Jumat, 10 Agustus 2007

Keamanan di tol terlalu longgar

Kejadian Selasa lalu, benar-benar mengesalkan bagi pengguna jalan. Betapa tidak. Gara-gara kebakaran di kolong jalan layang tol di kawasan Jembatan Tiga, seluruh jaringan jalan tol di Jakarta dan sekitarnya macet total, bahkan sampai pukul 21:00 WIB.

Kebakaran? Bagaimana bisa terjadi kebakaran? Aneh juga. Bukankah kolong jalan tol adalah ruang kosong yang tidak boleh ada sesuatu pun yang bisa terbakar di sana?

Jadi apa rupanya yang terbakar di sana, sampai bisa membuat macet seluruh Ibu Kota dan sekitarnya?

Oalah...tak tahunya yang terbakar di sana adalah 300 gubuk liar? yang berjejalan di sepanjang kolong tol Jembatan Tiga itu. Aneh juga, bahwa di kolong jembatan tol bisa diserobot orang untuk membangun gubuk liar.

Yang? harus dipertanyakan adalah kemampuan Bina Marga, PT Jasa Marga, PT Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP)? dan pengelola jalan tol lainnya untuk membebaskan daerah milik jalan (DMJ) atau right of way (ROW) dari penyerobotan lahan oleh pihak-pihak tertentu.

Penegakan hukum

Memang sih Departemen Pekerjaan Umum (PU) sudah memasang? papan-papan pengumuman di berbagai lahan sepanjang jalan tol yang rawan diserobot orang.

Papan itu berisi pengumuman bahwa tanah di kawasan tersebut milik negara dan warga dilarang membangun/memanfaatkannya. Tapi apalah artinya papan pengumuman, kalau tidak disertai dengan penegakan hukum.

Memang di beberapa tempat, berbagai instansi tersebut berhasil menertibkannya. Sebagai contoh, adalah di kolong jalan layang tol Slipi.

Tempat tersebut sempat dipergunakan oleh penduduk setempat sebagai 'gudang'? dari tempat usahanya yang berjualan hasil bongkaran bangunan tua/bekas. Instansi terkait sudah berhasil membersihkannya serta memberinya pagar, sehingga tidak diserobot? lagi.

Namun di tempat lainnya, bagaimana? Pada beberapa kolong jembatan tol, masih saja ada pihak-pihak yang berusaha memanfaatkannya.

Seharusnya Jasa Marga dan pengelola jalan tol lainnya, tidak hanya menjaga dan mengawasi situasi di atas jalan tol. Tapi aparat juga perlu mengawasi kawasan DMJ, termasuk di kolong tol tadi.

Tentu tak bisa dibayangkan, betapa kerugian yang diakibatkan oleh terjadinya kebakaran di Jembatan Tiga tersebut. Seluruh Jakarta macet, berapa juta liter bahan bakar yang terbuang percuma karena mesti berjalan berlambat-lambat. Bukankah? pengertian? jalan tol adalah jalan yang bebas hambatan?

Bebas hambatan, bukan berarti setiap orang bebas membuat hambatan di jalan tol. Tapi seharusnya bebas hambatan adalah jalan tol yang benar-benar tidak ada hambatan.

Tapi itulah. Agaknya logika bangsa kita sudah terbalik-balik. Jalan tol yang seharusnya tidak boleh ada hambatan itu, menjadi lahan untuk berdagang asongan, menjadi terminal bayangan dan entah apalagi.

Sebagai contoh, di tengah kemacetan jalan tol di Tomang, Cawang, dan sebagainya, berkeliaran pedagang asongan yang berjualan air minum, rokok, koran/majalah, ukiran kayu, mainan anak-anak, peralatan renang, dan sebagainya.

Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi? Hal itu bisa terjadi, hanya dan hanya bila aparat penegak hukum sangat longgar dalam menegakkan aturan di jalan tol.

Longgar? Ya, sangat, sangat longgar. Warganya melanggar dan aparatnya sangat longgar. Jadi pas sekali bukan?

Itu di Tomang.

Perlu akses tol

Bagaimana di pintu tol Kebon Jeruk? Ini lebih aneh lagi. Jasa Marga bahkan melembagakan pelanggaran itu. Jalan tol dijadikan terminal bayangan. Jasa Marga dengan sengaja membuat terminal bayangan di kiri kanan pintu tol itu.

Ini benar-benar aneh. Jasa Marga yang sangat tahu apa arti jalan tol, justru melanggar dengan membuat terminal bayangan.

Belasan tahun lalu, BUMN jalan tol itu selalu mengatakan ada pelanggaran pemanfaatan jalan tol oleh warga dan berusaha menertibkannya.

Tapi kini justru Jasa Marga yang melakukan pelanggaran. Tidak sepantasnya Jasa Marga dan pengelola jalan tol lainnya mengeruk keuntungan saja, tanpa memerhatikan aspek sosialnya kepada masyarakat.

Kalau Jasa Marga berniat membuat terminal-bukan terminal bayangan-seharusnya di tepi pintu tol Karang Tengah. Di kiri-kanan gerbang tol masih tersedia lahan yang cukup untuk membuat terminal.

Tapi apa yang dilakukan BUMN itu? Jasa Marga hanya membuat pintu pembayaran karcis tol, tanpa membuat akses keluar masuk tol. Karena itu, bisa dimaklumi bila sepanjang ruas tol Karang Tengah-Kebon Jeruk-Tomang selalu macet.

Apa sebabnya? Karena Jasa Marga tidak berusaha mendistribusikan kemacetan itu. Semuanya ditumpuk pada jalan sepanjang 7 km itu. Kalau dibuka akses tol (off-ramp dan in-ramp) di Karang Tengah, tentu kemacetan itu bisa didistribusikan, sehingga kemacetan itu tidak berlangsung lama.

Kalau di sana dibuat terminal? yang sebenarnya, tentu akan membuat kucuran rezeki (trickle down effect) bisa lebih luas.

Kembali ke soal kebakaran di Jembatan Tiga, Jasa Marga dan CMNP seharusnya selalu waspada dan selalu melakukan patroli bersama aparat terkait untuk mengontrol kawasan di atas dan di bawah jalan tol. Selama ini, meskipun sangat longgar, Jasa Marga dan pengelola jalan tol lainnya masih melakukan kontrol di atas jalan tol.

Tapi untuk di bawah jalan tol, saya rasa Jasa Marga dan instansi terkait sangat kecolongan. Bahwa ada lahan di kolong tol yang dimanfaatkan untuk perumahan kumuh adalah suatu kejanggalan.

Lebih janggal lagi, kalau Jasa Marga tidak menindaknya. Cara menindaknya pun jangan ditunggu sampai tumbuh ratusan rumah. Bahkan salah satu warga yang tinggal di sana mengaku sudah tinggal tujuh tahun di sana.

Seharusnya baru tumbuh satu, langsung ditindak. Begitu seterusnya.

Kalau dibiarkan sampai ratusan rumah, sama saja Jasa Marga mengundang kerusuhan massa. Yang lebih parah lagi, kalau perumahan kumuh itu terbakar seperti kejadian Selasa lalu, yang mengakibatkan jembatan tol retak-retak, sehingga harus ditutup, berapa kerugian yang diderita Jasa Marga untuk memperbaikinya?

Berapa kerugian Jasa Marga karena pemasukan tol berkurang? Berapa kerugian masyarakat karena biaya operasional kendaraan meningkat?

Hal itu semua berawal dari keteledoran. Jangan sampai ambruknya jembatan tol di Minneapolis, AS, pada 1 Agustus 2007 terjadi pula di Jembatan Tiga, Jakarta, meskipun penyebabnya berbeda. (agus. surono@bisnis.co.id)

www.bisnis.com
Oleh Agus S. Soerono

Menteri Djoko Nilai 13 Tol Masih Menguntungkan

Jum'at, 10 Agustus 2007 | 00:02 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto membantah bahwa 13 proyek jalan tol yang akan ditender pada September nanti tak layak secara finansial. Menurut dia, meski mayoritas dilelang ulang karena sepi peminat, proyek-proyek itu mengutungkan.

"Menurut hitungan saya layak-layak saja," katanya seusai membuka seminar Good Governance di Gedung Sapta Taruna, Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta, kemarin. Bahkan, pemerintah akan menganggarkan kebutuhan dana pembebasan lahan Solo-Kertosono sebesar Rp 1 triliun dari total kebutuhan Rp 1,3 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2008.

Djoko menanggapi pernyataan Direktur Utama PT Jasa Marga Frans S. Sunito yang menyatakan siap mengikuti lelang bila pemerintah memberikan skema subsidi. "Kalau tak ada (subsidi), susah juga," ucapnya. (Koran Tempo, 9 Agustus)

Frans beralasan, ruas-ruas itu tak menguntungkan sehingga perlu bantuan dari pemerintah. Ia mencontohkan, tol Solo-Kertosono yang biaya pembebasan lahannya ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah lewat anggaran negara tahun depan.

Djoko menjelaskan, dukungan pemerintah terhadap Solo-Kertosono diberikan setelah departemennya mempelajari kelayakan tol bagian dari koridor Trans Java itu. "Sudah dicek dan tak layak bila tak disubdisi." Sedangkan untuk tol lainnya, harus dibuktikan dulu ketaklayakannya sebelum mendapatkan subsidi.

Bila dalam lelang September nanti ternyata proyek 13 tol itu tetap masih sepi peminat, ia melanjutkan, proyek akan ditender kembali. “Nggak apa-apa, kan?”

Dari 13 proyek itu, sepuluh di antaranya tender ulang. Tiga proyek baru itu adalah tol Palembang-Indralaya, Cilegon-Bojanegara, dan Sukabumi-Ciranjang. Sedangkan proyek tender ulang adalah Pandaan-Malang, Pasirkoja-Soreang, Ciawi-Sumedang-Dawuan, Semarang-Demak, Medan-Kuala Namu-Bukit Tinggi, Medan-Binjai, Pekanbaru-Kandis, Serangan-Tanjung Benoa, Manado-Bitung, dan Tegineneng-Babatan.


Rieka Rahadiana