Jumat, 29 Juni 2007

CARUT MARUT TRANS JAWA : SIAPA YANG BERMAIN ?

Hiruk pikuk rencana Pemerintah untuk menjual seluruh asset Jasa Marga yang di lontarkan Wapres dan beberapa anggota DPR pada akhir-akhir ini guna mendapatkan dengan cepat dana segar hanya melihat dari sisi bisnisnya saja, itu pun tanpa adanya kajian yang mendalam tentang fungsi, Tugas, Wewenang dan tanggung jawab Jasa Marga yang telah diamanatkan beberapa Undang-undang dan prinsip-prinsip Good Corporate Governance yang menjadi landasan operasional Jasa Marga
Dari sudut bisnis sah-sah saja Pemerintah dan beberapa anggota DPR mengambil langkah tersebut. Teori ekonomi memang mengajarkan demikian, namun bagi para Pemimpin negeri ini yang mengaku handal dalam pengelolaan bisnis di Indonesia mestinya Implementasi dari prinsip ekonomi tidak menjadi suatu keharusan, terutama jika akhirnya akan mengorbankan core competence Jasa Marga yang selama ini di kenal sebagai leader dalam hal mengoperasikan dan mengembangkan jalan tol di Indonesia.
Pengertian dari Pelepasan aset Jasa Marga bukan berarti akan menjual jalan tol kepada pihak lain. Tapi, penjualan hak sebagai operator jalan tol karena jalan tol adalah milik pemerintah. "Yang di miliki Jasa Marga adalah hak penyelenggaraan, bukan tanah atau jalan". Tentunya hal ini merupakan hak Pemerintah namun kebijakan ini juga hendaknya memperhatikan Jasa Marga sebagai korporasi dalam jangka panjang dan menjadi kebijakan Negara secara menyeluruh bukan hanya pada suatu masa pemerintahan saja untuk mendapatkan simpati politik yang sangat basi.
Keinginan politik pemimpin pemerintahan negeri ini untuk mempercepat pembangunan jalan tol trans Jawa sah-sah saja untuk di lontarkan ke publik namun keinginan yang prematur yang hanya menguntungkan segelintir orang di negeri ini patut untuk di kaji kembali. Di sinyalir niatan ini di tunggangi oleh para investor yang hanya ingin cepat meraup untung tanpa adanya perjuangan untuk membangun ruas jalan tol yang baru.
Sampai kapan pun negeri ini tidak akan mempunyai BUMN yang mumpuni untuk bersaing di tingkat global jika pemimpin negeri ini tidak meletakakan BUMN sebagai korporasi sesungguhnya, terlalu campur tangannya Pemerintah dan segelintir anggota DPR justru akan menghambat Jasa Marga untuk menggerakan laju pertumbuhan industri jalan tol di Indonesia.
Penjualan hak konsesi yang dimiliki Jasa Marga tentunya akan banyak beresiko terjadinya kejanggalan – kejanggalan yang akan menguntungkan segelintir orang di Negeri, belum lagi dengan pengelolaan dana yang cenderung menjadi tidak transparan karena hanya mempertahankan Jasa Marga sebagai Perusahaan Negara. Sedangkan pengertian dari “Milik Negara” pun menjadi kabur, terkesan Jasa Marga tanpa pemilik. Ini akan mempertahankan Jasa Marga sebagai entitas politik bukan menjadikan Jasa Marga sebagai entitas bisnis sesungguhnya.. Untuk itu sudah saatnya bagi Pemerintah dan anggota DPR untuk mengurungkan niatnya menjual hak konsesi Jasa Marga dan tetap konsisten melanjutkan rencananya untuk melakukan privatisasi Jasa Marga agar pengelolaan Kinerja Jasa Marga lebih transparan. Keunggulan Privatisasi dalam jangka panjang untuk Jasa Marga adalah siapa pun dapat melakukan audit secara mendalam terhadap aktivitas proyek yang dikerjakan Jasa Marga. Sehingga para oknum yang dengan sengaja mencuri uang melalui kegiatan proyek yang dibutuhkan rakyat dapat segera digulung, sementara bagi karyawan Jasa Marga yang tidak kapabel menjalankan tugasnya harus dinonaktifkan.
Sudah seharusnya Pemerintah dan anggota DPR layak untuk kembali melihat keberhasilan dari BUMN di Negara yang lebih maju dalam menjalankan prinsip Corporate Social Responsibility di dalam prinsip-prinsip Good Corporate Governance untuk di terapkan di Jasa Marga. Dimana suatu aksi korporasi harus melihat kepentingan dari stakeholders dalam hal ini karyawan dan keberlangsungan dari perusahaan dalam jangka panjang.
Corporate social responsiblity dalam prinsip good coorporate governance (GCG) ibarat dua sisi mata uang. Keduanya sama penting dan tidak terpisahkan. Salah satu dari empat prinsip GCG adalah prinsip responsibility (pertanggung jawaban). Tiga prinsip GCG lainnya adalah fairness, transparency, dan accountability.
Ada perbedaan yang cukup mendasar antara prinsip responsibility dan tiga prinsip GCG lainnya. Tiga prinsip GCG pertama lebih memberikan penekanan terhadap kepentingan pemegang saham perusahaan (shareholders) sehingga ketiga prinsip tersebut lebih mencerminkan shareholders-driven concept. Contohnya, perlakuan yang adil terhadap pemegang saham minoritas (fairness), penyajian laporan keuangan yang akurat dan tepat waktu (transparency), dan fungsi dan kewenangan RUPS, komisaris, dan direksi (accountability). Dalam prinsip responsibility, penekanan yang signifikan diberikan pada kepentingan stakeholders perusahaan. Di sini perusahaan diharuskan memperhatikan kepentingan stakeholders perusahaan, menciptakan nilai tambah (value added) dari produk dan jasa bagi stakeholders perusahaan, dan memelihara kesinambungan nilai tambah yang diciptakannya. Karena itu, prinsip responsibility di sini lebih mencerminkan stakeholders-driven concept. Barangkali timbul di benak pembaca, ''Apa sih stakeholders perusahaan itu?'' atau ''Siapa saja sih stakeholders perusahaan itu? ‘'Stakeholders perusahaan' dapat didefinisikan sebagai pihak-pihak yang berkepentingan terhadap eksistensi perusahaan. Termasuk di dalamnya adalah karyawan, pelanggan, konsumen, pemasok, masyarakat, dan lingkungan sekitar, serta pemerintah selaku regulator. Perbedaan bisnis perusahaan akan menjadikan perusahaan memiliki prioritas stakeholders yang berbeda. Sementara itu, konsumen adalah stakeholders dalam skala prioritas pertama bagi perusahaan produk konsumen seperti Unilever atau Procter & Gamble. Dari penjelasan tersebut, terutama ''menciptakan nilai tambah pada produk dan jasa bagi stakeholders perusahaan,'' prinsip responsibility GCG menelurkan gagasan corporate social responsibility (CSR) atau ''peran serta perusahaan dalam mewujudkan tanggung jawab sosialnya.'' Dalam gagasan CSR, perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu nilai perusahaan (corporate value) yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya (financial) saja. Tanggung jawab perusahaan harus berpijak pada triple bottom lines. Di sini bottom lines lainnya, selain finansial adalah sosial dan lingkungan.
Kondisi keuangan saja tidak cukup menjamin nilai perusahaan tumbuh secara berkelanjutan (sustainable). Keberlanjutan perusahaan hanya akan terjamin apabila perusahaan memperhatikan dimensi sosial dan lingkungan hidup. Sudah menjadi fakta bagaimana resistensi masyarakat sekitar muncul ke permukaan terhadap perusahaan yang dianggap tidak memperhatikan lingkungan hidup. Contohnya kasus Lapindo di Jawa Timur.
Kesadaran tentang pentingnya mempraktikkan CSR ini menjadi tren global seiring dengan semakin maraknya kepedulian masyarakat global terhadap produk-produk yang ramah lingkungan dan diproduksi dengan memperhatikan kaidah-kaidah sosial dan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM). Sebagai contoh, boikot terhadap produk sepatu Nike oleh warga di negara Eropa dan Amerika Serikat terjadi ketika pabrik pembuat sepatu Nike di Asia dan Afrika diberitakan mempekerjakan anak di bawah umur.
Contoh lainnya adalah penerapan kebijakan dalam pemberian pinjaman dana oleh bank-bank Eropa. Umumnya bank-bank Eropa hanya akan memberikan pinjaman kepada perusahaan perkebunan di Asia apabila ada jaminan dari perusahaan tersebut, yaitu pada saat membuka lahan perkebunan tidak dilakukan dengan membakar hutan.
Tren global lainnya dalam pelaksanaan CSR di bidang pasar modal adalah penerapan indeks yang memasukkan kategori saham-saham perusahaan yang telah mempraktikkan CSR. Sebagai contoh, New York Stock Exchange memiliki Dow Jones Sustainability Index (DJSI) bagi saham-saham perusahaan yang dikategorikan memiliki nilai corporate sustainability dengan salah satu kriterianya adalah praktek CSR.
DJSI dipraktikkan mulai 1999. Begitu pula dengan London Stock Exchange yang memiliki Socially Responsible Investment (SRI) Index dan Financial Times Stock Exchange (FTSE) yang memiliki FTSE4Good sejak 2001. Inisiatif ini mulai diikuti oleh otoritas bursa saham di Asia, seperti di Hanseng Stock Exchange dan Singapore Stock Exchange. Konsekuensi dari adanya indeks-indeks tersebut memacu investor global seperti perusahaan dana pensiun dan asuransi yang hanya akan menanamkan investasinya di perusahaan-perusahaan yang sudah masuk dalam indeks dimaksud.
Menghadapi tren global tersebut, saatnya perusahaan melihat serius pengaruh dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan dari setiap aktivitas bisnisnya, serta melaporkan kepada stakeholder-nya setiap tahun. Laporan bersifat nonfinansial yang dapat digunakan sebagai acuan oleh perusahaan dalam melihat dimensi sosial, ekonomi dan lingkungan, diantaranya Sustainability Reporting Guidelines yang dikeluarkan oleh Global Reporting Initiative (GRI) dan Value Reporting yang digagas perusahaan konsultan dunia Pricewaterhouse Coopers (PwC).
Kita semua berharap bahwa Pemerintah dan anggota DPR di tidak hanya memperhatikan sisi GCG dan melupakan aspek CSR. Karena kedua aspek tersebut bukan suatu pilihan yang terpisah, melainkan berjalan beriringan untuk meningkatkan keberlanjutan operasi perusahaan.
Jangan lagi tercium aroma tidak sedap dari dalam berbagai praktek penyelewengan penjualan BUMN. Bahkan akhir-akhir ini merebak banyaknya kasus penyelewengan ter-anyar yang diungkap berbagai pihak yang berkompeten yakni dugaan adanya penyelewengan penjualan asset di berbagai BUMN. Kontrol publik harus dilakukan karena kita tidak mau hal serupa terjadi pada Jasa Marga yang selama ini selalu setia menyumbangkan industri infrastruktur jalan dan jembatan tol di Indonesia tanpa mendapatkan subsidi dari pemerintah.
Kita tidak ingin terjadi sama dengan di beberapa BUMN yang terjadi penyelewengan dan krisis di saat Direksi dan para karyawan melakukan efisiensi, pemborosan dan penyelewengan malah terjadi di lingkar kekuasaan.
Pagelaran “Orkestrasi” yang elegant harus di pimpin oleh “Dirigen” yang mengerti irama dan birama semua alat musik dalam suatu orkestra agar para pemain musik dan penontonnya menikmati orkestra yang disajikan namun jika “Dirigen” nya tidak mengerti irama dan birama semua alat musik, dapat di pastikan tidak hanya para penontonnya saja yang meningggalkan pagelaran namun bisa dipastikan pemain musiknya pun ikut bubar. Jadi wajar jika Direksi dan Serikat Karyawan Jasa Marga menolak langkah sesat pihak-pihak yang menjual retorika politik demi pembangunan industri jalan tol untuk rakyat namun sesungguhnya yang terjadi hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompok politiknya saja tanpa melihat peraturan dan perundang-undangan yang menjadi landasan operasional Jasa Marga*****Swara SKJM HS 5258

Tidak ada komentar: