Senin, 30 Juli 2007

RUU KIP dan TRANSPARANSI BUMN

(Sindo Sore, 16 Juni 2007)


RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik kini memasuki tahap pembahasan oleh DPR dan pemerintah setelah bertahun-tahun menunggu “antrian” untuk dibahas. Satu hal yang telah disepakati oleh DPR dan pemerintah adalah perubahan nama menjadi Rancangan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (RUU KIP).

Namun demikian proses pembahasan agaknya tidak akan berjalan mulus. Ada banyak perbedaan yang sangat mendasar antara RUU versi inisiatif DPR dengan perwakilan pemerintah yang dalam hal ini Departemen Komunikasi dan Informatika. Salah satu perbedaan mendasar adalah tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).

BUMN menurut RUU versi DPR memasukkan sebagai Badan Publik karena berdasarkan aliran dana dan aliran mandat. Modal BUMN/BUMD didapat dari anggaran negara, baik APBN maupun APBD. Sedangkan pejabat BUMN mendapatkan mandatnya dari pejabat negara, yakni Menteri BUMN yang mewakili pemerintah sebagai pemegang saham. Demikian juga dengan BUMD yang mendapatkan modalnya dari Pemerintah Daerah. Berdasarkan mandat, baik BUMN maupun BUMD dibentuk dengan UU oleh pejabat publik sehingga berdasarkan argumentasi tersebut, BUMN/BUMD termasuk dalam Badan Publik dan wajib menyediakan informasi kepada masyarakat yang memintanya.

Akan tetapi, mantan Menteri Kominfo Sofyan Jalil yang kini menjadi Menteri BUMN bersikukuh untuk mengeluarkan BUMN/BUMD dari KMIP. Menurut Sofyan Jalil, BUMN/BUMD adalah entitas bisnis dan telah diatur dengan sejumlah UU seperti UU BUMN, UU Perseroan Terbatas, UU Pasar Modal dan sebagainya. Sementara KMIP, menurut Sofyan adalah wilayah politik sehingga tidak tepat apabila BUMN/BUMD dimasukkan dalam KMIP. Sofyan bahkan menegaskan, “Tidak masuknya BUMN dan BUMD dalam RUU KMIP adalah harga mati” (Sindo, 21/5/2007).

BUMN dan KIP

Pendapat Menteri Sofyan Jalil sungguh mengejutkan karena ada beberapa fakta yang agaknya kurang dipertimbangkan secara matang. Pertama, pada dasarnya BUMN tunduk dalam yurisdiksi UU Keuangan Negara. UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 19 tentang Perbendaharaan Negara, UU No. 17 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan secara jelas menyebutkan BUMN termasuk kategori keuangan negara. Karena berada dalam yurisdiksi keuangan negara, maka berbagai kasus penyelewengan dan korupsi di BUMN bisa dijerat dengan UU Anti Korupsi. Sudah banyak direksi BUMN yang kini mendekam di penjara karena didakwa merugikan keuangan negara.

Kedua, karena berada dalam yurisdiksi keuangan negara, maka sangat sulit untuk menerima argumen bahwa BUMN adalah entitas bisnis, di luar area politik. Faktanya selama ini Direksi BUMN kerap dipanggil dalam forum dengar pendapat di DPR. “Pejabat-pejabat Senayan” itu juga kerap melakukan kunjungan kerja ke BUMN seperti halnya departemen pemerintah lainnya. Apalagi jika BUMN membutuhkan tambahan dana dari APBN, DPR pasti akan meminta keterangan dan rencana bisnis secara mendetail dari direksi. Demikian juga dengan Direksi dan Komisaris BUMN yang diangkat oleh Menteri BUMN yang notabene adalah jabatan politis.

Sementara itu, banyak keputusan bisnis BUMN tidak berada di tangan direksi tetapi ditentukan oleh pejabat negara. PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) misalnya, Direksinya tidak memiliki kuasa untuk menentukan harga jual listrik ke konsumen. Tarif Dasar Listrik selama ini ditentukan oleh sejumlah Menteri terkait bersama DPR dan PLN “dipaksa” menjual rugi listrik ke konsumen. Akibatnya PLN harus merugi lebih dari Rp. 1 triliun (prognosa 2006). Demikian juga dengan Pertamina yang “dipaksa” merugi dengan memberikan subsidi kepada konsumen karena menjual BBM di bawah harga pasar internasional. Meskipun Pertamina adalah BUMN penyumbang keuntungan terbesar, untuk mendapatkan dana subsidi BBM dari pemerintah Pertamina harus menunggu beberapa bulan hingga tuntasnya audit oleh BPK.

Keempat, berdasarkan UU No. 19 tahun 2003 tentang BUMN, dikenal dua badan hukum BUMN yakni persero dan perum. Persero adalah BUMN yang dimaksudkan untuk mendapatkan keuntungan dan memberikan kontribusi bagi keuangan negara. Sedangkan Perum diperuntukkan bagi BUMN yang mengemban mandat pelayanan publik yang belum (tidak) tergantikan oleh sektor swasta. Berdasarkan ketentuan ini, praktis tidak semua BUMN berada di wilayah bisnis. Bahkan ada BUMN yang terus-menerus mendapatkan subsidi dalam bentuk Public Service Obligation (PSO) sebagai kepanjangan tangan pemerintah untuk menyediakan pelayanan publik seperti transportasi kereta api. Tanpa subsidi dari pemerintah, tentu pelayanan kereta ekonomi tidak ada lagi.

Kelima, dari 139 BUMN yang dikuasai pemerintah, 87,85% keuntungan disumbang hanya oleh 10 perusahaan saja (Investor,14-28 Maret 2007). Sementara sisanya sekedar menutup biaya operasional, bahkan banyak yang secara teknis sebetulnya bangkrut dan selama ini bertahan hidup karena subsidi dari pemerintah. Rata-rata Return on Asset dan Return on Equity BUMN jauh lebih rendah dibandingkan perusahaan swasta.

Salah satu sebab mengapa banyak BUMN dan juga BUMD merugi adalah maraknya praktek korupsi. BUMN/BUMD selama ini menjadi sapi perah berbagai kepentingan politik. Alih-alih memberikan keuntungan kepada negara, justru banyak BUMN/BUMD yang menyetor kepada kantong-kantong politisi. Perusahaan boleh merugi, tetapi gaji direksi banyak BUMN justru tidak pernah turun plus berbagai fasilitas lainnya. Korupsi juga banyak terjadi dalam pengadaan barang dan jasa di BUMN.

Bentuk korupsi BUMN lain terjadi dalam proses privatisasi. Di berbagai negara, bila perusahaan yang kinerjanya bagus akan diprivatisasi, harga saham akan meroket karena banyaknya permintaan. Tetapi di Indonesia justru sebaliknya. Begitu privatisasi diumumkan, harga saham BUMN akan “digoreng” sehingga harganya jatuh dan pemerintah pun harus menjual dengan harga murah. Kasus privatisasi PT Perusahaan Gas Negara, atau privatisasi PT Indosat beberapa tahun yang lalu adalah contohnya. Bila kemudian BUMN dikeluarkan dari RUU KIP, tentu praktek korupsi dalam privatisasi akan semakin menjadi-jadi.

Meningkatkan transparansi BUMN

Salah satu strategi yang harus dilakukan untuk menyehatkan BUMN adalah dengan meningkatkan transparansi. Salah satunya adalah dengan memasukkan BUMN dalam KMIP sehingga masyarakat yang merupakan stakeholder sekaligus shareholder mendapatkan informasi yang memadai. Bila kelak Pertamina menaikkan BBM atau PLN menaikkan harga listrik, masyarakat tentu berhak tahu perhitungan teknis dan pertimbangannya.

Soal transparansi dalam bisnis juga telah menjadi standar internasional melalui penerapan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG). GCG sendiri bahkan telah menjadi program Menteri BUMN dan diterapkan pada sejumlah BUMN. Semestinya keberadaan RUU KMIP yang memasukkan BUMN sebagai badan publik merupakan pelengkap GCG. Dengan UU KMIP, BUMN harus transparan tidak hanya kepada pemegang saham langsung tetapi juga kepada rakyat yang merupakan shareholder secara tidak langsung. Dengan semangat GCG, semestinya tidak ada penolakan terhadap RUU KMIP, kecuali ada maksud lain.

Memang tidak semua hal harus terbuka dan dapat diakses oleh publik dalam manajemen BUMN karena membuat BUMN tidak kompetitif. Tetapi menutup rapat BUMN dari publik juga bukan tindakan yang bijak. Oleh karena itu RUU KIP harus mengatur secara rinci beberapa aspek yang dapat diakses oleh publik, seperti pengadaan barang dan jasa, proses privatisasi, rencana korporat dan pergantian direksi dan komisaris serta laporan keuangan dan kinerja BUMN.

IHSG dewasa ini, balon atau baja?

Bisnis Indonesia

Indeks harga saham gabungan (IHSG) Bursa Efek Jakarta pernah bergejolak berjangka menengah sampai panjang dari 200 menjadi 600, kembali ke 200, naik lagi ke 600, lalu kembali ke 200. Indeks ini kemudian meningkat terus sampai terakhir menyentuh posisi 2.400 pekan lalu.

Posisi indeks ini kembali terkoreksi cukup dalam menjadi 2.298,41 pada akhir pekan lalu. Level ini turun 66,85 poin dari posisi sebelumnya.

Seperti diketahui, IHSG mencerminkan tingkat harga seluruh saham yang dihitung dengan formula tertentu, sehingga bisa dianggap sebagai harga rata-rata seluruh saham yang diperdagangkan di BEJ.?

Apakah IHSG yang demikian tinggi itu merupakan kebanggaan tentang kesehatan dan kekuatan perekonomian nasional bagaikan baja, ataukah gelembung yang isinya kosong dan setiap saat bisa meletus dan kempes? Biasanya tidak mendadak, melainkan trend-nya menurun terus.

Seiring dengan itu, nilai rupiah melemah. Kalau momentum itulah yang tercermin dari menurunnya IHSG dan nilai rupiah selama seminggu lalu, trend penurunan ini bisa berlangsung lama, yang semakin hari semakin drastis, seiring dengan tercapainya momentum kepanikan.

Diskusi menarik

Marilah kita simak diskusi yang menarik antara Djadjang (Dj) dan Mamad (M) yang fiktif, tetapi mempunyai kadar realita yang tinggi. Mereka berdua bersahabat sejak Sekolah Dasar.

Setelah tamat Sekolah Menengah Umum (SMU), Djadjang belajar ekonomi di universitas yang paling terkenal. Dia kemudian bekerja sebagai dosen dan peneliti. Sekarang Djadjang menjadi profesor doktor di bidang ilmu ekonomi dan beberapa kali diangkat menjadi menteri.

Sementara itu, Mamad menjadi anak jalanan. Dengan logika yang diberikan Tuhan dan secuil pengetahuannya dari SMU, dia bekerja di perusahaan pialang saham. Mamad kemudian mempunyai perusahaan pialang sendiri.

Berikut diskusi antara Djadjang dan Mamad.

Dj: Mad, aku tidak mengerti mengapa banyak kritik terhadap perekonomian kita. Indikator ekonomi makro bagus, nilai tukar rupiah stabil, dan inflasi terkendali. Kok dikatakan sektor riil sekarat, kemiskinan dan pengangguran meningkat.

Kamu kan dibesarkan dalam dunia jual-beli saham.

Saham-saham itu kan mewakili kepemilikan dalam perusahaan. Kalau harga saham meningkat, nilai perusahaan pun meningkat. Dan kalau nilai perusahaan-perusahaan meningkat, perekonomian seluruh negara kan juga meningkat terus?

M: Ya itu teorinya. Tapi kita pernah mengalami IHSG naik-turun tanpa adanya laba perusahaan-perusahaan publik yang bergejolak. Engkau pasti sering membaca istilah 'penggorengan saham'.

Dj: Ya, sering sekali, bahkan ada yang bilang para penggoreng saham itu pasti untung. Keuntungan tersebut tidak kira-kira besarnya. Mereka bukan spekulan, karena yang menaikkan harga saham adalah mereka sendiri. Prosesnya gimana sih?

M: Lho, yang begini ini tidak kau ajarkan kepada mahasiwamu ya?

Dj: Jelas tidak. Bahan kuliah saya dari buku-buku teks bahasa Inggris yang tidak sepenuhnya saya kuasai. Maka saya sendiri menjadi tidak mengerti dan sebenarnya juga tidak percaya adanya? orang-orang lihai yang kau namakan 'penggoreng saham' itu. Itu cerita mitos. Coba jelaskan bagaimana prosesnya yang persis?

M: Untung saya tidak melanjutkan studi sampai universitas seperti kamu. Kalau tidak, saya kan hanya makan gaji yang pas-pasan seperti kamu.

Penggorengan saham itu bukan mitos Djang. Prosesnya begini. Para penggoreng itu melakukan transaksi aspal, yaitu asli tapi palsu.

Asli karena orang-orang suruhannya atau yang dikenal dengan nama nominee benar-benar melakukan pembelian yang dicatat dan harga yang terjadi diumumkan. Berarti ada penjualnya yang asli juga dalam arti melakukan transaksi penjualan.

Tapi, baik pembeli maupun penjual, orang-orang suruhan sang pemodal besar yang dipakai untuk menggoreng. Maksudnya, menciptakan harga yang meningkat terus.

Penggoreng itu membeli bagian terbesar dari saham-saham perusahaan tertentu yang dijadikan target. Penggoreng juga mempunyai perusahaan pialang saham.

Saham-saham milik dia dijual oleh pegawai si A dengan harga lebih tinggi dari yang sedang berlaku. Pembelinya si B dan juga pegawainya. A dan B inilah yang disebut nominee.

Terus transaksinya dilakukan melalui perusahaan pialang milik sendiri. Jadi, A dan B membayar komisi kepada perusahaan pialang yang milik penggoreng. Jumlah saham penggoreng tidak berkurang dan tidak bertambah.

Uang yang dikeluarkan? nominee A dan nominee B, sebagai pembayaran komisi jual-beli kepada pialang, masuk ke dalam perusahaan pialang milik sang penggoreng. Tidak ada yang berubah, kecuali harga saham-sahamnya yang terus-menerus meningkat.

Dj: Secara teoretis tidak mungkin Mad. Ini karena pemodal besar itu hanya bisa melakukan seperti yang kaukatakan kalau dia memiliki saham-saham yang akan 'digorengnya' dalam jumlah yang signifikan untuk membentuk harga.

Kalau tidak, para pemain lainnya kan tidak dalam penguasaannya? Dan kalau jumlah saham dalam satu perusahaan publik melampaui persen tertentu, dia harus lapor, yang terus ada tindak lanjutnya untuk melindungi investor lainnya. Namanya 'kewajiban disclosure.'

M: Lho, teori lagi. Tadi sudah saya katakan bahwa penggoreng itu menggunakan banyak nominee. Para nominee itu pegawai dari sang penggoreng.

Merekalah yang secara resmi memiliki saham dari satu perusahaan publik tertentu yang dijadikan target penggorengan. Jumlah saham yang dimiliki oleh masing-masing nominee tidak melampaui batas aturan disclosure.

Dj: Terus maksudnya penggoreng menaikkan harga saham-saham perusahaan targetnya apa, kalau jumlah saham yang dimilikinya tidak bertambah dan tidak berkurang?

M: Djang, penggoreng itu orang dagang. Maksudnya ya jelas mau cari untung. Maka kalau dia merasa sudah waktunya, saham-saham itu dijual dengan harga tinggi hasil gorengannya.

Dj: Bagaimana mungkin? Siapa yang mau membeli?

M: Tadi kan saya katakan, jumlah saham yang dia miliki tidak 100% dari semua saham yang diperdagangkan di BEJ. Misalnya 70%. Yang 30% diperjual-belikan oleh para spekulan amatiran.

Mereka ini yang nanti akan membeli dengan harga yang berlaku, yang sudah menjadi tinggi. Harga saham yang menjadi tinggi itu tidak ada hubungan sama sekali dengan kesehatan perusahaan, apalagi dengan kesehatan ekonomi nasional yang selalu engkau gembar-gemborkan.

Dj: Lha saya selalu mengajarkan harga saham yang meningkat berarti perekonomian nasional juga meningkat. Kalau gitu salah ya Mad?

M: Ya jelas salah. Kamu itu profesor kodok Djang.

Dj: Apa maksudmu?

M: Begini. Di pinggir kali ada seorang profesor doktor yang sedang menjadi menteri seperti kamu. Di situ ada kodok dan ada seorang anak kecil berumur enam tahun. Ada juga anak jalanan berusia 14 tahun.

DPR Minta Pemerintah Tegas soal Investor Tol

JAKARTA, investorindonesia.com

DPR meminta Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto tegas soal calon investor jalan tol yang pada kenyataannya tidak mampu memenuhi syarat untuk mengikat kerja sama dengan bank (financial closing).

"Seharusnya kalau memang tidak sanggup diputus saja, sebab dengan ulah mereka negara akan dirugikan," kata anggota Komisi V DPR, Nusyirwan Soedjono di Jakarta, Minggu.

Sebab dengan ulah pengusaha yang sengaja mengulur waktu berarti menutup kesempatan kepada usahawan yang potensial untuk masuk. Apalagi sebagian besar dari calon investor tol tersebut merupakan penerusan proyek lama yang terhenti akibat krisis ekonomi.

“Wajar apabila bank tidak berani mengucurkan kredit mengingat sebagian besar investor tersebut erat kaitannya dengan pemerintahan Orde Baru. Kemudian patut dipertanyakan kemampuan mereka dalam menyediakan dana sebesar 30% dari nilai investasi,” paparnya.

Menurut Nusyirwan, pemerintah seharusnya mengacu kepada dokumen Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT) yang mengharuskan investor yang sudah menandatanganinya untuk melaksanakan Kesepakatan kredit dengan bank sekurang-kurangnya enam bulan, serta perpanjangan hanya diberi waktu sampai tiga bulan saja.

"Sehingga saya tidak habis mengerti apabila sudah lebih dari sembilan bulan kemudian masih diberi toleransi. Itu sama saja memberi kesempatan untuk melakukan percaloan (mencari mitra investor yang punya uang," ujarnya.

Nusyirwan mengatakan, masyarakat boleh menilai kenapa empat investor yang seharusnya default kini bisa mencapai kesepakatan dengan bank di saat terakhir mendapat pinalti (denda atau hukuman) dari pemerintah.

Empat investor tersebut PT Lintas Marga Sedaya pemegang konsesi Cikampek - Palimanan; PT Pejagan -Pemalang Tol Road pemegang konsesi tol Pejagan -Pemalang; PT Pemalang Batang Tol Road pemegang konsesi Pemalang - Batang, dan PT Marga Setia Puritama pemegang konsesi Batang - Semarang. (ant/gor)