Minggu, 05 Agustus 2007

CEO dan Organisasi Pelayanan Publik

Minggu, 5 Agustus 2007 00:00 WIB - warta ekonomi.com

Oleh: Andiral Purnomo
Penulis adalah associate partner Dunamis Organization Services.

Jika Republik Indonesia diumpamakan sebuah perusahaan, siapakah CEO-nya? Dia Presiden RI. Lalu, jika Departemen Keuangan diumpamakan perusahaan, CEO-nya adalah Menteri Keuangan. Selanjutnya, jika Ditjen Pajak adalah perusahaan, sang CEO adalah dirjen-nya.
Saat ini masalah akuntabilitas publik sudah disadari oleh masyarakat. Apalagi kini era knowledge economy, yang tidak lagi ada batasan tentang informasi. Ini termasuk informasi tentang akuntabilitas organisasi publik. Ada saja masyarakat awam yang ingin tahu tentang akuntabilitas pemerintah. Melalui media massa, mereka tahu tentang kinerja CEO negeri ini. Berita, analisis, surat pembaca bermunculan di media cetak, dari yang memuji hingga―mungkin ini lebih banyak― yang mengritik.
Berita (positif atau negatif) tentang CEO Departemen Keuangan tidak sesering berita tentang CEO negeri ini. Namun, kalau menyangkut Departemen Keuangan dan Ditjen Pajak, berita yang lebih sering adalah perihal institusinya dibandingkan personal CEO-nya masing-masing.
Salah satu contoh adalah BBC siaran bahasa Indonesia pada minggu ke-3 Juni 2007 yang memberitakan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan status disclaimer terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP). Ini adalah ketiga kalinya secara berturut-turut. Stasiun radio itu juga menyiarkan komentar Anwar Nasution, ketua BPK, tentang lembaganya yang tidak dapat mengaudit Ditjen Pajak. Ia menyebutkan contoh negara-negara lain, termasuk sebuah negara komunis, yang badan pajaknya dapat diaudit.
Berita itu memberi dampak citra yang kurang sedap terhadap sebuah badan pemerintah yang diharapkan menghimpun pemasukan dana. Jika kita menyimak berita itu bersama tamu asing yang mengerti bahasa Indonesia, perasaan kita menjadi tidak enak.
Hal penting yang mencuat dari berita itu adalah soal good corporate governance (GCG). Meski berita di stasiun radio BBC itu tidak menyebutkan soal GCG sama sekali, masyarakat yang melek hukum, melek budaya kerja, dan melek soal efektivitas usaha akan mengerti dengan segera bahwa ada kaitan antara tertutupnya Ditjen Pajak dan belum diterapkannya GCG dengan baik.
Mengenai batasan GCG, menarik untuk melihat apa yang dimuat oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam situsnya. Di situ BPKP menuliskan penerapan praktek GCG terkait BUMN, sebagaimana tercantum dalam kalimat berikut: “SK Menteri BUMN No. Kep-117/M-MBU/2002 tanggal 1 Agustus 2002 tentang Penerapan Praktek GCG pada BUMN menekankan kewajiban bagi BUMN untuk menerapkan GCG secara konsisten dan atau menjadikan prinsip-prinsip GCG sebagai landasan operasionalnya, yang pada dasarnya bertujuan meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholders lainnya, dan berlandaskan peraturan perundang-undangan dan nilai-nilai etika.”
SK Menteri tersebut terbatas mencakup BUMN. Namun, jiwa dari GCG dapat diterapkan pada semua institusi pemerintah. Kita dapat meletakkan berita tentang Ditjen Pajak itu dalam konteks GCG. Namun, akan lebih pas jika kita alihkan analisis sekilas pada beberapa BUMN yang menyangkut pelayanan publik.
Dalam era information-based, dan bahkan knowledge-based, ini, berita dan analisis mudah diperoleh masyarakat. Menakar akuntabilitas perusahaan publik, masyarakat yang makin sadar hak-haknya akan secara kritis menilai kinerja BUMN yang melayani masyarakat.
Dari sebuah majalah yang mengutip bahan Rapat Kerja Menteri Negara BUMN dengan Komisi VI DPR RI September 2006, diketahui kinerja 10 perusahaan BUMN pada 2005. Mereka adalah PT Asuransi Kesehatan, Bulog, PT KAI, Pelni, Pertani, Pertamina, Pos Indonesia, PLN, Pusri, dan Sang Hyang Seri. Dari sepuluh BUMN yang melayani publik itu, enam berhasil meraih laba dan selebihnya merugi.
Mereka yang meraih laba adalah PT Sang Hyang Seri (Rp4,5 miliar), PT KAI (Rp6,9 miliar), Perum Bulog (Rp15,6 miliar), Asuransi Kesehatan (Rp181,5 miliar), PT Pusri (Holding) dengan 848,7 miliar, dan Pertamina (Rp16,5 triliun). Total seluruh laba enam BUMN itu Rp17,5 triliun, dengan Pertamina memberikan kontribusi amat besar, yaitu sekitar 94%.
Bagi masyarakat yang mengerti keuangan, rasio return on asset (ROA) terbesar diraih Pertamina dengan 8,36%, disusul Askes (6,79%), Pusri (4,27%), Sang Hyang Seri (1,8%), KAI (0,16%), dan Bulog (0,11%).
Namun, dari sisi return on equity (ROE), Askes (14,8%) terlihat lebih sukses dibandingkan Pertamina (13,42%). Ini karena besaran ekuitas Askes adalah Rp1,23 triliun, sedangkan Pertamina Rp122,7 triliun. Sementara itu, yang disayangkan adalah Bulog dan KAI yang mencapai ROA masing-masing 0,11% dan 0,16%, dan ROE 0,23% dan 0,22%.
Bagaimana dengan total aset dua kelompok tersebut. Total aset dari enam BUMN yang meraih laba adalah Rp238,2 triliun, sedangkan total aset empat BUMN yang merugi adalah Rp228,76 miliar. Jumlah kerugian empat perusahaan yang “belum beruntung” itu adalah Rp5,1 triliun.
Pertanyaan di kalangan organisasi bisnis swasta adalah: mengapa sang CEO gagal membawa perusahaannya mencapai keberhasilan? Apakah pertanyaan yang sama bisa diajukan kepada para CEO dari BUMN-BUMN yang ROA-ROE-nya kecil dan dari BUMN yang masih merugi itu?
Jika tidak, apakah artinya pertanyaan itu sebaiknya diajukan kepada organisasinya? Nah, berarti hal itu bicara tentang budaya, bukan? Mungkin pertanyaan tersebut sepatutnya diajukan sekaligus kepada keduanya, sang CEO dan organisasi (= publik dalam organisasi itu). Dalam era knowledge economy sekarang, pertanyaan-pertanyaan seperti itu akan terus muncul. Jiwa dari pertanyaan-pertanyaan itu adalah “mengingatkan”.