Sabtu, 28 Juli 2007

Tanggung Jawab Sosial Paksaan atau Komitmen

Media Indonesia

KEBAJIKAN sosial bukan lagi sebuah keikhlasan, melainkan sebuah paksaan. Ia bukan lagi sesuatu yang lahir karena komitmen moral, melainkan karena diperintahkan undang-undang.
Itulah yang terjadi dengan Undang-Undang Perseroan Terbatas yang baru, yang disetujui DPR untuk disahkan, Jumat (20/7).

Pasal 74 Undang-Undang Perseroan Terbatas itu mewajibkan perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Tanggung jawab sosial dan lingkungan itu dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan. Dan, yang tidak melaksanakannya dikenai sanksi.

Indonesia pun akan termasuk negara paling hebat di dunia karena semua perusahaan yang bergerak dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam melakukan apa yang disebut sebagai corporate social responsibility (CSR). Tetapi jangan heran jika serentak dengan itu, Indonesia akan menjadi negara yang paling hebat aturan hukumnya mengenai tanggung jawab sosial perusahaan, tetapi dalam kenyataan semua itu cuma bagus di atas kertas.

Selama hukum masih dapat dibeli, selama itu pula kewajiban CSR tersebut pun dapat dibeli. Indonesia bukan negara yang kekurangan undang-undang di bidang lingkungan hidup, tetapi semua kita tahu, perusakan lingkungan dilakukan dengan terbuka dan terus terang.

Karena biaya CSR dibebankan ke dalam biaya perusahaan, pada gilirannya biaya itu akan dimasukkan ke harga jual yang membuat harga produk lebih mahal. Ujung-ujungnya merugikan konsumen.

CSR mestinya merupakan komitmen moral. Perusahaan melaksanakan CSR dengan ketulusan, karena panggilan, dan bukan karena dipaksa undang-undang.

Yang harusnya dilakukan negara adalah merangsang perusahaan untuk bergairah melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Bukan menjadikan CSR sebagai biaya, melainkan sebagai cara untuk berbagi dan membagi keberhasilan. Untuk itu, negara lantas memberi rangsangan sehingga semakin mendorong perusahaan melaksanakan CSR dengan suka hati. Bukan dipaksa undang-undang.

Dari perspektif itu, CSR mestinya dengan suka hati diambil dari laba perusahaan. Dan perusahaan yang melaksanakan tanggung jawab sosial itu sebagai komitmen moral mendapat insentif berupa pengurangan pajak sehingga mendorong perusahaan lebih bergiat melakukan CSR.

CSR sesungguhnya merupakan salah satu bagian penting paradigma baru dalam memandang pertumbuhan perusahaan. Kompetisi bukan hanya ditentukan harga, kualitas, ketersediaan, dan pesanan massal, melainkan juga kesinambungan dan kelestarian (sustainability). Dalam sudut pandang itu, CSR bukan hanya urusan perusahaan yang berkecimpung dalam mengelola sumber daya alam. Di negeri ini, justru bukan perusahaan yang bergerak di bidang sumber daya alam yang menonjol kegiatan CSR-nya. Celakanya, Undang-Undang Perseroan Terbatas yang baru seakan berasumsi bahwa perusahaan di luar sumber daya alam tidak perlu dan tidak penting melakukan CSR.

Mengatur CSR sebagai sebuah kewajiban dengan memasukkannya ke sistem hukum, jelas memperpanjang daftar yang tidak menyenangkan untuk berinvestasi di Indonesia. Tidak menyenangkan karena kebajikan sosial bukan lagi keikhlasan, melainkan paksaan. Perkara yang semestinya menjadi komitmen moral dipindahkan menjadi kewajiban hukum, yang dalam kenyataan justru dapat dibeli dengan mudah dan murah.

Tidak ada komentar: