Minggu, 01 Juli 2007

PARADIGMA KEAMANAN KARIR KARYAWAN UNTUK MENUJU JASA MARGA MODERN

PARADIGMA KEAMANAN KARIR KARYAWAN
UNTUK
MENUJU JASA MARGA MODERN

Dalam hal pekerjaan / karir, sedikitnya ada dua paradigma yang berkembang yaitu job security dan career security. Job security merujuk pada keamanan atas pekerjaan yang dimiliki atau diberikan oleh pihak perusahaan (external), sementara keamanan karir karyawan (career security) merujuk pada keamanan atas bidang karir atau pekerjaan yang dipilih oleh diri sendiri (internal). Dalam paradigma job security maka kesalahan terbesar adalah munculnya keyakinan bahwa kita bekerja untuk orang lain. Tentu saja pandangan seperti ini sudah kadaluwarsa sebab pijakan perkembangan karir haruslah diciptakan dari diri individu. Pekerjaan memang bisa saja milik perusahaan tetapi karir adalah milik anda". Pola berpikir yang mengedepankan job security seringkali justru menjadi "pembunuh" bagi sumberdaya terbesar yang anda miliki.
Adakah yang salah dari paradigma job security itu sampai dijuluki sebagai "pembunuh" sumberdaya individu? Kalau dikatakan salah, haruskah semua orang meninggalkan kantor untuk mendirikan perusahaan sendiri, menjadi business owner, self-employment atau investor seperti yang digambarkan dalam 'paradigm shift' ala Robert Kiyosaki dalam "Cash flow Quadrant" ? Jawabannya tentu tidak mutlak harus demikian.
Posisi dan Misi
Perbedaan arti job security dan career security akan membentuk pemahaman irrational yang mandul kalau diartikan secara posisi tetapi akan 'klop' kalau diartikan secara misi. Artinya, untuk memahami career security maka anda harus melepaskan diri dari apa pun posisi anda (karyawan, professional, pemilik usaha) dan hanya berpegang pada misi bahwa diri andalah yang menjadi sumber segalanya bagi kelangsungan karir anda. Dengan kata lain, career security adalah ajaran mentalitas berupa The enterprising mental attitude - mentalitas pengusaha. Lagi - lagi kita terjebak dalam arti posisi dengan kalimat pengusaha karena istilah ini sudah dikramatkan sedemikian rupa selama bertahun-tahun sehingga membuat kebanyakan orang takut untuk menyebut dirinya pengusaha, padahal suka atau tidak suka, semua orang adalah pengusaha, pejuang gagasannya. Inilah inti dari paradigma career security.
Agar tidak terlalu banyak menghadapi jebakan idiom, maka perubahan paradigma dari job security ke career security harus diatur dengan tata letak (realisasi misi) yang tidak saling berlawanan. Hal itu mengingat bahwa setiap paradigma mengandung nilai plus-minus. Tugas kita adalah mengambil plus dari paradigma lama untuk dijadikan lebih plus dengan paradigma baru. Paradigma job security yang telah menyelimuti kultur kita mewariskan kepercayaan bahwa modal untuk membeli keamanan atas pekerjaan adalah loyalitas dan kerja keras. Pada batas yang terlalu jauh, mentalitas demikian akan 'membutakan' penglihatan terhadap adanya 'gold mine' di dalam diri yang menunggu sentuhan 'gold mind'.
Hal lain yang perlu diingat lagi adalah bahwa paradigma merupakan materi ajaran mentalitas yang dimaksudkan untuk mengubah konstruksi pola pikir dan tidak perlu mengubah bentuk tatanan fisik kalau memang secara riil belum mampu dan tidak diperlukan. Paradigma career security mengajarkan perubahan mindset (pola pikir) dari bekerja dengan cemeti perintah menuju ke bekerja atas keinginan untuk memperbaiki diri atau dorongan berprestasi di tempat kerja. Cemeti perintah akan menciptakan karakter 'asking for' dalam arti 'low bargain' yang membuat banyak orang melihat tanggung jawab untuk menyelesaikan pekerjaan sebagai beban hidup. Sementara career security akan menciptakan karakter mental sebagai 'giver'. Tangan "giving" bagaimana pun akan lebih mulia di banding tangan "asking".
Hal terakhir yang harus diingat juga adalah bahwa perubahan paradigma sebenarnya merupakan jembatan peradaban dari level rendah ke level yang lebih tinggi. Kalau orang sudah berpegang pada paradigma lebih positif maka kemungkinan besar dapat dikatakan bahwa ia punya potensi lebih besar untuk menciptakan perilaku yang lebih positif dalam merespon keadaan. Sebab keadaan yang sebenarnya terjadi, meskipun kita menganut paradigma job security, tetapi toh kita bisa mudah kehilangan pekerjaan karena keputusan orang lain, kebijakan lembaga, atau bahkan perubahan negara lain. Kalau dikaji untung-ruginya, career security lebih mendorong pada upaya menciptakan persiapan di dalam untuk menghadapi perubahan keadaan di luar sementara job security tidak mendorong demikian atau lebih cenderung pasrah. Artinya perubahan paradigma dari job security ke career security melambangkan tangga peradaban yang lebih atas / lebih untung.
Dengan sedikit pertimbangan di atas, rasanya tidak ada ruginya atau bahkan tidak mengandung resiko ancaman keamanan apapun kalau kita sudah bisa menyambut baik ajakan untuk mengganti paradigma kerja dari job security ke career security. Alasan rasional dan faktual yang dapat kita jadikan pijakan untuk mengganti paradigma itu adalah kenyataan bahwa pekerjaan tidak lagi menyisakan ruang 'comfort zone' atau paling tidak ukurannya makin sempit . Penyempitan itu bisa disebabkan oleh banyak faktor, mulai dari persaingan, peristiwa eksternal, dan perubahan kebijakan.
Persaingan yang oleh para ahli diistilahkan sudah mencapai tingkat hyper menuntut kualitas pengecualian. Kualitas rata-rata sudah semakin jauh dari perhitungan. Kalau ada perusahaan membutuhkan - misalnya saja - tenaga accounting dengan kualifikasi S1, tentu semua orang mengatakan mudah. Tetapi kalau ditambah kualifikasinya harus bisa bahasa Inggris, sudah berkurang yang berani mengatakan mudah. Apalagi kalau ditambah dengan pengusaan job skill yang memang dibutuhkan untuk melaksanakan pekerjaan riil di lapangan, misalnya saja harus menguasai program MYOB, peraturan perpajakan, Brevet A / B, maka dipastikan tidak semua orang mengatakan mudah. Lebih-lebih kalau ditambah embel-embel harus berpenampilan 'menarik'.
Keterampilan
Paradigma career security bertumpu pada kekuatan keterampilan, yaitu mengeluarkan semua sumber daya internal, keunggulan, dan bakat di tempat kerja agar bisa lebih mendatangkan manfaat dan prestasi bagi diri kita dan bagi orang lain. Keterampilan diartikan sebagai kemampuan untuk melakukan sesuatu dengan tepat dan mahir (Skill is the ability to do something expertly). Arah pengembangan keterampilan bisa mengacu pada formula yang sudah lazim dengan sedikit penyempurnaan. Di antara formula yang dapat disebutkan di sini adalah:
Keterampilan dan Sikap
Keterampilan kerja (job skill) dipahami sebagai kemampuan untuk mengerjakan suatu pekerjaan. Kalau dielaborasi keterkaitannnya dengan aneka ragam 'human capital' maka job skill lebih banyak diperankan oleh IQ (Intellectual Quotient). Mental skill mengacu pada pengertian leadership skill yaitu kemampuan menyelesaikan urusan benda hidup atau sering disebut software skill seperti misalnya menangani persoalan hubungan dengan manusia. Mental skill lebih banyak diperankan oleh EQ (Emotional Quotient).
Dengan paradigma kerja baru maka fokus pengembangan tidak lagi perlu diarahkan pada wilayah dikhotomistik tetapi merebut keduanya dengan menempuh cara belajar melewati garis pembatas definitif itu. Tidak lagi menggunakan jarum jam tetapi sudah saatnya menggunakan kompas. Tidak lagi menganut paradigma mesin tetapi manusia yang benar-benar manusia dengan segala kemampuan untuk memilih yang lebih baik dan tidak lagi berbicara mana yang lebih penting antara job skill dan mental skill.
Pikiran dan Tindakan
Rasanya sudah tidak asing kalau kita sering membuat definisi tentang kemampuan orang di mana ada orang yang cuma bisa mengerjakan tetapi tidak bisa membuat konsep. Paradigma lama itu tak terasa menjebak kita ke dalam pembatas kemampuan yang menyempitkan. Lebih-lebih kalau sudah disikapi secara perang. Si A hanya fasih dengan konsepnya, 'omong-doang' dan sebaliknya si B hanya bisa bekerja tetapi tidak bisa berpikir kritis..
Paradigma kerja baru membutuhkan pengalihan fokus untuk memperluas batas definitif kemampuan yang tidak lagi hanya bisa mengerjakan atau hanya berpikir melainkan mengasah keduanya. "Jika Morita menciptakan kerajaan Sony tanpa menggunakan jasa konsultan atau Sam Walton yang tak bergelar MBA sukses membangun Wal Mart, maka jawabnya: mereka bukan sekedar people of action tetapi sekaligus people of thought - pemikir yang kritis.

Belajar
Keahlian ini bertumpu pada keahlian untuk "belajar bagaimana belajar yang sesungguhnya", bukan sekedar 'kesediaan diajar'. Sama sekali bukan sebuah sikap untuk menafikan makna 'kesediaan diajar' yang telah membuat kita menjadi tahu akan tetapi ketika sudah berbicara kunci utama pengembangan manusia (individu / organisasi) maka kunci itu adalah menjadi 'learner'. Dengan menjadi learner, gap yang diciptakan oleh pemahaman dikhotomistik dari sekian acuan pengembangan skill dapat dijembatani. Bahkan sebetulnya fakta alamiah telah lebih dulu menjelaskan bahwa semua 'gained quality' tidak bisa dilepaskan dari unsur learning di dalamnya termasuk bagaimana cara berjalan kaki bagi bayi.
Supaya bisa menjadi learner lagi seperti bayi, maka syarat yang harus dipenuhi adalah kesediaan menjadi 'beginner' yang selalu dapat melihat materi/objek dengan lensa baru (creative) dan tanda tanya (curiosity). "You can learn new things at any time in your life if you're willing to be a beginner. If you actually learn to like being a beginner, the whole world opens up to you." Kata Barbara Sher. Ada kalanya 'block mental' terjadi bukan karena kita tidak tahu tetapi justru karena kita sudah tahu.
Semoga bermanfaat....*****Swara SKJM HS 5258

Artikel ini di kutip dari berbagai sumber.

Tidak ada komentar: