Selasa, 24 Juli 2007

Corporate Social Responsibility dan Imbal hasil saham

CSR & Imbal hasil saham

Sekitar 150 tahun lalu, perusahaan merupakan entitas yang relatif tidak signifikan. Tetapi saat ini, perusahaan berubah menjadi hal yang jelas, dramatis, dan kehadirannya menyelusup dalam seluruh kehidupan kita. Perusahaan bahkan telah mendominasi kehidupan kita. Entitas legal perusahaan yang berada di bawah hukum saat ini dianggap sebagai orang, dan kemudian orang tersebut dengan mendasarkan pada kepribadian dan karakteristiknya dapat pula bersikap sebagai psikopat (sakit jiwa).
Joel Bakan, dalam buku The Pathological Pursuit of Profit and Power (2005), menyindir bahwa perusahaan adalah psikopat. Hal ini karena: Pertama, tidak memiliki rasa tanggung jawab mengingat perusahaan mengesampingkan risiko-risiko lainnya dalam pengejaran tujuan mereka sendiri. Kedua, manipulatif karena perusahaan acap kali memanipulasi opini orang untuk mengejar tujuan mereka. Ketiga, megah (grandiose) karena perusahaan selalu menuntut hal terbaik. Keempat, sembrono karena sering ditemukan perusahaan menolak bertanggung jawab atas berbagai tindakannya.
Kelima, kejam karena jika berbuat kesalahan, perusahaan tidak bisa merasakan penyesalan. Keenam, dangkal (superficial) karena perusahaan sering menjalankan kegiatan yang terkait dengan lima hal di atas. Artinya, selalu tidak mencerminkan perusahaan yang sebenarnya. Poin penting yang bisa diambil dari sindiran itu adalah semua perusahaan sebagai psikopat dan hampir semua struktur organisasi perusahaan mengarah pada penciptaan psikopat. Hal tersebut kelihatan sederhana, karena tujuan dasar perusahaan adalah menciptakan keuntungan dan meningkatkan nilai saham, sedangkan hal lainnya menjadi tujuan berikutnya.
Satu-satunya tanggung jawab direksi, manajer, dan karyawan perusahaan adalah melayani kepentingan pemegang saham. Kepentingan pemegang saham seringkali hanya meningkatkan nilai saham mereka. Semangat mementingkan orang lain dan melaksanakan tanggung jawab sosial tidak meningkatkan garis dasar perusahaan. Kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibilities/ CSR) hanya bualan dalam laporan tahunan dan upaya public relations. Hal ini karena perusahaan pada hakikatnya tetap mengejar tujuan dasarnya, yaitu pengumpulan profit.
Pemikir sekelas Milton Friedman, Noam Chomsky hingga Peter Drucker percaya bahwa apa yang disebut moralitas baru dalam dunia bisnis pada kenyataannya tidak bermoral. Hanya ada satu tanggung jawab sosial perusahaan, yaitu tanggung jawab pada eksekutif perusahaan. Menurut Friedman, saat CSR bisa menjadi suatu hal yang dapat dimaklumi adalah saat tanggung jawab sosial itu bermuka dua. Eksekutif perusahaan yang memberlakukan nilai-nilai sosial dan lingkungan dalam program, berarti mereka juga memaksimalkan kekayaan pemegang saham.
Drucker sependapat dengan Friedman bahwa CSR merupakan penyimpangan yang berbahaya dari prinsip-prinsip bisnis. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa tidak semua perusahaan yang melaksanakan kegiatan CSR mengalami penyimpangan dan buruk. Beberapa tindakan CSR sering kali bahkan bisa dipercaya. Toyota, misalnya, memelopori mobil hybrid yang ramah lingkungan, setelah melakukan investasi besar-besaran di bidang riset dan pengembangan yang berbasis teknologi ramah lingkungan.
Toyota pada akhirnya memang bisa mengambil keuntungan dari lisensi atas penemuan teknologi tersebut dan menjual mobil hybrid-nya kepada masyarakat. Tetapi, yang perlu diingat adalah Toyota juga telah mempertaruhkan reputasi perusahaan dan modal yang cukup besar pada suatu risiko yang tinggi dalam kegiatan menjaga lingkungan.
CSR dan UU PT Perusahaan kini menjadi aktor penting dalam perekonomian. Karena itu, keberadaan perusahaan harus diatur dalam hukum dan hukum itu juga bisa membubarkannya.
Hukum tersebut harus bisa mendikte struktur perusahaan dan menentukan apakah tindakan perusahaan legal atau tidak. Pembentukan hukum tersebut bisa dilakukan dengan tindakan politik untuk mengubah peraturan yang telah ada sebelumnya. Di sinilah orang-orang bisa berusaha mengendalikan kekuatan perusahaan atau setidaknya memfungsikan demokrasi dengan antara lain melalui tiga hal.
Pertama, meningkatkan sistem regulasi. Hal ini bisa dilakukan dengan memberikan dukungan kepada pemerintah untuk membuat regulasi guna melindungi warga negaranya. Kedua, memperkuat demokratisasi politik seperti dalam hal pemilu, maka seharusnya dikembalikan pada pemilihan langsung oleh publik. Hal ini dapat mengeliminasi manipulasi politik, seperti sogokan pendanaan.
Ketiga, menciptakan ruang publik yang sempurna dan melindungi beberapa kepentingan umum terhadap kepentingan kapitalis. Standar akutansi keuangan di Indonesia belum mewajibkan perusahaan untuk mengungkapkan informasi sosial, terutama mengenai tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan atau akibat lain yang terjadi dari kegiatannya.
Namun, bagi perusahaan yang mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya, pengungkapan kegiatan sosial seperti CSR telah diatur dalam Peraturan Bapepam No. KEP-13/BL/2006 tangal 7 Desember 2006 sebagai pengganti Peraturan Bapepam No. KEP-38/PM/1996. Peraturan Bapepam itu diupayakan memberikan gambaran yang jelas tentang kinerja manajemen kepada publik. Peraturan tersebut diharapkan dapat membuat manajemen mengungkapkan informasi lain di luar yang telah diwajibkan. Kondisi tersebut bisa terjadi selama perusahaan akan memperoleh manfaat yang lebih besar daripada biaya yang dikorbankan.
Sejumlah penelitian tentang manfaat pengungkapkan kegiatan sosial, seperti CSR, telah dilakukan. Hasil dari penelitian-penelitian tersebut membuktikan bahwa hal itu berdampak positif terhadap profitabilitas perusahaan maupun imbal hasil saham. Informasi kegiatan CSR itu akan membentuk kepercayaan baru yang dapat mendorong atau malah mengubah ekspektasi para investor terhadap keputusan untuk menahan, menjual, atau membeli lagi saham perusahaan.
Philip Kotler dan Nancy Kotler dalam Corporate Social Responsibility, Doing the Most Good for Your Company and Your Cause (2005) menuliskan bahwa secara praktis menunjukkan bagaimana perusahaan memaksimalkan tingkat pengembalian investasi melalui sejumlah kegiatan dan inisiatif sosial yang berdampak positif bagi masyarakat dan lingkungannya. Dampak positif
Saya bersama mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Manajemen, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Arie Widodo, saat ini mengkaji kegiatan CSR, kinerja perseroan, dan imbal hasil saham dengan menggunakan purposive sample pada perusahaan nonkeuangan yang tercatat di BEJ pada 2006. Hasil sementara menunjukkan bahwa kegiatan CSR berbanding positif dengan kinerja perusahaan dan juga imbal hasil saham. Penelitian itu dalam tahap penyempurnaan melalui serangkaian penambahan variabel, perbaikan model, dan event studies.
Perusahaan, pada dasarnya, mengungkapkan informasi sosial, termasuk CSR, dengan tujuan membangun image pada perusahaan dan mendapat perhatian masyarakat. Perusahaan memerlukan biaya dalam rangka melakukan dan memberikan informasi kegiatan sosial, sehingga laba yang dilaporkan dalam tahun berjalan menjadi lebih rendah.
Ketika menghadapi visibilitas politis yang tinggi, perusahaan cenderung mengungkapkan informasi kegiatan sosial. Perusahaan besar yang menjadi perhatian masyarakat akan cenderung diawasi dan kemudian lebih banyak mengungkapkan informasi CSR dibandingkan dengan perusahaan kecil. Jadi, pengungkapan informasi kegiatan sosial perusahaan berhubungan positif dengan kinerja sosial, kinerja ekonomi, dan visibilitas politis.
Pengungkapkan kegiatan sosial akan berhubungan negatif dengan tingkat utang perusahaan. Semakin tinggi rasio utang suatu perusahaan, akan semakin rendah pengungkapan kegiatan sosial.
Hal ini karena terdapat kemungkinan perusahaan akan melakukan pelanggaran, misalnya, pelanggaran kredit. Dengan demikian, perusahaan harus menyajikan laba yang lebih tinggi saat sekarang dibandingkan dengan di masa depan. Untuk menampilkan performa laba tinggi, perusahaan akan mengurangi sejumlah biaya, termasuk di antaranya biaya kegiatan sosial, yang dalam hal ini CSR.
Kita semua menunggu sejauh mana perusahaan sudah melaksanakan aktivitas sosial guna terpenuhinya hak masyarakat untuk hidup aman dan tentram, untuk kesejahteraan karyawan, dan keamanan mengkonsumsi produk perusahaan. Karena itu, wajar jika saat ini DPR-dengan pihak terkait- menyempurnakan UU PT 1995 dan terutama sekali penegasan tentang kewajiban CSR kepada perusahaan yang melakukan bisnis yang terkait dengan sumber daya alam.
Perusahaan yang bergerak di bisnis lain juga, tentu saja, selayaknya melakukan CSR. Ini perlu penekanannya, karena kenyataan menunjukkan bahwa perusahaan sering mengabaikan kegiatan SCR. Hal ini mengingat kebanyakan perusahaan berpikiran bahwa hubungan antara perusahaan dan lingkungannya bersifat nonreciprocal, di mana transaksi keduanya tidak menimbulkan prestasi imbal balik.
Padahal, pelaksanaan CSR diyakini tidak akan memberatkan perusahaan, karena diperhitungkan sebagai biaya. Melalui pelaksanaan CSR, perusahaan diharapkan akan berbagi, ikut membangun dan mengajak masyarakat setempat merasakan manfaat kehadiran perusahaan sehingga, baik masyarakat maupun perusahaan, akan saling menghormati dan tercipta ketenangan.
Sangat terbuka CSR justru akan membawa keuntungan bagi perusahaan maupun imbal hasil saham kepada investor. Hanya saja jangan sampai aplikasi CSR salah arah dan akhirnya memberatkan dunia usaha.

oleh : Rofikoh RokhimEkonom Bisnis Indonesia
Sumber: www.bisnis.com, 23 Juli 2007