Senin, 16 Juli 2007

BUMN Sulit Lepas dari Intervensi Politik


JIKA dibandingkan dengan pendahulunya, Menteri BUMN Sofyan Djalil terlihat lebih bertindak tegas dalam menangani pengelolaan BUMN yang tak pernah usai dari masalah. Persoalan pokok yang ada dalam tubuh BUMN adalah intervensi politik yang kental dan friksi internal yang menyebabkan anjloknya kinerja BUMN tersebut.GEJALA itu terasa semakin kuat jika menjelang pemilu dengan maraknya pergolakan internal dan pergantian direksi yang tidak berdasarkan asas-asas profesionalisme. Dengan digantinya menteri lama dalam perombakan jilid dua awal Mei lalu, konteks dan dinamika politik eksternal dan internal masih sulit diatasi. SofyanDjalil yang tidak berasal dari partai politik tertentu tidak lepas dari stigma politis tersebut. Apalagi, ia dikelompokkan dalam faksi Presiden Yudhoyono. Kedekatannya dengan Presiden menjadi pusat sorotan dalam pengelolaan BUMN kini. Apakah ia condong memenuhi 'kebutuhan' faksi politik Presiden atau 'independen' sepenuhnya layaknya lembaga bisnis modern. Tarikmenarik Tidak duduknya politisi partai sebagai Menteri BUMN dalam era kabinet SBY-JK cukup menarik. Pada periode pemerintahan sebelumnya, kinerja menteri partai seperti laksamana dinilai telah menimbulkan dampak yang luas bagi eksistensi lembaga-lembaga bisnis milik negara. Tapi, tindakan SBY yang menempatkan Sugiharto juga tidak berjalan mulus hingga lima tahun. Sugiharto, orang profesional yang sempat di PPP, ternyata dilihat kekuatan-kekuatan politik utama pemerintah tidak maksimal. Dari semua pernik-pernik pengelolaan BUMN dari Pertamina hingga Bulog, persoalan utama muncul dari kuatnya intervensi politik partai politik atau kekuatan-kekuatan politik yang mengendalikan pemerintahan dan legislatif hari ini.Jika bertahun-tahun tidak menghasilkan laba bahkan rugi sehingga disubsidi negara, BUMN tersebut dalam kondisi 'sakit'. Solusi paling tepat adalah privatisasi. Namun, pilihan itu di tolak partai politik untuk carut-marutnya pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di negeri ini.Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 15-24 Maret 2007 menegaskan hal tersebut. Penolakan partai politik itu cukup besar sekalipun angkanya belum sampai pada mayoritas absolut 50% plus satu. Partai-partai Islam dan partai berbasis massa muslim PKS, PPP, PAN, PKB, dan partai sekuler PDI Perjuangan memiliki angka penolakan 35%-37%. Partai Golkar dan Partai Demokrat lebih kecil, yaitu masing-masing 32%. Lima partai pertama berada pada barisan yang agak kritis pada privatisasi, bahkan cenderung anti, sekalipun praktik-praktik elitenya bertolak belakang.Angka tidak tahu masih lebih besar daripada yang setuju maupun tidak setuju dengan kisaran 47%. Itu menunjukkan publik tidak banyak tahu tentang privatisasi apalagi penjelasan yang bersifat ilmiah. Di sini, partai politik gagal menjalankan fungsi sosialisasi politik dan komunikasi politik untuk memberikan pemahaman yang mendalam tentang kebijakan privatisasi dan gunanya bagi pembangunan ekonomi yang sehat. Keengganan partai politik sebenarnya dapat dibaca sebagai 'upaya politis' untuk menghindari ketidakpopuleran di mata pemilih karena stigma privatisasi yang disalahpahami sebagai 'penjualan ke tangan asing' semata. Sentimen politis menjadi alat efektif untuk terus mempertahankan ke, beradaan BUMN sekalipun secara ekonomis tidak layak dan sangat membebani keuangan negara.Secara empiris kita bisa menilai partai-partai Islam dan partai berbasis massa muslim cenderung memiliki tingkat sentimen antiprivatisasi lebih tinggi daripada partai-partai sekuler. Kecenderungan itu ditandai sentimen-sentimen subjektif soal kepemilikan asing terhadap aset-aset BUMN tersebut yang lepas dari investor dalam negeri. Kasus yang paling besar, misalnya, privatisasi PT Indosat oleh Menteri BUMN Laksamana Sukardi (PDI Perjuangan) di bawah pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri (PDI Perjuangan). Kasus itu membesar dankontroversial karena dibeli Singapura. Ia ditengarai memiliki implikasi strategis bagi pertahanan dan keamanan negara Indonesia. Jalur komunikasi satelit dikontrol sepenuhnya oleh negara tetangga tersebut. Itu argumen kelompok para penentang sembari menekankan kondisi keuangan perusahaan tidaklah seburuk yang digambarkan Menteri BUMN tersebut.Oleh para politisi yang berseberangan dengan Presiden Megawati kala itu, kasus penjualan Indosat menjadi'amunisi' tambahan untuk menggerogoti popularitas sang Presiden. Itu berhasil karena sejak itu tidak ada lagi BUMN 'besar' yang diprivatisasi. Kebijakan itu dilanjutkan Presiden Yudhoyono yang cenderung tidak menunjukkan langkah privatisasi yang jelas.Ketakutan politik akan kehilangan popularitas tampaknya menjadi pertimbangan utama untuk tidak menyentuh wilayah sensitif tersebut. Itu berseberangan dengan Wakil Presiden Jusuf Kala dengan pertimbangan-pertimbangan ekonomi cenderung untuk meneruskan privatisasi. Alasannya, untuk membangun sistem perekonomian yang sehat. Oleh karena itu, mudah diduga, sikap setuju Partai'Golkar paling tinggi jika dibandingkan dengan partai-partai lain, termasuk partai Presiden Yudhoyono. Ada 24%) pemilih Partai Golkar yang setuju dengan privatisasi dan disusul Partai Demokrat sebesar 22%. PDI Perjuangan yang banyak mengeluarkan retorika antiprivatisasi bertengger di urutan ketiga dengan angka 19%. Selebihnya berkisar pada 16%-18%.Dengan diangkatnya Sofyan Djalil sebagai Menteri BUMN, bukan politis partai, semakin meneguhkan ketidakpercayaan pada partai politik. Pertama, dapat dipandang sebagai 'pagar' agar BUMN tidak dieksploitasi partai politik. Positifnya, BUMN mendapat jarak yang memadai untuk menata lingkungannya dengan mengabaikan kepentingan politik tertentu. Kedua, peluang privatisasi tetap ada karena sebuah kebutuhan dan sesuai dengan kaidah-kaidah perusahaan yang sehat. Banyaknya BUMN yang merugi, padahal mereka telah beroperasi puluhan tahun, mengindikasikan kebutuhan privatisasi tersebut agar tidak menjadi 'sapi perahan' yang tak pernah berhenti. Ketiga, tingginya angka penolakan privatisasi oleh partai dapat dijawab 'orang profesional' dengan alasan-alasan bisnis sehingga BUMN tidak terjerumus ke dalam lubang kerugian puluhan kali. Dampaknya adalah se.cara pelan-pelan partai politik akan menyadari intervensi yang tak berkesudahan hanya akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan ekonomi.Ditolak LSI juga menunjukkan adanya perbedaan yang tinggi antara harapan publik dan persepsi publik atas privatisasi BUMN. Hampir semua pemilih memersepsikan partai-partai politik tidak mewakili aspirasi mereka tentang privatisasi. Hanya satu dari sepuluh orang yang merasa sebaliknya. Tingginya angka penolakan privatisasi publik itu menyulitkan partai politik, termasuk Partai Golkar dan Partai Demokrat. Kedua partai politik itu memiliki perbedaan tertinggi, yaitu 90%. Lima partai lainnya berkisar pada 80%-84% saja. Selisihnya 6%. Apakah angka itu berpengaruh pada perolehan suara dalam Pemilu 2009 nanti? Belum ada bukti. Tapi, jika PDI Perjuangan pada Pemilu 2004 lalu dijadikan contoh, hal yang sama dapat diperkirakan bagi partai politik yang memilih jalan privatisasi. Kalau partai memandang ketidaksetujuan itu karena pemilihtidak mengetahui masalah, partai selama ini gagal menjelaskan dan meya¦ kinkan publik bahwa privatisasi adalah kebijakan yang realistik bagi sehatnya ekonomi nasional. Sentimen subjektif seperti nasionalisme, 'kepemilikan asing', dan liberalisasi ekonomi menjadi idiom-idiom politis yang dikembangkan para penolak privatisasi.Kondisi empiris BUMN tidak diketahui publik secara luas, baik karena minimnya kinerja direksi, tebalnya 'kabut politik' yang melingkupi, ataupun kurangnya akses informasi publik terhadap perusahaan-perusahaan tersebut. Pengetahuan publik baru meningkat ketika terjadi konflik internal BUMN yang mendapatkan porsi pemberitaan ' yang luas. Kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah warna dominan dalam tubuh BUMN. Profesionalisme yang mati dan kuatnya intervensi politik dalam menentukan posisi direksi dan keputusan-keputusan perusahaan menjadi gejala riil dalam perjalanan BUMN. Sederetan kasus, seperti PT Jamsostek, Pertamina, dan Garuda Indonesia menjadi contoh nyata. Perusahaan-perusahaan Umum, seperti Badan Urusan Logistik (Bulog) dan Televisi Republik Indonesia (TVRI) hingga kini masih dililit masalah yang tak kunjung dapat diselesaikan.Kondisi-kondisi riil itu tidak dapat dijelaskan denganbaik olehpartai politik. Karena itu, publik tetap tidak tahu realitas sesungguhnya. Publik juga tidak dapat mengerti secara rasional bahwa kebijakan privatisasi adalah langkah terbaik untuk mengatasi hal tersebut. Jika tidak, persoalan yang sama akan kembali terulang dengan pola yang tak berubah-ubah. Implikasi lebih jauh, BUMN bukannya 'mendatangkan keuntungan', tapi menjadi beban keuangan negara. Dalam laporan yang dirilis pemerintah, kurang dari 30% BUMN yang mencetak laba dan sebagian besar malah rugi dengan terus meminta subsidi dari negara. Bagi para pendukung privatisasi, keadaan itu tidak dapat dibiarkan berlarut-larut karena hanya akan memperpanjang krisis ekonomi.Jika penjelasan pertama karena ketakutan partai politik untuk berseberangan dengan publik, penjelasan lain adalah BUMN lebih menguntungkan partai karena dapat menjadi 'tambang uang' yang mudah diperoleh ketimbang berstatus swasta yang harus membayar pajak kepada Departemen Keuangan. Penentuan jabatan direksi BUMN hingga kini tidak dapat dilepaskan dari peta politik partai di pemerintah dan DPR.Oleh karena itu, 84% pemilih menyatakan partai politik tidak representatif pada aspirasi mereka dalam masalah privatisasi BUMN. Hanya 16% yang menyatakan representatif.Pandangan negatif pemilih pada privatisasi pada satu sisi menjadi 'penjara' bagi partai politik untuk menelurkan kebijakan ekonomi yang sehat. Namun, pada sisi lain, ia 'madu' untuk terus menguasai BUMN dengan berlindung di balik pandangan publik tersebut. Tidak ada keberanian yang mutlak dari partai politik untuk mengatakan proprivatisasi seperti Partai Konservatif Inggris di bawah Perdana Menteri Margareth Tatcher dan Presiden Amerika Serikat Ronald Reagen yang berasal dari Partai Republik. Keduanya mengambil posisi yang tegas dengan hasil-hasil yang dapat diukur sepenuhnya.Keinginan privatisasi Partai Golkar dan Partai Demokrat masih setengah hati karena risiko politiknya terlalu tinggi. Bukti angka 24% dan 22%) menegaskan hal tersebut. Adakah rumusan penjelasan privatisasi yang mudah dipahami publik disediakan partai politik? Tidak ada. Oleh karena itu, dapat diragukan liberalisasi ekonomi yang sebenarnya cenderung menjadi 'ideologi' kedua partai pemerintah tersebut dapat berjalan sesungguhnya. Ketiadaan sikap tegas itu menunjukkan partai pemerintah masih bertindak sama dengan partai-partai lainnya, yaitu tidak berani berseberangan dengan opini negatif publik terhadap privatisasi.Sebuah kombinasi yang unik antarpublik yang tidak tahu dengan pragmatisme partai politik untuk enggan memprivatisasi. Itulah anomali politik yang ikut menambah daftar anomali lainnya dalam kehidupan kenegaraan Indonesia. Partai tidak mau privatisasi bukan karena ia tidak tahu privatisasi sehat bagi ekonomi nasional, tapi justru karena ia tahu jika dilanjutkan hanya akan 'membunuh dirinya' di hadapan kotak suara pemilu. Ia sekali lagi gagal memberikan pendidikan politik bagi rakyat jika pendidikan tersebut tidak menguntungkan oligarki elitenya.*****Swara SKJM HS 5258
Sumber: Media Indonesia