tentunya jangan dikemas melalui justifikasi globalisasi dan tekanan pasar internasional tetapi juga memperhatikan kontinuitas usaha BUMN, aspek ekonomi kerakyatan juga keadaan internal BUMN pasca liberalisasi apabila diberlakukan terkait dengan tanggung jawab pihak ketiga, PSL dan lainnya, misalkan liberalisasi usaha jalan tol, migas, listrik, bandar udara, pelabuhan, telekomunikasi dan lainnya.

Pelaksanaan liberalisasi pengelolaan BUMN melalui perubahan regulasi harus membawa suasana kompetisi yang fair dengan tidak mengorbankan keungulan kompetitif dan kontinuitas usaha yang selama ini dikelola perusahaan dilingkungan BUMN.

Pelaksanaan dari program privatisasi dilingkungan BUMN seharusnya tidak berdampak pada hilangnya sistim kerja sepanjang hidup (long life employment), tingginya pengangguran, berkurangnya keamanan kerja, pengurangan jumlah karyawan dan akan berujung pada terjadinya PHK besar-besaran terhadap karyawan.

PRIVATISASI

Privatisasi berkenaan dengan upaya untuk mengurangi peran negara , khususnya dalam rangka menggerakan dan memberdayakan perekonomian masyarakat. Privatisasi harus dilihat sebagai kebutuhan dan bukan sebagai keharusan, karenanya privatisasi harus diselenggarakan dengan bijaksana daripada berpola fire-selling alias obral. Privatisasi seharusnya tidak menjadikan BUMN yang produktif menjadi rebutan investor yang semata-mata mengejar keuntungan sehingga kepentingan rakyat dan peran BUMN akan semakin termarginalisasi.

Privatisasi adalah penting, karena privatisasi akan menjadikan BUMN perusahaan yang transparan; sebuah langkah yang mirip upaya menjadikan rumah berjendela kaca yang memungkinkan cahaya matahari masuk dan membunuh kuman-kuman di dalam rumah secara alami. Transparansi adalah disinfektan Korupsi, Kolusi, Nepotisme yang alami.

Privatisasi di BUMN bertujuan untuk menjadikan BUMN sebagi perusahaan profesional sebagaimana perusahaan-perusahaan yang dikelola secara professional pada umumnya. Makna ini mempunyai beberapa konsekuensi, yaitu bahwa pemerintah dan publik (termasuk DPR dan Parpol) harus mendefinisikan perusahaan di BUMN sebagai business entity dan bukan lagi political entity, memungkinkan perusahaan di lingkungan BUMN untuk bergerak secara leluasa, termasuk membentuk holding dalam rangka meningkatkan business value-nya, menjadikan karyawan perusahaan dilingkungan BUMN sebagai karyawan yang profesional dengan meningkatkan (Science Competence, Technical Competence, Experience Competence, Dedicatif dan Consistent, Independence.), melarang perusahaan dilingkungan BUMN mengerjakan hal-hal yang diluar misi usahanya, melarang pihak yang di luar perusahaan BUMN untuk mencampuri urusan usaha perusahaan BUMN dan menerapkan prinsip-prinsip good corporate governance.

PERGANTIAN DIREKSI DAN KOMISARIS

Konsep mensinergikan BUMN dalam bingkai BUMN incorpoted tidak terlepas dari peran Direksi dan Komisaris. Pentingnya the right man and the right place dalam proses pemilihan dan penempatan Direksi dan Komisaris perusahaan dilingkungan BUMN, sudah seharusnya tidak diletakkan pada ‘political entity’ yang tidak mempunyai alat ukur yang jelas dalam bentuk balance score card atau merubah proses fit and propert test menjadi fee and property cash. Sudah seharusnya ‘penghembusan’ isu atau berita pergantian Direksi BUMN tidak menimbulkan sentimen pasar yang negatif yang akan berujung pada kerugian perusahanaan BUMN.

Demikian juga adanya inpres 8 dan 9 dengan adanya Tim Penilai Akhir semakin menambah kerunyaman dan ketidakjelasan serta di lapangan dalam tataran pragmatis cukup menghambat adanya reposisi di organ direksi dan komisaris karena semakin banyaknya jalur birokrasi yang harus dilalui serta dalam konteks yuridis tidak memenuhi kaidah prinsip-prinsip perseroan terbatas.


PROGRAM PENYELAMATAN PERUSAHAAN DI LINGKUNGAN BUMN

Asset BUMN sebesar 1300 Trilyun dan Laba sebesar 25 Trilyun merupakan sesuatu sumber pemulihan ekonomi yang sangat besar. Kekuatan perusahaan BUMN telah terbukti sebagai lokomotif pemulihan ekonomi dalam kondisi krisis pada masa yang lalu. Namun ironisnya masih ada beberapa perusahaan dilingkungan BUMN yang berada dalam dalam kondisi memprihatinkan dan belum ada penganan yang cepat dari kementrian BUMN, seperti PPD, Soda, Garam , Iglas, Damri Merpati dll.

Untuk itu FSP BUMN yang beranggotakan 104 BUMN menyatakan sikap sebagai berikut:

1. Mendukung upaya pemberdayaan BUMN secara optimal dan merespon positif adanya peningkatan dan perluasan kemampuan memperluas ketersediaan prasarana infastruktur yang dikelola oleh BUMN melalui upaya kemampuan BUMN secara mandiri untuk mengelola tanpa harus menyerahkan asset dan usaha yang menjadi hak privelege kepada modal asing dan pemilik modal yang tidak jelas dananya (money laundry), sebagai amanah konstitusi Pasal 33 UUD 1945. Adapan pemberdayaan tersebut yaitu dengan memberikan relaksasi kredit pendanaan di dalam perluasan investasi dan usaha melalui sinergi lintas BUMN.

2. Adanya proteksi yang berkeseimbangan dan proporsional terhadap BUMN yang mempunyai paradox mission (antara company mission versus public service) karena di dalamnya ada komponen biaya penugasan, pso dan stabilitas ekonomi.

3. Liberalisasi yang di dalamnya adalah privatisasi agar dicari skema yang paling menguntungkan bagi BUMN yang bersangkutan melalui pengumpulan atau mobilisasi dana masyarakat dari sekedar menjual kepada partikelir maupun asing, baik dalam privatisasi di bidang jalan tol, pembangkit listrik dan lainnya.

4. Kementerian BUMN agar mempunyai greget dan bargaining position di dalam upaya yang bersifat feed back dan two way traffic di dalam pembahasan mengenai perubahan regulasi yang bersifat membuka kran pengelolaan usaha yang selama ini dikelola oleh BUMN dan di dalam pemberdayaan BUMN serta menjauhkan usaha BUMN yang dipolitisir, menciptakan peraturan yang terang dan jelas dari sekedar peraturan abu-abu serta tidak menjadikan BUMN sebagai sasaran tembak aparat hukum sehingga pengelolaan BUMN menjadi tertatih-tatih karena harus menghadapi masalah hukum yang belum jelas.

5. Pelaksanaan privatisasi seharusnya tidak semata-mata mengejar target APBN tetapi berdasarkan kepada upaya untuk memperkuat struktur permodalan dan transformasi bisnis dan tidak ada upaya penggorengan saham sehingga peristiwa pelepasan saham di BNI tidak terjadi lagi pada rencana di WIKA dan Jasa Marga.

6. Mendorong BUMN agar turut berempati sehingga dapat membantu penderitaan rakyat kecil.terkait kelangkaan minyak dan kelangkaan produk lainnya

7. Mengharapkan kepada Menteri BUMN untuk adanya perlindungan atas serikat pekerja BUMN di dalam menjalankan fungsi organisasi untuk memperjuangkan aspirasi anggota contoh kasus adanya intimidasi dan pemberian skorsing pekerja Bank Mandiri yang seyogyanya secara normatif dijamin hak-haknya.

Khusus mengenai peningkatan akselerasi pemberdayaan BUMN maka FSP BUMN mendukung adanya:
1. Upaya percepatan pergantian direksi dan komisaris BUMN secara definitif bagi yang sudah habis masa waktunya, atau mereka yang menjadi kareteker karena adanya status demisioner atau transisi di beberapa BUMN.

2. Adanya Inpres 8 Tahun 2005 diharapkan tidak adanya duplikasi dan overlapping terhadap kewenangan Kementerian BUMN selaku kuasa pemegang saham sehingga proses akselerasi pergantian manajemen di BUMN dapat segera terealisir dengan memperhatikan adanya fit and proper test (bukan fee and property cash), moral obseravation, sosiologis, reward and punishment, balance score card dan key performance indicator, data intelijen, feed back dari serikat pekerja masing-masing dan memperhatikan kebutuhan dalam perusahaan serta career planning dari pekerja masing-masing perusahaan.

3. Mempertegas sikap Federasi SP BUMN agar dibentuk semacam lembaga recovery yang bertugas untuk menyediakan funding, restrukturisasi, penyertaan modal dimana dana tersebut diambil dari sekian persen laba BUMN secara holistik untuk penyembuhan BUMN-BUMN yang berada dalam kondisi tidak sehat sehingga ada upaya yang bersifat URC (unit reaksi cepat) dalam bentuk pemberian dana talangan, cross funding dan sebagainya.

4. Menuntut adanya ketegasan Master Plan BUMN tahun 2005-2009 tentang adanya stand alone, focus holding dan roll-up di lingkungan BUMN sehingga tidak menimbulkan keresahan.

5. Mereaksi dan menuntut adanya ketegasan Kementerian BUMN agar segara mempunyai sikap yang jelas terhadap nasib BUMN-BUMN yang berada dalam kondisi kritis baik dalam bentuk pemberian transfusi atau amputasi dengan kompensasi yang paling baik bagi kepentingan pegawai.



FEDERASI SERIKAT PEKERJA BADAN USAHA MILIK NEGARA





Ir Abdul Azis Hasan Rias Wisnoewardana
Ketua Umum Sekretaris Jenderal

Wapres: Radikalisme Tenaga Kerja Jadi Masalah di Indonesia

27/08/2007 13:12:14 WIB
JAKARTA, investorindonesia.com
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, masalah utama bidang ketenagakerjaan di Indonesia adalah adanya persepsi radikalisme yang dilakukan oleh para pekerja.

"Sebenarnya tak banyak masalah ketenagakerjaan di Indonesia, yang ada soal image, soal persepsi radikalisme para pekerja," kata Wapres Jusuf Kalla saat membuka Rakornas Pengawasan Ketenagakerjaan di Jakarta, Senin.

Menurut Wapres, masalah persepsi radikalisme tenaga kerja tersebut membuat para pengusaha takut untuk berinvestasi. Wapres mencontohkan adanya masalah sedikit saja para pekerja akan langsung berdemo.

"Demo tak masalah tapi kalau kemudian bakar pabrik, rusak kantor dan sebagainya. Ini yang bagi pengusaha menakutkan," kata Wapres.

Menurut dia, soal tenaga kerja di Indonesia sebenarnya harus menjadi kekuatan dan kelebihan. Namun yang terjadi saat ini tenaga kerja seakan-akan dipersalahkan sebagai hal yang memberatkan.

Wapres menjelaskan, soal radikalisme para pekerja tersebut salah satunya juga dipicu oleh makin banyaknya Serikat Pekerja (SP) yang ada di Indonesia. Sebelumnya SP hanya ada satu organisasi namun sekarang sudah ada lebih dari 100 organisasi SP.

Karena itulah, Wapres meminta kepada para pengawas ketenagakerjaan bisa mendeteksi masalah-masalah yang timbul di bidang ketenagakerjaan sebelum membesar.

Tugas pengawas, tambah Wapres bagaimana mengawasi sistim sesuai aturan yang ada sehingga semuanya yakni pengusaha dan pekerja merasa dijaga kepentingannya.

"Bagaimana mencari keseimbangan. Kalau ada masalah Anda-Anda yang harus mendeteksinya. Tapi namanya pengawas ya harus keliling, jangan tunggu di kantor," kata Wapres.

Lebih lanjut Wapres juga mengungkapkan bahwa tugas pengawas ketenagakerjaan adalah menjaga image dan martabat bangsa serta menjaga kekuatan bangsa di bidang ketenagakerjaan.

Rakornas Bidang Pengawasan Ketenagakerjaan tahun 2007 diikuti oleh 600 peserta yang terdiri Kadisnaker Provinsi (33), Pengawas Ketenagakerjaan Propinsi (66), Disnaker Kabupaten/Kota (440) dan Pengawas Ketenagakerjaan Pusat (61). (ant/gor)