Jumat, 17 Agustus 2007

Mencari Makna Kemerdekaan

www.mediaindonesia.com

SETIAP kali memperingati kemerdekaan Indonesia, setiap kali pula kita bertanya apa artinya kemerdekaaan bagi bangsa ini? Kini kita juga bertanya, apa arti kemerdekaan selama 62 tahun bagi rakyat yang berjumlah 220 juta jiwa?

Usia 62 tahun bagi sebuah negara, memang belum terlalu tua, tetapi juga tidak bisa dibilang muda. Usia 62 tahun lebih dari cukup untuk mengisi kemerdekaan. Untuk memberi keadilan dan kemakmuran bagi rakyat!

Singapura dan Malaysia, tetangga terdekat kita, yang lebih junior sebagai negara berdaulat, telah menjadi contoh yang amat nyata. Indonesia, ‘sang saudara tua’, yang telah mengajari banyak hal, kini justru masih menjadi pecundang dalam persaingan global.

Tanpa pemimpin yang punya visi membangun dan bisa menjadi inspirasi bagi rakyatnya untuk membangun modal sosial yang kuat, kekayaaan alam yang melimpah ruah hanyalah kumpulan benda mati. Dan, Indonesia benar-benar menjadi contoh amat nyata. Lautan, hutan, tambang, tanah yang luas, hanyalah ‘kebesaran Tanah Air’ yang tidak punya relevansi kesejahteraan bagi rakyatnya. Karena pengkhianatan bangsa sendiri, yang paling menikmati kekayaan alam kita justru bangsa lain.

Karena itu, peringatan proklamasi kemerdekaan kali ini benar-benar harus menjadi ruang kontemplasi yang dalam bagi para pengelola negara. Kenapa? Karena para pejabat negara itulah yang mengemban amanat konstitusi. Sebab, cita-cita proklamasi adalah menjadi bangsa merdeka, berdaulat, adil, dan makmur.

Adalah amat mudah untuk mengukur kinerja para pengelola negara dari satu pemerintahan ke pemerintahan. Ketika keadilan dan kemakmuran masih belum menjadi milik rakyat, setiap saat pula para pengelola negara, harus meminta maaf kepada rakyat atas kegagalan itu.

Keadilan dan kemakmuran rakyat adalah amanat konstitusi. Kita perlu mengingatkan untuk kesekian kalinya, karena amanat itu kian dianggap teks hampa makna yang tidak punya konteks dengan realitas sosial. Kita harus mengingatkan, setiap amanat konstitusi yang belum direalisasikan adalah berarti hutang negara.

Manakala kehidupan para pejabat negara (atau siapa saja yang mendapat penghasilan dari negara) kian bertambah banyak pundi-pundi hartanya, sementara rakyat justru kian menggelepar dalam kemiskinan, ini sungguh sebuah kezaliman negara dalam memperlakukan rakyatnya. Sebab, faktanya, menurut Bank Dunia, 49% (lebih dari 100 juta) masyarakat negeri ini berkubang dalam lumpur kemiskinan. Mereka adalah masyarakat yang berpenghasilan di bawah US$2 atau sekitar Rp18.000.

Dari sudut pandang keadilan dan kemakmuran, Indonesia sungguh berjalan dalam jalur yang berbahaya. Sebab, kaum berada semakin mendapat previlij dari negara, sementara rakyat miskin kian terpinggirkan.

Sebenarnya, dalam hal kebajikan Indonesia mempunyai modal bagus. Sistem masyarakat yang paternalistik, sesungguhnya bisa dipakai untuk menggerakkan hal-hal baik dari para pemimpin dalam membangun masyarakat adil dan makmur. Sayang para pemimpin gagal total menjadi teladan untuk rakyatnya.

Lihat saja kasus-kasus korupsi yang dilakukan para pejabat publik. Lihat saja survei-survei dalam hal transparansi. Lihat saja tingkat kepatuhan para pejabat negara dalam mengisi daftar kekayaan yang diedarkan Komisi Pemberantasan Korupsi. Lihat saja sebagian besar gaya hidup para politisi dan wakil rakyat kita. Pejabat negara masih terlalu jauh dari contoh kebajikan dan tertib hukum.

Itu semua adalah representasi dari para pejabat negara dalam melaksanakan tugas-tugas ‘kenegaraannya’ yang sungguh miskin akan visi dan misi kerakyatan. Padahal, visi kerakyatan (memberi keadilan dan kemakmuran), adalah hutang para pengelola negara. Sebagai hutang, ia harus secepatnya dibayar.

Peringatan proklamasi kemerdekaan akan kian hampa makna, jikalau tidak ada komitmen baru yang tulus dari para pemimpin negara untuk dengan segala daya dan upaya untuk memberi keadilan dan kemamuran kepada rakyat. Kemakmuran yang hanya dinikmati segelintir orang, sungguh sebuah pengkhianatan atas proklamasi kemerdekaan yang kita peringati hari ini.

Tidak ada komentar: