Selasa, 14 Agustus 2007

Divestasi BNI untuk siapa?

Selasa, 14/08/2007 09:51 WIB

Be wise and positive on BNI news. However, it's about Rp8,1 trillion and near due date. Don't ruin the situation. Let's help our government!

Itu isi pesan singkat (SMS) yang dilayangkan seorang teman ketika Bisnis mencoba mengkritisi murahnya harga divestasi 3,95 miliar saham PT Bank Negara Indonesia Tbk.

Tanpa kritik itu, sebenarnya semua orang juga mengetahui kalau saham BNI diobral murah karena dijual pada harga terendah, Rp2.050, dari kisaran harga yang ditetapkan semula Rp2.050-Rp2.700 per saham.

Kondisi bursa saham global yang terpuruk dianggap sebagai biang kerok rendahnya harga divestasi itu oleh Meneg BUMN Sofyan Djalil dan penjamin pelaksana emisi PT Bahana Securities, dan dibantu JP Morgan Securities.

Lalu dengan kondisi bursa saham yang terganggu, apakah negara Indonesia tidak layak mendapatkan hasil divestasi saham BNI dengan harga yang lebih optimal? Selain kondisi bursa saham yang lagi jelek, kisaran harga saham BNI dinilai terlalu lebar dengan batas atas yang terlalu tinggi Rp2.700 per saham.

Entah atas dasar pertimbangan apa pemerintah dan penjamin emisi memutuskan kisaran harga tersebut, tetapi batas atas itu harganya tak jauh berbeda dengan harga saham BNI di pasar. Padahal, Bahana Securities dan Sofyan Djalil sepakat menyatakan harga pasar BNI tidak mencerminkan fundamental yang sesungguhnya. Pada saat harga penawaran BNI diumumkan ke publik pada 16 Juli, harga pasar saham bank BUMN itu mencapai Rp2.562 per saham.

"Kalau harga pasar saham BNI diyakini tidak mencerminkan fundamental yang sesungguhnya, kenapa batas atas harga divestasi mendekati harga pasar saat itu [yang dianggap tidak mencerminkan fundamental yang sesungguhnya]?" tutur satu analis saham bank.

Setelah pengumuman kisaran harga divestasi tersebut, harga saham BNI di pasar terus mendaki secara bertahap hingga mencapai puncaknya pada 25 Juli. Harga pasar saham BNI pertama kali melonjak mendekati Rp2.000 ketika ditutup pada 9 April dari level penutupan sebelumnya Rp1.744.

Padahal, menurut riset Danareksa Sekuritas yang dirilis 4 Juli, dengan asumsi menggunakan model pertumbuhan Gordon, estimasi valuasi wajar harga saham BNI tahun ini di kisaran Rp2.020-Rp2.315 per saham, mencerminkan 1,68-1,47 kali price to book value (PBV) dan 14,9 kali PBV.

Lonjakan harga pasar saham BNI menjelang divestasi seperti golok bermata dua. Di satu sisi, harga pasar yang lebih tinggi dibandingkan harga divestasi menjadi pemanis bagi pemodal untuk membeli saham BNI pada harga divestasi karena mereka berpeluang mendapatkan gain besar, asalkan harga pasar itu bisa dipertahankan sedemikian rupa lebih tinggi dari harga divestasi.

Di sisi lain, harga pasar bisa menjadi pemicu kegagalan divestasi saham BNI jika jatuh di bawah harga divestasi karena pemodal tidak tertarik lagi membeli saham divestasi karena tidak mendapat gain.

"Buat apa membeli saham BNI pada harga divestasi [Rp2.050] kalau harga pasarnya sudah jatuh di bawah level itu," tutur analis itu.

Apalagi, dengan jeda waktu yang lama antara penetapan harga final dan penyelesaian transaksi membuka celah bagi pemodal untuk melepas saham BNI yang dibeli pada harga divestasi ke pasar dengan volume besar karena harga pasar masih sedikit lebih tinggi.

Kondisi itulah yang terjadi dengan saham BNI saat ini. Makanya, penjamin emisi dan pemerintah, dan manajemen BNI buru-buru meminta Bursa Efek Jakarta menghentikan sementara (suspend) saham BNI mulai sesi pertama perdagangan 8 Agustus-10 Agustus karena khawatir terjadi short selling.

Pemerintah, penjamin emisi, dan BNI khawatir harga pasar saham BNI terus merosot hingga di bawah level Rp2.050 pasca-rights issue akibat tekanan jual bervolume besar yang berharap mendapatkan sedikit gain.

Pemerintah Indonesia mempunyai kesempatan menunda pelaksanaan divestasi BNI atau memangkas jumlah saham yang dijual. Toh, Sofyan Djalil masih memiliki waktu lima bulan untuk menutup target privatisasi Rp4,7 triliun.

Saat jumpa pers pengumuman harga divestasi BNI, Komisaris Utama Bahana Securities Ito Warsito menegaskan pemerintah tidak dapat menunda divestasi BNI karena terikat pemenuhan setoran APBN.

Salah satu pejabat di Kementerian BUMN berpendapat lain. Kalau divestasi BNI ditunda, citra pemerintah akan berkurang di mata investor karena hampir tiga tahun privatisasi BUMN absen di pasar internasional. "Kalau privatisasi BNI ini [pertama setelah lama beku dan pertama bagi Sofyan Djalil] ditunda, citra pemerintah akan jelek," tuturnya.

Mungkin pendapat itu ada benarnya. Tetapi, satu bankir investasi asing menambahkan porsi saham divestasi BNI sebenarnya bisa dipangkas, misalnya 20% saham dilepas melalui penawaran umum kedua dan selebihnya dijual melalui penjualan langsung ke pasar seperti placement saham Perusahaan Gas Negara.

Langkah itu, selain menghindari kondisi bursa saham yang jelek akibat krisis pasar subprime mortgage (sekuritisasi kredit pemilikan rumah berkualitas rendah) di AS, juga dapat mengoptimalkan hasil divestasi dan setoran privatisasi.

Meskipun bertujuan mengoptimalkan setoran privatisasi, langkah itu juga berisiko apabila krisis pasar saham global berkepanjangan.

Di sinilah kemampuan penjamin emisi BNI untuk menjual dan menentukan waktu yang tepat masuk pasar sedang diuji, apalagi fee penjamin emisi di kisaran Rp184 miliar-Rp200 miliar.

Namun, Dirut BNI Sigit Pramono berpendapat lain. "Kalau divestasinya ditunda, calon investor itu harus dihubungi lagi ketika BNI dilepas lagi."

Kalau jumlah sahamnya dikurangi, tuturnya, berarti jumlah pemesanan dari investor juga berubah.

Setelah melalui masa penawaran, 3,47 miliar saham BNI kemarin mulai masuk ke pasar. Namun, seperti diduga sebelumnya, harga saham BNI langsung anjlok ke level Rp1.975, turun Rp75 dari harga divestasi.

Padahal, pencatatan perdana saham BNI kemarin ditunggu banyak pihak. Tak hanya manajemen BNI dan pemerintah, tetapi pemodal, termasuk sejumlah wartawan yang mendapat alokasi untuk membeli saham BNI dalam program divestasi, berharap memetik gain di hari pertama pencatatan. Sayangnya, menjelang penutupan, harga saham BNI tak kembali ke Rp2.050 dan hanya bertengger di Rp2.000.

Reputasi JP Morgan

Tak hanya pemodal yang khawatir harganya turun lagi, reputasi JP Morgan, yang ditunjuk pemerintah sebagai agen stabilisator harga saham BNI di pasar dalam 30 hari ke depan, juga dipertaruhkan. Kalau harga saham BNI hari ini ditutup belum kembali ke Rp2.050, pemodal tentu kurang gembira karena mereka berharap gain.

Ikhsan Binarto, analis saham PT Optima Investama, mengatakan penurunan harga saham BNI sudah bisa diprediksi sebelumnya.

"Selain kondisi pasar global yang kurang kondusif, pemodal tidak yakin dengan BNI setelah melihat pemerintah yang melepas saham bank itu dengan harga diskon. Apalagi, porsi institusi asing hanya sedikit [29,10%]. Kondisi itu mengurangi kepercayaan pemodal lokal," tuturnya.

Investor yang menjual saham BNI kemarin karena khawatir harga sahamnya anjlok lagi. Seharusnya, ujar Ikhsan, stabilisator saham BNI menarik ke atas dulu untuk meningkatkan kepercayaan pemodal.

Bahkan, dia memprediksi harga saham BNI sulit naik ke level Rp2.300 karena volume saham yang keluar ke pasar terlalu besar, sehingga dibutuhkan dana banyak.

Satrio Utomo, Head of Research PT Recapital Securities Indonesia, mengatakan penurunan harga saham BNI kemarin karena investor terlalu banyak membeli saham BNI dan kini mereka butuh dana, sehingga keluar dari pasar. Namun, kondisi ini diperkirakan hanya berlangsung dua hingga tiga hari.

Potensi kenaikannya cukup besar karena harga divestasi mencerminkan price to book value (PBV) yang rendah 1,8 kali. Padahal, rata-rata PBV saham bank 2,9 kali dan PBV saham Bank Mandiri 2,4 kali.

Di mata pemodal, harga penawaran kedua BNI yang murah ini, tentu berpotensi memberikan gain besar. Baik bagi investor, belum tentu bagi buat Pemerintah Indonesia.

Gara-gara harga divestasi BNI yang murah, setoran target privatisasi Rp4,7 triliun gagal dicapai.

Sofyan Djalil justru mengatakan diskon harga saham BNI itu lebih baik bagi investor. Bukankan Meneg BUMN merupakan wakil dari penjual yang lazimnya menginginkan harga yang lebih tinggi? Kalau bukan untuk negara, lalu divestasi BNI untuk siapa lagi?

Wisnu Wijaya
Wartawan Bisnis Indonesia
(wisnu.wijaya@bisnis.co.id)

Pendapatan BUMN 2007 lampaui target

Selasa, 14/08/2007 09:44 WIB

JAKARTA (Antara): Pendapatan perusahaan BUMN terutama perbankan dan pertambangan serta BUMN yang semula merugi, pada 2007 dipastikan melampaui target yang ditetapkan sebelumnya.

"Saya yakin pendapatan sebelum pajak BUMN sebesar Rp88 triliun akan tercapai," kata Sekretaris Kementerian Negara BUMN Muhammad Said Didu di Jakarta hari ini.

Ia mengatakan, khusus untuk BUMN perbankan menunjukan bahwa semua bank BUMN memiliki indikator perbankan yang positif. Di mana semua bank BUMN dipastikan mampu melampaui kenaikan target pendapatan sebesar 22,5% berarti pendapatan sebelum pajak sebesar Rp88 triliun.

"Semua bank BUMN mampu lampaui target 22,5%," katanya.

Selain BUMNB perbankan, BUMN pertambangan juga dipastikan mengalami pertumbuhan yang amat baik sehingga dimungkinkan untuk meraih pendapatan yang jauh melampaui target.

"Bahkan perusahaan BUMN yang rugi juga sudah jauh berkurang. Contohnya Garuda sekarang mampu mencapai laba sebesar Rp148 miliar," katanya.

Sedangkan BUMN perkebunan juga diperkirakan mengalami hal serupa pada kurun semester kedua 2007. Pendapatan sebelum pajak perusahaan BUMN untuk 2008 ditingkatkan menjadi Rp100 triliun.

oleh : Djony Edward

www.bisnis.com