Jumat, 17 Agustus 2007

Mencari kemerdekaan sejati

www.bisnis.com

Besok bangsa Indonesia merayakan hari kemerdekaan ke-62. Selain kemeriahan pesta, hampir selalu muncul pertanyaan bernada sinis menjelang peringatan hari ulang tahun Negara Kesatuan Republik Indonesia: benarkah kita sudah merdeka?
Secara politis, tentu saja, kita sudah merdeka. Hal ini karena syarat untuk disebut sebagai sebuah negara telah dipenuhi Indonesia, dengan adanya rakyat, wilayah, dan kedaulatan. Kedaulatan itu berupa pengakuan dunia internasional maupun warga Indonesia sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di negeri ini.

Tetapi, sekali lagi, benarkah kita sudah merdeka? Hari ulang tahun negeri ini sepatutnya tidak semata-mata ‘dirayakan’ dengan kemeriahan, melainkan juga ‘diperingati’ sebagai bagian dari introspeksi untuk melangkah ke depan dengan lebih baik.

Merdeka yang diperlukan oleh setiap anak bangsa ini jelas bukan sekadar kemerdekaan secara politis. Merdeka juga berarti bebas menikmati pendidikan, bebas menyuarakan yang benar, bebas dari rasa ketakutan untuk segala, dan mudah memperoleh mata pencaharian yang layak, karena ditopang oleh kondisi ekonomi yang mapan.

Dalam kondisi pendidikan yang mahal, jelas bahwa kemerdekaan untuk menikmati pendidikan yang memadai jauh dari kenyataan. Pendidikan yang mahal hanya akan memperlebar jarak antara kaum kaya dan miskin, ditandai dengan menipisnya golongan menengah, sehingga menyimpan potensi munculnya krisis sosial berskala besar.

Juga patut direnungkan kembali apakah di negeri ini menyuarakan sesuatu yang benar bisa dilakukan dengan bebas? Contoh terkini yang sempat mengemuka ialah para guru yang membongkar praktik buruk dalam Ujian Akhir Nasional. Tetapi merekalah yang akhirnya terbuang, sedangkan yang bertindak curang tetap tak terusik.

Merdeka juga semestinya dimaknai dengan hilangnya rasa ketakutan yang tak beralasan. Faktanya, banyak pengemudi kendaraan khawatir melihat polisi—yang semestinya bertugas melindunginya, tetapi kinerjanya dirusak oleh perbuatan oknum—di malam hari, meski dia sebenarnya tidak melakukan kejahatan apa pun.

Sekadar berjalan di jembatan penyeberangan pun, bagi sebagian orang akan disertai rasa khawatir terhadap faktor keamanan yang memang tidak ada yang sanggup memberi jaminan kepadanya.

Tak ada cerminan bahwa seseorang sudah merdeka jika dia masih menemui berbagai kesulitan manakala yang bersangkutan mengurus sesuatu yang bersinggungan dengan birokrasi mulai dari tingkat pemerintahan terendah hingga di pusat.

Dari sisi ekonomi, sekali lagi patut kita bertanya apakah seseorang yang memiliki keahlian tersia-sia hanya karena negeri ini gagal menyediakan lapangan kerja yang pantas bagi tenaga kerja ber-skill, layak disebut telah memperoleh kemerdekaan?

Apakah negara ini sudah merdeka ketika kita tidak mampu mandiri menentukan sejauh mana bagian kita dan mana pula bagian asing dalam hal pengeksploitasian sumber daya alam Indonesia yang sangat kaya.

Kita seharusnya mengambil keputusan bahwa sumber daya melimpah ruah itu sesungguhnya adalah anugerah Tuhan untuk bangsa ini. Dengan demikian, kita harus menysukurinya dengan memanfaatkannya semaksimal mungkin bagi kepentingan anak negeri ini, bukan dengan gampang mempersilakan perusahaan multinasional—yang didukung pemerintahnya—memperoleh bagian lebih besar.

Jika kemerdekaan yang sesungguhnya, sebagaimana telah diuraikan, dapat diwujudkan, tidak ada alasan bagi sejumlah daerah untuk terus berupaya memisahkan diri dari Indonesia. Mereka merasa merdeka di pangkuan Ibu Pertiwi.

Tidak ada komentar: