Kamis, 16 Agustus 2007

Target Privatisasi dan Penciutan BUMN

Oleh Mandala Harefa

Pemerintah akan memasukkan seluruh penerimaan privatisasi/divestasi enam perusahaan ke dalam APBN 2007 menjadi penerimaan negara. Padahal, di enam perusahaan "plat merah" itu pemerintah hanya memiliki saham minoritas. Kendati sektor yang menjadi bidang usaha enam perusahaan itu saat ini tergolong kompetitif. (Harian Suara Karya, Senin, 26 Februari 2007).

Enam perusahaan itu adalah PT Jakarta Internasional Hotel Development (JIHD) sebesar 1,33 persen, PT Atmindo 36,6 persen, PT Intirub 9,99 persen, PT Prasadha Pamunah Limbah Industri (PPLI) 5 persen, PT Kertas Blabak 0,84 persen, dan PT Kertas Basuki Rahmat 0,38 persen. Sesungguhnya perusahaan-perusahaan itu sangat lumrah untuk dilego.

Namun, jika melihat lima perusahaan lainnya melalui strategic sale atau divestasi dan privatisasi terhadap sembilan BUMN yang kepemilikan sahamnya oleh pemerintah mayoritas, yaitu Jasa Marga, BNI, Wijaya Karya, PNM, Garuda Indonesia, Merpati Nusantara, PT Industri Soda Indonesia, PT Industri Gelas, dan PT Cambrics Primisima, tentunya pemerintah perlu melakukan kajian.

Tentang pelepasan 100 persen saham pemerintah di PT Industri Soda dan seluruh saham di PT Industri Gelas sebesar 63,82 persen dan 52,7 persen saham pemerintah di PT Cambrics Primisima ditujukan seluruhnya untuk memenuhi target APBN 2007, adalah sangat tepat. Mengingat sektor tersebut bukanlah produk yang strategis.
Dengan adanya target privatisasi BUMN, ditambah Rp 1 triliun dalam APBN-P, maka target penerimaan tahun ini menjadi Rp 4,3 triliun. Ini tentunya cukup memusingkan. Hal ini juga merupakan buah dari kegagalan pemerintah pada 2006, target investasi yang ditetapkan sebesar Rp 3,3 triliun, namun hanya tercapai Rp 2,1 triliun.
Pemerintah juga akan melepas kepemilikan saham di Jasa Marga yang saat ini 100 persen, sebesar maksimal 49 persen dan dananya akan digunakan untuk memperkuat struktur modal dan pembiayaan investasi. Demikian juga saham pemerintah di BNI, saat ini 99,12 persen dan setelah privatisasi kepemilikan pemerintah minimal 51 persen. Hasilnya akan digunakan untuk meningkatkan struktur permodalan dan memperbaiki landing capacity serta memenuhi target APBN.

Kesimpulannya, pemerintah melakukan privatisasi dan penciutan melalui penjualan BUMN dengan tujuan untuk menutup defisit APBN, selain menutup kerugian perusahaan. Padahal seharusnya dalam konteks di atas, saat inilah momentum yang tepat membenahi badan-badan usaha milik negara (BUMN). Sepatutnya hal itu dikaitkan dengan upaya pemberdayaan sektor publik bagi kesejahteraan masyarakat, dengan membuka lapangan kerja.

Upaya yang dilakukan pemerintah seharusnya tidak sekadar memenuhi target jangka pendek, tetapi benar-benar berani untuk melakukan langkah-langkah yang cepat, berani dan terencana. Namun, bisa dimaklumi bila pemerintah terkesan mau ambil gampangnya saja, seperti menjual BUMN yang tak menguntungkan dan sibuk mengutak-atik keberadaan BUMN yang gemuk saja. Hal ini karena sejumlah prasyarat yang diperlukan (necessary conditions) untuk mewujudkan perbaikan di sektor publik dalam waktu yang cepat agaknya teramat sulit untuk dihadirkan, dalam kondisi perpolitikan dan problematika kenegaraan dewasa ini.

Selain untuk mencapai syarat, hal yang tak kalah penting adalah memperhatikan economies of scale yang pada akhirnya bisa menurunkan biaya rata-rata jangka panjang (long-run average cost). Sehingga menghasilkan peningkatan daya saing, terutama untuk BUMN Garuda dan Merpati. Seharusnya dengan BUMN transportasi udara yang asetnya bergerak akan memberikan ruang gerak yang cukup leluasa bagi perusahaan untuk menekan biaya tetap (fixed cost).

Tugas Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah menyelesaikan pengkajian mendalam (due diligence) seluruh kelompok perusahaan negara (BUMN). Kebijakan pemerintah secara bertahap akan mengurangi jumlah BUMN (rightsizing) haruslah terukur, bukan karena tujuan-tujuan jangka pendek.
Apalagi pada tahun ini, jumlah BUMN akan diciutkan menjadi 102 perusahaan dari sebelumnya 139 perusahaan. Selanjutnya, pada 2008, jumlah BUMN akan dikurangi lagi menjadi 87 perusahaan. Penciutan jumlah BUMN akan terus dilakukan hingga akhir 2015. Pada 2015, jumlah BUMN hanya tinggal 25 perusahaan.
Dengan penciutan itu, pemerintah tidak saja harus memetakan BUMN yang ada, namun melihat eksternalitas suatu BUMN. Nilai strategisnya berdasarkan putusan ekonomi yang menguntungkan bagi masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan pengkajian yang mendalam masing-masing BUMN dalam penataannya ke dalam bentuk perusahaan induk (holding), diprivatisasi dan didivestasi, dibiarkan tetap berdiri sendiri (stand alone, serta dilikuidasi atau digabung (merger).

Selain kajian internal Kementerian BUMN, harus ada kerja sama dengan menteri teknis dan Menteri Keuangan. Namun yang menjadi pertanyaan, perlu-tidaknya intervensi dengan DPR. Sebab, jika terjadi perubahan kepemilikan harus dikonsultasikan dengan anggota DPR, tentunya akan mengubah arah privatisasi. Parlemen hendaknya cukup mendukung secara legal melalui sebuah UU Privatisasi BUMN.
Program penciutan BUMN membutuhkan proses yang akuntabel sesuai dengan Undang-Undang Pasar Modal. Tujuannya agar tidak terjadi distorsi terhadap saham dari masing-masing BUMN. Nah, bila pembahasan itu terlalu banyak campur tangan dari para politikus, dikhawatirkan akan terjadi pembiasan tujuan suatu kebijakan.***

Penulis adalah periset di DPR-RI

Tidak ada komentar: