Senin, 23 Juli 2007

Kerikil (Tajam) di Jalan Tol

Sumber : www.wartaekonomi.com

Kendala

Sulitnya pembebasan tanah dan kurang pastinya kenaikan tarif masih jadi kendala utama bisnis jalan tol.

Memasuki penghujung 2006, 80-an keluarga penghuni Blok EE Perumahan Raffles Hills, Cibubur, Depok, resah. Rumah mereka bakal tergusur jika proyek jalan tol Cinere-Jagorawi, yang ditargetkan rampung pada 2009, mulai dibangun. Mereka juga geram, sebab site plan perumahan Raffles Hills ditandatangani oleh mantan wali kota Depok Badrul Kamal pada 2003, sehingga mestinya rumah mereka sudah berada di lokasi yang benar. Lalu, mengapa kini akan dibongkar untuk dijadikan jalan tol? Akankah mereka menerima ganti untung, bukan ganti rugi?
Lahan memang menjadi masalah serius dalam bisnis jalan tol. Kasus di Raffles Hills tadi contohnya. Kasus lainnya adalah tertundanya pembangunan Jakarta Outer Ring Road (JORR) Cakung-Cikunir lantaran belum tuntasnya masalah ganti rugi tanah milik keluarga Adnan Jamil, yang posisi rumahnya memotong jalur tol Jatiasih-Cikunir, di ruas Kampung Cikunir, Kelurahan Jakamulya, Bekasi.
Adnan Jamil memiliki lahan 1.500 meter persegi. Panitia Pengadaan Tanah (P2T) Pemerintah Kota Bekasi hanya mau membebaskan tanah yang 1.000 meter persegi. Sisa tanah yang 500 meter persegi tidak dibebaskan karena berada di luar jalur pembangunan. Namun, Adnan meminta sisa tanah juga dibayar karena kalau ia pertahankan lokasinya tidak menguntungkan lagi. Perundingan pun menemui jalan buntu.

Masalah pembebasan tanah juga terjadi pada pembangunan tol ruas Citayam-TB Simatupang sepanjang 18,2 kilometer, dan ruas Ulujami-Kembangan yang 9 kilometer. Bertubi-tubinya masalah itu membuat pembangunan proyek JORR tersendat. Maka, tak heran jika JORR lantas diplesetkan sebagai “Jalan Ora Rampung-Rampung”.
Di Surabaya, pembangunan jalan tol yang menghubungkan Waru dengan Bandara Juanda semula dijadwalkan selesai Juni 2006. Namun, akibat masalah pembebasan tanah, jalan bebas hambatan itu baru bisa beroperasi pada Juni 2007 ini.
Menurut direktur teknik dan operasi PT Citra Margatama Surabaya, Hengki Hermanto, sebagaimana dikutip tempointeraktif.com, pembebasan tanah di sana terganjal masalah harga, perluasan, pajak, dan warga yang meminta agar tanah sisanya juga dibeli. Akibat molornya pembebasan tanah, ungkap Hengki, Citra Margatama terpaksa mengubah desain jalan tol yang semula menggunakan tiang pancang menjadi timbunan. Ini konsekuensi lantaran pembangunan jalan tolnya tidak bisa dilakukan serentak, tetapi bertahap.
Akar dari masalah pengadaan tanah terkait dengan kebijakan. Masyarakat ingin tanahnya dibebaskan dengan harga pasar. Sementara itu, pemerintah terikat dengan Keputusan Presiden (Keppres) yang menetapkan pembelian tanah milik masyarakat tak boleh melebihi angka Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
Masalah itu dijembatani pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 36/2005, yang kemudian diubah dengan Perpres No. 65/2006, guna menggantikan Keppres No. 55/1993. Apa bedanya? Pada Keppres No. 55/1993, musyawarah dan negosiasi penggantian lahan yang terkena proyek pembangunan tidak dibatasi. Jadi, jangka waktunya bisa tak terhingga. Ini bisa menyebabkan molornya pembangunan sarana umum, termasuk jalan tol.
Nah, Perpres No. 65/2006 membatasi proses musyawarah untuk pembebasan tanah hanya 90 hari. Setelah habis jangka waktunya dan tak ada kata mufakat, P2T dari pihak pemerintah bisa menetapkan bentuk dan besaran ganti rugi dan menitipkannya ke pengadilan. Jadi, pembangunan jalan tol bisa berlanjut, sementara sengketa diteruskan ke pengadilan.

Opportunity Lost

Melihat rumitnya urusan pembebasan tanah, Fatchur Rochman mengaku heran melihat betapa menggebu-gebunya minat swasta untuk terjun ke bisnis jalan tol. “Saya heran kalau akhir-akhir ini banyak perusahaan yang berminat mengikuti tender proyek jalan tol,” tutur ketua umum Asosiasi Jalan Tol Indonesia itu.
Bukan rahasia lagi, di negeri ini, tanah yang hendak digusur untuk sebuah proyek harganya akan melambung berlipat kali dari NJOP dan harga pasar. “Harga tanah cepat sekali naiknya, terutama kalau tahu akan digunakan untuk jalan tol,” keluh Setiawan Djody, pemilik Grup Setdco, salah satu perusahaan yang ikut tender pembangunan ruas tol Pandaan-Malang. Ia berbagi cerita, dalam tiga tahun urusan tanah belum tentu rampung jika tak ada kompromi harga. Ini karena pemerintah tidak memberi patokan biaya per meter persegi yang harus dipatuhi kedua belah pihak. Belum lagi perkara administrasi akibat masih ditemukannya tumpang-tindih kepemilikan tanah yang sah.
Urusan pembebasan tanah yang berbelit jelas membuat pembangunan proyek tertunda. “Akibatnya, biaya investasi membengkak, dan return on investment menjadi lama,” cetus M. Ramdani Basri, presdir PT Nusantara Infrastructure Tbk.
Menurut Frans S. Sunito, dirut PT Jasa Marga, ada tiga masalah yang selalu dihadapi dalam pembebasan tanah. Pertama, pemilik tanah mengajukan harga yang tak wajar. Kedua, proses pencabutan hak yang memakan waktu lama dan secara politis sulit diterima, sehingga proses negosiasi menjadi berlarut-larut. Ketiga, adanya spekulan yang memborong tanah pemilik asli dengan harga rendah, lalu menjualnya kembali kepada pemerintah dengan harga yang tidak wajar.
Betul, kini ada Perpres No. 65/2006. Namun, ungkap Frans, sering kali harga yang disepakati P2T dan pemilik tanah jauh lebih besar daripada yang ditetapkan dalam rencana bisnis. “Ini merugikan investor," keluh Frans.

Kenaikan Tarif

Kecuali sulitnya pembebasan tanah, tingginya risiko bisnis jalan tol bertambah lantaran tidak adanya kepastian kenaikan tarif. Menurut UU No. 8/1990 tentang Jalan Tol, mestinya tarif secara otomatis naik secara periodik. Namun, meski UU sudah mengatur soal ini, tak ada jaminan itu dipatuhi. Misalnya, tarif jalan tol Tangerang-Merak yang dikelola oleh PT Marga Mandala Sakti milik Grup Astra selama kurun waktu 1992 hingga 2002 tidak mengalami kenaikan tarif.
Begitu juga ruas tol Surabaya-Gresik, yang sejak beroperasi pada 1993 baru naik tarifnya pada 2003. "Akibatnya, pendapatan perusahaan meleset jauh dari rencana bisnis," sergah asisten dirut PT Margabumi Matra Raya, Arsal Ismail, sebagaimana dikutip Antara. Padahal, ketika mulai beroperasi, pemerintah melalui Jasa Marga berjanji akan menyesuaikan tarif setiap tiga tahun.
Guna mengatasi masalah ini, pemerintah meluncurkan UU No. 38/2004 tentang Jalan dan PP No. 15/2005 tentang Jalan Tol. Salah satu poin kunci dari dua regulasi ini adalah kenaikan tarif tol setiap dua tahun sekali, mengikuti laju inflasi yang ditetapkan Badan Pusat Statistik dan dengan mempertimbangkan kemampuan masyarakat. Lalu, sesuai PP No. 40/2001, keputusan tarif tak lagi berada di tangan Presiden, melainkan Menteri Pekerjaan Umum. Jadi, prosesnya bisa lebih mudah. “Penyesuaian ini memberi kepastian pengembalian modal bagi investor,” ucap Ramdani, lega.
Jalan tol adalah bisnis padat modal. Investasinya sangat mahal. Maka, tiadanya kepastian kenaikan tarif dan sulitnya pembebasan tanah membuat bisnis ini sangat high risk. Itu pula sebabnya perbankan mematok suku bunga pinjaman yang tinggi untuk bisnis ini, 14%–16% per tahun. gPerbankan menganggap bisnis jalan tol tinggi risikonya, keluh Daddy Hariadi, dirut PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk. (CMNP).
Mengingat tingginya risiko, Daddy berharap ada fasilitas pembagian risiko pembebasan tanah (land capping) untuk semua proyek. Nah, land capping diberikan apabila harga tanah melonjak lebih dari 110%. Dalam proyek tol Depok-Antasari yang digarap CMNP, sebanyak Rp629 miliar—dari total investasi Rp2,6 triliun―dialokasikan hanya untuk urusan lahan.
Sesungguhnya, pemerintah menyediakan dana talangan Rp600 miliar yang dikelola Badan Pelayanan Umum (BLU) guna membeli tanah warga. Nantinya, investor pemenang tender harus membayar kembali dana yang dikeluarkan pemerintah, lengkap dengan bunganya. Sayangnya, pihak swasta terlihat adem menanggapi keputusan ini.
Ada hal menarik dalam bisnis jalan tol di Indonesia. Seharusnya, investor menyusun business plan berdasarkan tarif yang akan dikenakan kepada pengguna. Namun, yang terjadi selama ini, tarif baru ditentukan setelah jalan tol dibangun. Runyamnya, tarif tol ini tak ada formula standarnya. Kalau dibandingkan dengan negara tetangga, tarif tol di negeri ini termasuk murah. Sebagai perbandingan, di Indonesia tarif tol untuk kendaraan golongan I adalah Rp80–316 per kilometer, sementara di Filipina bisa Rp225–818.

ARI WINDYANINGRUM, GENUK CHRISTIASTUTI, EVI RATNASARI, DAN YUDIT MARENDRA

Tidak ada komentar: