Kamis, 16 Agustus 2007

Privatisasi Superholding

www.majalahtrust.com

MENYUSUL berita tentang rencana penjualan saham 15 BUMN di tahun 2008, pekan lalu, Meneg BUMN Sofyan Djalil memutuskan untuk melanjutkan privatisasi dalam skala yang lebih besar. Katanya, ia punya gagasan untuk mendirikan superholding, induk BUMN yang memayungi ratusan unit bisnis. Gagasan ini muncul setelah ia melakukan studi banding ke KFW Jerman, Temasek Singapura, dan Khasanah Malaysia.

Gagasan itu memang baru wacana di atas kertas. Namun, bukan tak mungkin superholding yang digagas oleh Sofyan adalah jalan terbaik untuk menyelamatkan BUMN. Sebab, harus diakui, banyak sisi positifnya jika BUMN-BUMN dikelompokkan ke dalam holding. Pertama, memungkinkan terjadinya peningkatan nilai pasar BUMN. Kedua, dapat meningkatkan kompetitif karena menjadi lebih fokus dan skala usaha yang lebih ekonomis. Posisi tawar-menawar BUMN pun menjadi lebih tinggi.

Dengan posisi seperti itu, diharapkan uang yang diperoleh dari privatisasi menjadi lebih besar dibandingkan dijual satu per satu. Dalam lima tahun ke depan, hasil privatisasi melalui pengelompokan holding BUMN ini diperkirakan mencapai Rp 700 triliun lebih. Pada saat itu, kepemilikan pemerintah di induk perusahaan tinggal 26%, sedangkan di anak perusahaan sekitar 51%. Jika saat itu nilai perusahaan diperkirakan mencapai Rp 1.600 triliun, maka kepemilikan pemerintah di BUMN masih Rp 816 triliun.
Di saat keuangan negara sedang cekak, memang paling enak menjual BUMN yang terus merugi. Duit masuk, beban berkurang. Jika BUMN-BUMN itu tidak segera diprivatisasi, kerugian yang berlarut-larut akan menguras kekayaan negara. Betul, tidak semua BUMN merugi, apalagi sampai kronis. Dan masalah utama BUMN bukan masalah merugi. Kerugian hanyalah puncak gunung es. Masalah utamanya adalah inefisiensi yang pada BUMN umumnya demikian rendah sehingga tampak dalam kerugian.

Tapi, bila masalahnya efisiensi, mengapa BUMN harus diprivatisasi? Mengapa jalan keluarnya bukan peningkatan manajemen? Untuk menjawabnya, tentu kita perlu meneliti penyebab inefisiensi ini. Banyak yang mengatakan hal itu dikarenakan tingginya penyelewengan di BUMN, mismanajemen, dan favoritisme. Memang, dalam BUMN-BUMN tertentu, efisiensi tetap rendah walaupun ketiga hal tersebut tidak terjadi.

Penyebab lain adalah kaburnya misi perusahaan. BUMN yang berfungsi sebagai revenue center bagi pemerintah, sering juga dibebani tugas-tugas sosial. Para manajer BUMN di sini sering dihadapkan pada masalah yang cukup sulit. Di satu sisi, mereka harus mengusahakan efisiensi produksi untuk menghadapi dinamisme pasar. Di sisi lain, mereka harus menginternalisasikan masalah-masalah besar dari luar. Pengangguran, misalnya.

Privatisasi merupakan jalan yang paling banyak dianjurkan para ahli untuk meningkatkan efisiensi BUMN. Tapi, bagi Indonesia, pemecahan masalah ini tidak mudah dilaksanakan. Kita belum mempunyai pasar modal yang mampu menyerap saham BUMN dalam jumlah besar. Penjualan BUMN pada kekuatan-kekuatan ekonomi terbatas atau perusahaan multinasional juga dapat menimbulkan masalah lain. Karena itu, ide privatisasi BUMN dalam bentuk superholding dianggap jalan yang pas.

Tentu saja, hal itu tak dapat diberlakukan pada semua BUMN. Jadi, langkah pertama adalah memisahkan antara BUMN yang revenue center dan yang bukan. Yang disebut terakhir adalah BUMN yang punya fungsi sosial dan politik. Kedua, perlu pemisahan antara birokrat pengelola dan manajer. Para birokrat hanya menentukan tujuan perusahaan yang jelas dan mudah diukur, yang berfungsi sebagai tolok pengukuran prestasi manajer.
Bagaimana jika BUMN yang revenue center tetap merugi, walaupun langkah-langkah di atas sudah dilaksanakan? Karena BUMN-BUMN itu sudah diprivatisasi, maka hal itu sama dengan masalah perusahaan swasta. Di sini baru diperlukan pemecahan manajemen dan kesempatan pasar. Maksudnya, seperti di perusahaan-perusahaan swasta, bila sudah tetap dianggap tidak layak, maka jawabannya adalah tutup.

Tidak ada komentar: